Arla, Arle, Nadet.

deviilworkk
8 min readAug 2, 2023

Note: threesome, fingering, anal sex, local porn word.

Mau bagaimanapun, penolakan bukanlah hal yang ada pada diri Nadet. Ia dengan senang hati melucuti bajunya sendiri setelah memikirkan apa saja yang akan dilakukan dua pacarnya hari ini.

Oh, Nadet sedang tidak ingin bermain nakal. Ia akan menelanjangi dirinya sendiri sesuai permintaan Arle. Pasalnya, mengingat suasana hati si sulung itu sedang tidak baik sebab kasusnya yang tak menemukan titik terang, bisa dipastikan Nadet akan dibuat seolah menjadi manekin tanpa nyawa dan perasaan. Dengan itu, Nadet akan menurut kali ini.

Ia menaiki meja makan itu, menatap langit-langit apartemen. Situasinya sungguhan tak nyaman. Bayangkan saja, berbaring di atas meja makan dengan keadaan telanjang bulat?

Tak berapa lama, Arle tiba lebih dulu. Pakaiannya masih sangat rapi. Lelaki itu membuka kacamatanya dan melempar pada sofa. Tak peduli jika nanti dirinya lupa hingga tak sengaja menduduki benda penting itu. Bisa tempah lagi.

Melonggarkan dasi yang mencekik leher, Arle kali ini melempar tas kerjanya. Tanpa membuka sepatu, ia melangkah masuk. Netranya semakin menggelap kala menemukan Nadet sudah dalam posisi yang ia pinta.

“Duduk.”

Nadet menurut tanpa ada niat ingin membantah. Arle menarik tengkuk si cantik itu, menahannya dengan cumbuan dalam. Oh, tidak baik. Ini tidak baik. Dari ciumannya yang sangat tergesa-gesa, Nadet bisa menebak Arle akan sangat kasar di permainan kali ini.

Di tengah bercumbu, pintu apartemen tiba-tiba terbuka. Arla datang. Dengan pakaian yang sama seperti ia manggung tadi. Arla membuka sepatunya dan tergelak melihat sang Kakak yang sudah tak sabaran.

Nadet mengelus selangkangan Arle, si gagah itu masih sibuk mencumbuinya tanpa henti.

“Hei.”

Arla mendorong sang Kakak, ia juga ingin bercumbu.

Tidak marah, Arle justru senang melihat Nadet kewalahan karena dilempar mencumbu kanan dan kiri.

Arle tak hanya diam. Ia mengambil posisi dan membuka lebar kaki jenjang Nadet.

“Sempit lagi, La.” ujarnya pada si bungsu.

Arla menjeda sebentar cumbuannya. “Digempur aja Bang, sampe bolong kaya kemaren lagi.”

“Aku yang nggak bisa jalan bener, tau! Jahat banget sama aku,”

Keduanya terkekeh bersamaan. Lalu kembali lagi, Arla mencumbu Nadet sembari memainkan dadanya.

“A — ahhn, Arle,”

Arle menciumi lembut bibir vagina Nadet. Tubuh si cantik itu sedikit gemetar.

Arla puas mencumbunya. Si bungsu itu melepas dan lekas ikut serta bersama sang Kakak.

Nadet menahan tubuh dengan kedua sikunya, kakinya sudah sungguhan dibuka lebar, ada dua orang pria tampan yang siap melahapnya kapan saja sampai tak tersisa.

Si cantik menggigit bibir bawahnya ketika Arla membuka bibir vaginanya dengan dua jari, mencari klitoris, lubang kencing dan vagina.

“Ludahin, Dek. Biar basah.” ujarnya pada Arla.

Yang lebih muda mengangguk. Ia meludah tepat pada lubang vagina itu.

“Ahh!”

Pinggang Nadet akan terangkat jika saja Arla tak menahannya agar tetap pada posisi. Kedua netra Nadet nyaris menyisakan putih, ketika banyak jari memainkan vaginanya yang mulai basah.

“Buka kaki lo lebih lebar.” titah Arla.

“Udah lebar banget …”

Arle terkekeh kecil melihat lubang vagina itu berkedut-kedut. Ia menjulurkan lidahnya hingga ujung benda tak bertulang itu menjilat kecil lubang vagina hingga ke lubang kencing.

“Ah!” Nadet buru-buru mendongak dan melipat bibirnya.

Kakinya gemetaran.

Tak hanya di situ, Arla mengikuti Kakaknya. Menjilat dengan ujung lidah berganti-gantian sampai Nadet merengek lucu karena terlalu sakit menahan nikmatnya.

Arla memasukkan jari ke dalam vagina itu. Membuat sang empu sedikit terlonjak. Ia nyaris hafal bagaimana isi di dalam vagina Nadet. G-spot-nya sudah mudah ditemukan.

Jari Arle menyusul masuk. Dua jari itu saling bersentuhan berebut mengelus-elus g-spot Nadet.

“Oh, fuck! Gila!”

Tubuh si cantik itu semakin gemetaran, apalagi ketika keduanya mulai menggerakkan jari tak beraturan, ia semakin menggila.

“Sayang — ahh, sayang, no, kalian berisik banget jarinya di dalam — ahhh!”

Pinggangnya meliuk-liuk merasakan dua jari tengah itu semakin lihai mengenai titik manisnya.

Nadet mengejang. Pelepasan pertamanya sampai.

Arla tergelak. “Turun dulu. Sepong sekali dua.”

Nadet berlutut di dekat meja, di tengah Arla dan Arle yang kini sudah setengah telanjang. Ia bergantian mengulum dua kejantanan besar itu. Jika mulutnya mengulum milik Arla, maka tangannya mengocok milik Arle, begitu juga sebaliknya.

Shit. Bisa banget lo nelannya sedalam itu ya, Anjing.”

“Namanya juga lonte dipungut di club, La. Udah ahli beginian pas jual diri.”

Nadet berkaca-kaca, ia ingin secepatnya pada inti.

“Kalian mau keluar sekarang?”

“Nggak, sepongan lo gak oke, ah, Bangsat.” Arla menarik miliknya dari Nadet.

“Maaf …”

Arle juga menarik miliknya. Namun selanjutnya, si sulung itu menggendong Nadet dengan mudah dan lekas membaringkannya di meja dengan posisi horizontal.

Meja itu tidak terlalu besar, hanya setengah badan Nadet yang mampu tertampung dalam posisi horizontal ini. Di tengah dua kakinya yang dilebarkan, ada Arle yang siap menghujam kapanpun. Di atasnya, ada Arla yang sudah tak sabar untuk dimanjakan lagi penisnya.

Arle melebarkan bibir vagina itu, ia menjilat bibirnya dan membasahi ujung penisnya agar memudahkan untuk masuk.

Merasakan kepunyaan Arle yang besar menerobos dirinya, Nadet memejamkan mata erat-erat dan buru-buru menggenggam Arla.

“Uhh, sayang, gede banget. Lagi sange banget yah? Kerasa banget lebih besarnya pas kamu high gini,” Nadet mendongak menatap Arla. “aku digenjot Kakak kamu, Sayang. Enak banget punya Arle.”

Dua kaki jenjang Nadet berada di pundak sang pengacara.

Arle menarik kejantanannya hingga hanya tersisa kepalanya di dalam Nadet. Namun tak sampai lima detik, ia mendorong kuat pinggangnya hingga penisnya itu terbenam sempurna, menyodok telak.

Sang empu melotot besar, napasnya tak beraturan.

“AH!”

Ini dia.

Nadet suka, bagaimana Arle memperlakukan vaginanya seperti mainan sex.

Arle melakukannya lagi.

“AH! Sayang!”

“Sepong, Bangsat. Jadi pelacur bodoh banget.” sahut Arla.

Nadet berusaha sebisanya menggenggam milik Arla dan memasukkan ke dalam mulutnya di tengah Arle menghujamnya tanpa ampun.

“Mmh — mmh!”

“Sempit, Bang?”

Keduanya asyik berkomunikasi menggauli Nadet yang pasrah.

“Kek jebol perawan ini anjing.”

“Wah, setan. Mantap banget itu.”

“Mmh — ”

Suara yang timbul dari penyatuan itu sudah bak kecipak basah, saking beceknya vagina Nadet.

Ketika Arle menghentak lebih kencang, Nadet mengeluarkan milik Arla dari mulutnya dan menjerit.

“AH! Sayang, sakit! Pelan-pelan!”

Arla menamparnya. “Banyak protes, Pepek.”

Nadet menangis.

“A — ayang — ayang, sakit,” Rengekannya yang manja membuat si kembar semakin gemas.

Arle memejamkan mata erat dan mendesah berat. “Ahh — ahh, ketat banget kamu, Det.”

“Keluarin — keluarin di dalam, Sayang.”

Arle mengangguk. Itu memang tujuannya. Dalam beberapa hentakan berikutnya, dua orang itu mengejang di depan Arla. Sampai pada pelepasan.

Nadet masih terengah ketika Arle menarik miliknya keluar. Belum mampu mencerna apapun.

Tapi sepertinya, Nadet harus selalu ingat bahwa si kembar dan kesabaran bukanlah teman baik.

Maka, ketika Arle mengeluarkan miliknya itu, ia lekas memutar tubuh Nadet hingga kini si cantik itu menghadap pada Arla.

“Hahh — Sayang bentar — ”

Jelas saja tak didengarkan.

“Sayang — bentar, ini masih penuh dan basah banget sama peju Arle — AAHHH! Arla — hahh — ha — ahh! J — jangan langsung kenceng, fuck.”

Bola mata Nadet naik ke atas ketika Arla menerobos masuk dan langsung menghentaknya kencang — lebih kencang dari Arle. Lelaki ini memang lebih berantakan dari Kakaknya. Jadi tak heran, hujamannya lebih sembarangan dan itu sukses membuat Nadet sinting.

“Aaaah! Ngentot enak bangeeet!” seru Nadet di tengah nangisnya merasakan hujaman Arla semakin tak terkontrol.

Tak tinggal diam, ia mendongak dan lekas menjilati kejantanan Arle yang basah bekas dari vaginanya.

“Mmhh — sayang, Adik kamu gila banget genjotnya, bisa ancur memek aku kalo kaya gini, Le.”

Arle terkekeh. “Kamu suka dijadikan boneka oper-operan kaya gini, Det. Jangan munafik, Anjing.”

Nadet menggigit bibirnya menggoda.

Kulumannya pada kejantanan Arle tak fokus hingga kejantanan itu keluar dari mulutnya. Nadet menjerit ketika Arla menghujamnya lebih kencang hingga tiap sodokan dari lelaki itu menampakkan timbulan kejantanannya di perut Nadet.

Tangan Arle diletakkan di perut cantik yang dihiasi piercing di pusarnya itu. Ia merasakan milik Arla menghujam kencang dari dalan.

“Gahh — gila ni perek, Bang. Masih sempit abis lo pake tadi. Mau keluar gue.”

Nadet mengangguk. “Dalam, Sayang. Biar aku tampung.”

Tangan Arle turun, ia mengucek klitoris Nadet sampai sang empu meliuk dan mengejang hebat.

“U — udah! Aahhh!”

“Keluarin, Det. Gue mau keluar, langsung jemput peju gue.”

Nadet mengangguk. Ketika hangat dari sperma Arla itu menyeluruh di dalamnya, ia juga menyemburkan pelepasan untuk ketiga kali.

Arla menarik penisnya keluar. Ia lekas memutar tubuh Nadet kembali menghadap Arle.

Nadet diputar-putar di atas meja, ganti-gantian menjadi toilet pembuangan bagi si kembar.

Si cantik menggeleng, “Arle, tunggu bentar — AAAAH!”

Berpindah ke ranjang kamar Nadet, Arla berlutut di sebelah ranjang, Nadet berbaring telungkup dan Arle ada di atas bersamanya.

Nadet dan Arla bercumbu ganas, sementara Arle, lelaki itu menjilat dua jarinya hingga basah dan mengoles pada anal Nadet yang berkedut lucu.

Tanpa permisi, kepala penisnya menerobos masuk.

“A — ahh!”

“Jangan ditolak. Biarin dia masuk, jangan tegang badannya,”

“Ayang, aku nggak mau anal,”

“Masukin aja, Bang.” kompor Arla.

“Arla! Ih, kamu tuh yah!”

Nadet mencengkram kuat lengan kekar Arla. “S — sakit banget, Arla, aku dianalin Kakak kamu — ahh, anjing kalian!”

Keduanya tertawa melihat Nadet kewalahan.

“Jangan kencang dul — AAAH! NGENTOT!”

Tawa keduanya semakin keras.

Nadet menghempaskan dan menenggelamkan kepalanya pada bantal kala Arle langsung menghujam kuat analnya.

Suara ranjang berderit membuat Arla tak tahan. ia lekas menelanjangi dirinya sendiri, kemudian bergabung ke atas ranjang.

Dijambaknya kuat Nadet hingga lelaki itu mendongak. Wajah cantiknya merah merona dicabuli oleh si kembar priayi.

“Bang. Jeda bentar. Gue mau lo gendong Nadet, tapi gue yang ngentotin.”

“Ke kamar mandi aja mau gak lo? Gue ada ide main.”

“Gas.”

Guys …” lirih Nadet.

Sungguh, ini paling tidak dua hari baru ia bisa berjalan.

Arle menggendong Nadet menghadap ke depan Arla. Si bungsu itu berdiri memegang bidet.

Menekan bidet dengan ibu jarinya, menyemprot ke arah vagina Nadet yang merah merekah.

“AAAH! FUCK!”

Nadet gemetaran seluruh tubuh, bola matanya naik ke atas dan wajahnya tak terkontrol lagi.

Vagina berkolaborasi dengan semprotan dari bidet adalah hal paling jahannam.

“Ar — ”

Nadet tak mampu bicara lagi.

Di tengah semprotan itu, Arla melesakkan kejantanannya masuk. Tubuh Nadet nyaris jatuh dari gendongan Arle. Ia menjerit kuat.

“AH! ANJING!”

Masih belum melepas bidet. Arla menggenggam kepunyaan Arle yang dibiarkan.

“Arahin ke analnya, Bang.”

Arla membantu memasukkan milik sang Kakak pada anal Nadet.

Si cantik yang berada di tengah itu terlonjak naik tubuhnya merasakan depan belakang terisi.

“Ahh — hhkk — ampun,”

Dan serentak, keduanya menghujam vagina dan anal dengan serentak. Bersamaan bidet yang tak dibiarkan mati.

Nadet hanya mampu melirik dan mendesah dengan suaranya yang sudah serak.

Ia bahkan belum selesai.

Mereka tidak akan selesai.

Sampai vagina itu bolong.

--

--