Si Dora

Isti Adilia
3 min readJul 8, 2024

--

Cita-citaku menjadi Dora.

Peta One Piece (bukan Dora, karena gambar hanya pelengkap)
Gambar oleh Sharpsider di Deviantart (sebenarnya peta One Piece, bukan peta dora, haha)

Rambut pendek berponi rata, check. Baju merah muda, check. Ransel di pundak, wah, dulu justru Dora yang membuatku suka memakai ransel, jadi check. Minus peta, sebab saat itu aku belum bisa membaca.

Padahal, Dora kalau bertanya, pasti bikin kesal! Namun, entah kenapa justru sosoknya adalah yang berkelebat pertama kali tiap aku menelusuri ingatan waktu dulu masih tinggal di Kebayoran Baru.

Figur manusia di hidupku yang saat itu masih cilik sungguh amat samar. Siapa yang sering menyuapiku kalau aku sedang mogok makan sayur? Siapa yang mengajak jalan-jalan ke taman agar bisa bertemu teman baru? Siapa yang menarik tanganku ke Pasar Mayestik naik bajaj yang dulu masih sangat menjamur itu?

Aku lupa. Manusia selalu abu-abu di mataku, setidaknya hingga aku sudah cukup usia untuk melafal alfabet dan merengek minta dibelikan buku baru.

Akan tetapi, berbeda dengan Dora.

Aku selalu mengenal Dora. Dora, yang bajunya jarang berganti. Yang punya sepupu tampan seperti Diego (aku juga mau punya teman seperti Diego!). Yang berpetualang mencari tempat-tempat baru dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Aku mendambakan kehidupan Dora yang memiliki Boots, sementara aku si cucu pertama hanya memiliki diri sendiri. Dan, entah bagaimana, Dora bisa leluasa berpetualang tanpa perlu memikirkan eksistensi orang dewasa. Lucu bagaimana dulu hal tersebut sangat membuka imajinasi seorang gadis cilik yang kegiatan sehari-harinya hanya terpana pada layar televisi sebagai teman makan malam, makan siang, dan makan pagi.

Kamu tahu, kan, betapa anak kecil sangat ingin tahu? Betapa ia ingin dilibatkan di banyak hal, besar maupun kecil, sepele maupun penting? Ingatkah juga tentang seberapa sering orang dewasa melarang dan menegaskan bahwa seorang anak kecil hanyalah anak kecil yang tidak dapat berurusan dengan hal-hal di luar hal-hal yang biasa diurus oleh anak kecil?

Dengan Dora, aku dibuat penting. Aku yang saat itu hanyalah gadis cilik mungkin cukup bodoh untuk begitu saja masuk di permainan tanya-bertanya yang ia lakukan tiap tiba di persimpangan jalan. Tapi itu tidak masalah, karena aku merasa akulah salah satu teman yang ia cari ketika dibutuhkan. Ayolah, seberapa benci pun kamu kepada Dora, tidak ada yang bisa memungkiri fakta bahwa Dora-lah yang mengajarkan prinsip sederhana inklusivitas. Kita dianggap. Kita penting. Kita ada, meskipun kita hanya anak kecil yang tidak dapat berurusan dengan hal-hal di luar hal-hal yang biasa diurus oleh anak kecil.

Aku tidak tahu kapan ulang tahun Dora. Tetapi, dengan Dora, aku dirayakan. Aku sudah dirayakan jauh sejak sebelum Nadin Amizah menciptakan lagu perayaannya. Bedanya, dahulu aku dirayakan oleh jingle riang khas seorang petualang, atau kalimat “we did it, berhasil!” yang membuat kaki turut berjingkrak.

Dengan Dora, aku tahu bahwa sesuatu yang hilang pasti bisa kembali. Sama seperti ketika barangnya dicuri Swiper, sebenarnya ya tinggal cari lagi aja. Kalaupun tidak ditemukan, setidaknya kita tahu bahwa pencuri-pencuri (atau orang-orang jahat nan licik) itu bodoh, karena mereka dapat dengan mudahnya dihentikan atau benda yang mereka rampok dapat dengan mudahnya kita temukan.

Dengar, ketika beranjak dewasa (meskipun aku bukan seseorang yang dewasa-dewasa amat), aku mulai sadar bahwa alasan kenapa orang dewasa sangat membenci Dora adalah karena mereka hidup di dunia yang sangat berbeda dengan dunia anak kecil. Dora dan pertanyaan-pertanyaannya terdengar bodoh dan konyol, yang hidupnya sederhana, tidak serumit bangun tiap pagi untuk mengejar kereta dan sarapan hanya jika ingat saja.

Orang dewasa kadang terlalu realistis. Sementara, Dora terlalu imajinatif dan eksistensinya akan terus tertahan di belakang garis khayal.

Oh, tentu saja itu tidak apa. Bukankah menjadi anak kecil adalah tentang menjadi konyol? Dan bukankah orang dewasa juga hidup konyol dengan caranya sendiri?

Aku tidak bisa menjamin bahwa hidup menjadi orang dewasa lebih baik dibanding hidup sebagai Dora.

Menelusuri lorong di balik pintu yang mengekang ingatan tentang masa lalu, tidak banyak yang dapat kutemukan di linimasa saat aku masih gadis cilik dengan rambut pendek berponi rata. Mungkin karena dulu aku hidup dengan sangat konyol dan bahagia hingga tidak menyadari waktu terus berlalu, atau mungkin memang karena aku pelupa saja.

Aneh, ya, kenapa melakukan nostalgia terhadap linimasa yang sebagian besar aku lupa isinya? Yah, sepertinya, Dora-lah yang membuatku melakukannya.

Sampai sekarang, aku masih ingin menjadi seperti Dora.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Nostalgia”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Isti Adilia

Busy juggling between one book to another. I identify myself as a fish who speaks smashed potato!