The Starting Point

itsmepraline
3 min readFeb 22, 2023

“Ya kita di sini lagi untuk yang ke enam kali dalam seminggu.”

Melan menutup pintu mobilnya sambil menghela nafas pendek.

Benar. Di minggu akhir libur semester tiganya itu, ini sudah menjadi ke enam kalinya kaki cewek itu menginjak parkiran mobil atas untuk mengurus segala persyaratan pengunduran diri status mahasiswa Gauri yang sebenarnya masih ingin sekali ia nggak percaya.

Waktu berjalan mengerikan untuk dua minggu belakangan ini. Terutama untuk temannya Gauri.

Kalau ada yang tanya Melan apa ia sudah terbiasa dengan segala perubahan drastis pada hidupnya atau yang lebih parah tentang hidup Gauri, nggak perlu mikir dua kali ia akan jawab belum dengan sekuat tenaga.

Sampai detik ini Melan hanya terpaksa, lebih tepatnya dipaksa agar cepat terbiasa dengan siklus perubahan super kilat yang terjadi di antara mereka.

Kecelakaan antara mobil Rion dengan truk pengantar kayu pada dua minggu lalu itu bagai petir di siang hari.

Posisi Melan yang memang sedang facetime dengan Gauri seketika berubah menjadi teriakan histeris saat wajah serta tawa Gauri dan Rion yang sejak tadi ada di layar ponselnya langsung berubah dengan suara melengking rem yang ditarik paksa diikuti layarnya yang terus bergerak ke sana ke mari dan berakhir mati membuat cewek itu nyaris pingsan di tempat.

Semua seakan masih terasa mimpi dari Rion yang dinyatakan koma yang sampai tadi malam saat ia berkunjung cowok itu belum juga siuman sampai Gauri yang tiba-tiba didatangi oleh sekelompok debt collector yang menyita seluruh aset rumahnya.

Dan –

“Ibu dekannya ada di dalem tuh, Mbak.”

Lamunan Melan buyar.

Cewek itu mengerjap sambil menampakan wajah sumringah. “Eh serius? Saya boleh langsung masuk nih?”

“Bisa ditaruh disini dulu deh. Soalnya si Ibu bawa anaknya, ntar saya panggil lagi.”

“Ah oke deh sip. Thank you ya, Mbak.”

Setelah menitipkan surat pengunduran diri baru milik Gauri di rak meja, Melan bergerak menuju mobilnya untuk menunggu.

“Aduh ini anak masih pake hp bodol gua lagi. Telepon ganggu nggak ya.” Melan yang semula ingin mengirim iMessage kepada Gauri menjadi ragu. Karena yang ada ia hanya dapat balasan emoticon yang membuat ia kesal lagi nantinya. “Yaudah telpon dah.”

Melan melangkah turun dan di dering ketiga suara gaduh di sebrang sana perlahan terdengar.

“Weii sobat! Sorry gua telpon hehe.”

“Iya gapapa. Kenapa Mel? Udah di tanda tangan dekan?”

Melan mengeluarkan kunci mobilnya dari saku. “Belum. Tapi Ibunya udah dateng, paling bentar lagi sih. Ini gua disuruh nunggu bentar sama si Mbak.”

“Oh iya. Sorry ya gua ngerepotin banget.”

“Yaelah Gau kaya sama siapa aja. Santai, lu fokus di tempat lu aja sekarang biar gua yang selesein ini.”

“Thanks ya Mel. Gua nggak tau bakal gimana kalau nggak ada lu deh asli.”

“Lu mau bales sesuatu nggak biar kita jadi impas?”

“Apa tuh?”

Melan cekikikan sebelum menjawabnya. “Pake perasaan abang lu.”

Di sebrang sana Gauri tertawa geli yang dibalas Melan nggak kalah gelinya.

“Yaudah Gau, gua masuk mobil dulu ya. Mau ngadem dulu sembari nungguin.”

“Oh oke deh. Makasih ya Mel. Kalau ada apa-apa langsung telpon aja oke? Soalnya keyboardnya masih ngambek.”

Melan tersenyum singkat sebelum benar-benar mematikan panggilan tersebut dan langsung membuka pintu mobilnya.

Ah, titik awal baru bagi Gauri yang entah bagaimana sudah terasa sangat berat untuknya.

--

--