Membunuh Sisa Tahun yang Asu Bersama “Miasma Tahun Asu”

isenahst
5 min readDec 1, 2022

--

“Mengingat apa yang harus diingat, kerjakan apa yang harus dikerjakan.” Sepenggal percakapan bersama BAPAK. di ujung kamar sebelum membunuh hari dan terlelap untuk menyambut obituari yang muncul dengan harapan basi pada esok hari. Ingatan itu mulai mendalam, hidup makin menakutkan, membayangkan yang tak harus dibayangkan malah menjadi pilihan. Saya menoleh tembok di sisi kanan sambil berpikir apakah boleh ketika saya mati dan orang-orang di sekitar memasukkan jasad saya ke dalam liang lahat sambil diiringi album Shed milik Title Fight?

Sial, esokya malah makin menjadi-jadi. Saya cukup punya dendam pada situasi ini, milenial yang egois. Seharusnya saya cukup mengikuti ramuan dalgona atau ikut berkerumun dalam kolom komentar JRX, tetapi ini benar-benar melumpuhkan saya. Mulai mencari kegiatan selagi di luar urusan pekerjaan dan tetek bengek perkuliahan.

Akhirnya, saya menyutujui bahwa malam ini akan diadakan gig dari BAPAK. menyambut kelahiran album terbarunya Miasma Tahun Asu. Tentu ini tanpa persetujuan siapapun, tidak ada urusan dengan keamanan setempat atau aparat yang menyuruh bubar acara pada pukul 00.00 WIB karena tidak adanya uang pelicin, sekalipun Kareem dan teman-temanya, karena ini diadakan di kamar saya dan hanya saya yang bisa menyaksikannya. There’s a party in my head and no one is invited.

BAPAK. — Miasma Tahun Asu

Saya yang berada di pojokan kamar, mulai memberikan tempat secara asal kepada mereka. Set panggungnya di pinggir meja kusam dengan setumpuk plat piringan hitam dan kaset-kaset koleksi pribadi. Di sisi kanan ada sedikit ruang untuk empat orang dilatari oleh poster salah satu produk budaya pop; Pulp Fiction.

Kareem meminta untuk atur lighting menjadi bewarna hitam putih. Saya hanya terdiam dengan pandangan kosong sembari melihat mereka sibuk dengan urusan equipment set-nya masing-masing, lalu mereka mulai mengamini set list terbarunya dari Miasma Tahun Asu.

Dalam ruangan persegi empat ini mereka mulai memperdengarkan “Black Heron Intro”. Dengan mata lesu, mencoba menebak apa saya sedang mendengarkan suara petikan gitar dari Planetarium-nya Jirapah? Itu yang muncul saat telinga menangkap beberapa part gitar dari trek ini, sementara di akhir lagu mood berganti dengan sound ala doom yang tiba-tiba ditarik cepat ke atas. Saya mengambil sisa rokok di saku kanan celana dan menghisap habis dengan penuh cemas sambil menyeringai karena mulai memprediksi akan diberikan pertunjukan energik untuk delapan lagu ke depan.

Terdengar suara samar-samar perbincangan mereka sebelum memulai trek kedua. Kareem memperkenalkan “Jon Devoight” yang penuh warna progressive rock dari awal hingga akhir. Saya berteriak kepada mereka,

“Jika kalian ingin membakar amplifier dan drum pada akhir lagu ini, silahkan saja!”

Lalu “Pity Me” dimulai, saya melirik ke belakang pintu karena ada yang menyeret paksa untuk membukanya, salah satu teman datang dan meminta maaf atas keterlambatanya. Saya kembali menatap ke arah set panggung tanpa sedikitpun menggubrisnya. Kini ada dua orang dalam ruangan ini. Tujuh menit menemui akhir perjalananya, sejak awal saya hanya mendengar efek dari lead yang dibalut ambience gelap tanpa hentakan drum, mempersilahkan seisi ruangan terdiam hingga jatuh ke dalam palung lamunan.

Helaan nafas terdengar, disambut teriakan tanpa arah,

“Aku muda! Aku tak berguna!”

Suara bas begitu muram disambut instrumen lainya untuk sama-sama mengutuk diri sendiri. Saya melirik ke arah mereka ternyata pada trek ini, muncul frontman dari Rekah, yaitu Tomo Hartono, ikut bergabung dalam upacara pelapalan mantra kutukan. Dia beteriak hingga akhir, mantra terus mengalir dari congornya,

“Inilah dogmaku!”

Teman berbicara dengan pelan ini adalah “Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil”.

Trek selanjutnya adalah “Hijrah (A Song for Grandmother as She Travels Beyond)”. Permainan instrumental tanpa drum kembali mereka perlihatkan hingga ujung trek ini. Saya masih sibuk berdebat dengan teman apakah “Yggdrasil” yang disematkan pada trek sebelumnya diambil dari salah satu anime bertajuk “Overload”? Entahlah.

BAPAK. (kanan ke kiri): Kevin, Kareem, Bagas, dan Alfath.

Orpheus LIVE From The Underworld” mengubah seisi ruangan menjadi tersadar dari kutukan amarah trek sebelumnya. Mereka tiba-tiba membawakan musik yang terdengar sangat kontras. Sekarang instrumen yang sedikit jazzy diperdengarkan dengan vokal begitu ngepop tetapi pada bagian akhir plot kembali dihancurkan dengan pergantiaan mood menjadi gitar dan drum yang ugal-ugalan. Saya kembali menyeringai sembari bergumam, mereka benar-benar liar untuk mengolah semua ini, mengumpulkan berbagai genre yang mereka sukai dan membuatnya menjadi kesatuan bernama BAPAK. yang terkesan aneh dan misterius.

Seorang perempuan dan laki-laki tiba-tiba naik ke atas set panggung dan memperkenalkan diri sebagai tamu selanjutnya setelah Tomo, mereka adalah Regina Gabriela dan Raka Soetrisno yang akan mengisi vokal dan trompet pada “An Angel at My Table I”. Ini adalah perjalanan yang begitu lembut sekaligus muram hingga akhir lagu. Sekarang saya seperti mendengarkan Learning Against The Wall milik Kings of Convenience tetapi dibumbui vokal dari seorang perempuan yang terdengar sangat melankolis.

Mereka terlihat dingin tanpa banyak basa-basi dan langsung berpindah untuk “An Angel at My Table III. Saya kembali disuguhkan warna baru pada album ini, saat mendegarkannya saya sesaat melintas ingatan tentang trek “Midnight 01 (Deep Sea Driver)” kepunyaan King Krule, menyeret dengan lembut setiap pendengar lewat instrumennya, perbedaanya pada akhir trek ini kita dipaksa untuk sekali lagi memasuki lubang gelap penuh kebisingan, diikuti dengan raungan distorsi di dalamnya.

Pada awalnya hanya ketukan drum yang konstan lalu semua instrumen bercampur. Keadaan di ruangan semakin tidak waras. Walau saya sudah sedikit mengira plotnya, tetapi ini adalah pemikiran yang cukup gila, seperti melihat Archy Marshall dan Thurston Moore pada satu set panggung.

Akhirnya mereka meninggalkan set panggung bersama “White Heron Outro” dengan suara perbincangan yang saya kira adalah Kareem dan seorang wanita yang adalah ibunya. Sedikit pertanyaan dilemparkan oleh Kareem perihal pandemi dari kacamata sang ibu yang perlahan terseret oleh noise secara sengaja.

Pertunjukan berakhir, Kareem, Bagas, Alfath, Kevin dan yang lainnya meninggalkan ruangan ini. Saya masih terpenjara lamunan sendiri sembari berpikir bahwasanya ini merupakan hal gila yang muncul di tengah kacaunya situasi. Eksistensi BAPAK. dengan experimental rock, jazz, punk, hardcore dan progressive rock yang terdengar bias bergantiaan dalam trek-treknya, terlihat jelas otak dari semua ini adalah Kareem, karena tiap tahunnya selalu saja ada eksperimen sinting melalui musiknya.

Seketika ruangan ini terasa sepi, menyisakan saya dan teman yang ternyata itu adalah diri saya sendiri. BAPAK. yang hadir tadi mungkin cuma hasil kerja imajinasi malam ini, tetapi semuanya belum usai, besok saya masih harus tetap sibuk dengan lamunan-lamunan lainya, terus berusaha memunguti sisa-sisa kewarasan di ampas tahun ini. ASU!

--

--