Most beautiful flower

jaeleocky
9 min readJun 6, 2022

When we pick up flowers from the garden, we always pick the most beautiful flowers. So… when God picks someone, He picks the most beautiful one.

Langit pagi itu terlihat sangat cerah, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu terlihat gelap. Cuaca yang terasa begitu hangat hari itu pun mengiringi perjalanan sepasang ayah dan anak tersebut ke tempat yang mereka tuju. Tempat yang menjadi ujung perpisahan mereka dengan wanita yang selalu keduanya rindukan.

Tangan kecil anak perempuan tersebut menggenggam erat tangan Nathan. Satu tangan kecil lainnya dia gunakan untuk memegang sebuah bouquet bunga tulip berwarna putih. Raut wajahnya terlihat heran ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat tersebut. Tempat yang mungkin sangat terlihat asing bagi dirinya.

Ayah… ini tempat apa? Kata Ayah, kita mau ketemu Bunda, kan?” tanya Sierra kepada Nathan.

Nathan menolehkan wajahnya ke arah Sierra, “Ini tempatnya Bunda, sayang.” Nathan tersenyum dan kembali mengajak Sierra untuk berjalan. Sierra yang masih merasa bingung hanya mengikuti langkah Nathan sambil matanya terus melihat keadaan di sekitarnya.

Dan kini keduanya telah sampai di satu pusara. Di atasnya terdapat satu bouquet bunga yang terlihat sudah berwarna coklat — kering. Nathan membuka kursi kecil yang dirinya selalu bawa ketika pergi ke tempat tersebut. Alasannya tidak lain agar kakinya tidak merasa lelah untuk berjongkok ketika dirinya ingin berlama-lama di sana. Dia dudukkan badannya di kursi kecil tersebut dan kemudian membawa tubuh kecil Sierra untuk duduk dipangkuannya.

Kita udah sampe, sayang. Kita udah sampe di tempat Bunda,” ucap Nathan sambil kedua matanya menatap nisan yang bertuliskan nama wanita yang sangat dirinya cintai, Alesya Kirana Wyne.

Langkah kaki Nathan berlari dengan terburu-buru menyusuri koridor rumah sakit. Tidak peduli berapa banyak pundak yang bersenggolan dengan tubuhnya. Yang dirinya pikirkan saat ini hanya keadaan istrinya yang dikabarkan mengalami kecelakaan.

Langkah kakinya semakin melemas ketika melihat Bundanya yang kini sedang terduduk di depan ruangan bertuliskan “ICU” sambil menggendong putri kecil kesayangannya, Sierra. Dengan langkah berat dan dada yang mulai terasa sesak, Nathan menghampiri keduanya.

Bunda…,” panggil Nathan dengan suaranya yang sangat lemah.

Tamara yang melihat kehadiran Nathan di sana pun segera memeluk Nathan — dengan tangannya yang masih menggendong Sierra kecil. “Nak… maafkan, Bunda.” Isak tangis Tamara pun pecah— memenuhi ruang tunggu ICU tersebut.

Nathan yang mendengarnya pun kini tidak kuasa untuk menahan air matanya. Terlebih lagi ketika kedua matanya menatap pintu ruang ICU yang ada di hadapannya. Wanita yang dicintainya sedang terbaring di dalam sana.

Bukan salah Bunda… ini semua udah takdir dari Tuhan. Sekarang yang bisa kita lakuin cuma berdoa buat Ale, Bun. Dia butuh doa dari kita sekarang.” Dadanya terasa sesak ketika harus mengucapkan kalimat seperti itu. Namun dirinya kini memang tidak bisa berbuat apapun selain berdoa untuk keselamatan Ale.

Keduanya pun duduk di kursi yang berada di depan ruangan tersebut. Tangan Nathan terus menggenggam erat tangan Tamara. Sambil matanya kini menatap putri semata wayangnya — di pangkuan Tamara — yang sedang asik menyedot susu sari botol berwarna merah mudanya.

Gimana kejadiannya, Bun? tanya Nathan yang kini kembali menatap pintu ruang ICU tersebut.

Tangan Tamara yang berada di genggaman Nathan pun bergetar hebat. “Tadi waktu kita sampe ke sana, Bunda gak sengaja ninggalin handphone di taksi. Dan Alesya liat kalo taksi itu lagi putar balik jadi dia inisiatif untuk nyebrang dan nunggu taksinya di sebrang. Tapi pas dia nyebrang, ada mobil yang lajunya kencang terus…” Tamara tidak dapat melanjutkan ceritanya karena dirinya tidak sanggup untuk menjelaskan kejadian tersebut kepada Nathan. Isak tangisnya pun kini terdengar lebih keras dari semula.

Mendengar cerita tersebut pun membuat dada Nathan kini semakin terasa sesak. Namun dirinya tetap berusaha tegar dan hanya bisa memeluk Tamara yang menangis hebat. Dirinya tahu bahwa Ibundanya itu pasti sedang dipenuhi oleh rasa bersalah.

M-maafkan Bunda, Nak… harusnya B-bunda yang ada di dalam sana sekarang, bukan Alesya.

Nathan menggelengkan kepalanya, “Bunda gak boleh ngomong gitu, ya? Kayak yang tadi Nathan bilang, ini udah jalan takdir dari Tuhan. Dan ini semua juga bukan salah Bunda karena kita gak akan ada yang tau hidup kita bakal terjadi apa berapa detik ke depan. Jadi… jangan ngerasa semua ini salah Bunda, ya?” ucap Nathan dengan rasa sakit yang dia rasakan di setiap kata yang terucap dari lisannya.

Sierra yang berada di pangkuan Tamara pun sudah tertidur pulas. Keduanya sudah duduk di sana dalam waktu yang cukup lama. Hingga keajaiban akhirnya terlihat, pintu ruang ICU tersebut pun terbuka. Bertepatan dengan Aubree dan Hugo yang baru saja sampai di sana. Aubree langsung mengambil alih Sierra dari pangkuan Tamara yang ingin menemani Nathan untuk mendekat ke arah pintu tersebut.

Seorang dokter pun keluar dari ruangan tersebut. Nathan dan Tamara segera menghampirinya. “Dok… bagaimana keadaan istri saya? Dia baik-baik aja, kan, Dok?” tanya Nathan dengan cepat dan penuh rasa khawatir yang menyelimutinya. Namun dapat jelas Nathan lihat tatapan dokter tersebut seperti ingin mengatakan hal yang sebaliknya.

Maaf…” Satu kata yang terasa seperti pisau yang perlahan mulai menikam jantung Nathan. “Kecelakaan yang dialami oleh pasien mengakibatkan cedera kepala saat pertama ditemukan di tempat kejadian dan pasien sudah tidak sadarkan diri. Kami, tim dokter telah melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien segera setelah sampai dilarikan ke rumah sakit ini. Namun, pasien tidak dapat terselamatkan, pasien dinyatakan meninggal dunia.”

Seperti petir yang menyambar dirinya, tubuh Nathan jatuh terduduk lemas di lantai. Kini dunianya hancur, hancur bersama berita kepergian istrinya yang masih sulit untuk dia percayai. “E-ngga… Dokter pasti salah. Istri saya gak mungkin pergi ninggalin saya. A-ayo… Dok, bantu selamatkan Istri saya. Saya rela membayar biaya berapa pun asalkan dia selamat, Dok…” Tangis Nathan pun pecah dan dirinya terus memohon kepada dokter yang ada di hadapannya.

Maaf, kami harus memberi kabar ini dan kami tim dokter telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun, Tuhan berkehendak lain.

Semua orang yang di sana kini pun menangis. Bahkan Sierra yang sebelumnya tertidur pulas pun tiba-tiba terbangun dan menangis. Hari itu, dunia seakan tidak berpihak kepada mereka. Dunia kembali mengambil kebahagiaan yang mereka miliki. Terutama Nathan yang kini terduduk lemas dan menangis keras sambil dirinya terus meneriakkan nama Ale berkali-kali. Meminta Ale untuk tidak pergi meninggalkannya.

Saya perbolehkan satu orang saja untuk masuk ke dalam. Dan itu yang hanya dapat saya sampaikan sekarang, saya mohon pamit,” ucap dokter tersebut yang kemudian kembali masuk ke dalam ruangan.

Nathan… masuk, ya, nak? Nathan lihat Alesya, ya? Nathan harus ikhlas, ya, Nak…,” ucap Tamara sambil menangis dan memeluk Nathan. Dirinya pun ikut merasa hancur. Ale sudah dirinya anggap seperti putri kandung yang selalu dia sayangi. Dan kini, putri tersayangnya tersebut pergi meninggalkannya secara tiba-tiba.

Bunda… Nathan g-gak bisa tanpa A-ale. K-kenapa harus Ale? Kenapa h-harus istri Nathan? K-kenapa harus B-bundanya Sierra yang Tuhan ambil secepat i-ini?

Tangis Nathan semakin mengeras memenuhi ruang tunggu tersebut. Tangisan yang dapat membuat seluruh orang yang mendengarnya pun bisa merasakan rasa sakitnya. Tangisan yang menjadi saksi, bahwa kini dunianya telah pergi. Alesya Kirana Wyne, wanita yang dirinya sangat cintai, wanita yang sudah menjadi sebagian dari hidupnya, wanita yang sudah menjadi separuh dari nafasnya, kini telah pergi untuk selamanya.

Air mata Nathan tiba-tiba saja menetes tanpa disadari ketika dirinya kembali mengingat kejadian tersebut. Dengan segera tangannya mengusap air mata yang sudah mulai membasahi pipinya. Dia tidak ingin Sierra melihat dirinya menangis.

Ayah kenapa nangis?” tanya Sierra yang ternyata sedari tadi memperhatikan Nathan. Tangan kecilnya kemudian membantu Nathan untuk mengusap jejak air mata yang masih tertinggal di pipinya.

Gak apa-apa, sayang.” Nathan memberikan senyum terbaiknya — walaupun kini dadanya terasa sangat sesak.

Sierra pun melihat pusara yang berada di hadapannya. Bunga kering yang berada di pusara tersebut pun berusaha dirinya raih, kemudian dia segera menggantinya dengan bunga yang dia pegang. “Bunganya aku ganti sama yang bagus ini gapapa, kan, Ayah?

Air mata Nathan kembali memaksa keluar ketika melihat hal yang dilakukan oleh Sierra. Namun dengan cepat dirinya menghapus kembali air mata tersebut dan tersenyum ke arah Sierra.

Iya, sayang, gak apa-apa. Emang itu bunganya buat di sini, itu bunga buat Bunda.

Sierra pun menatap Nathan heran. “Buat Bunda? Terus Bunda ada di mana, Ayah?

Tangan Nathan perlahan merapihkan anak rambut Sierra. Mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Sambil bibirnya tidak henti memberikan senyuman. “Bunda di sini, sayang. Ini tempat Bundanya Adek tinggal sekarang,” ucap Nathan sambil satu tangannya yang lain mengusap batu nisan bertuliskan nama Ale.

Sierra kini ikut menatap pusara tersebut. “Kenapa, Ayah? Kenapa Bunda tinggal di sini? Kenapa Bunda gak tinggal di rumah? Bundanya Adek udah meninggal, ya, Ayah?

Nathan terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan anaknya tersebut. “Adek, kok, bisa nanya begitu? Siapa yang kasih tau Adek?

Kemarin Adek nanya Bunda ke Oma. Terus… kata Oma, Bunda udah gak di rumah karena Bunda udah meninggal dan harus tinggal di tempat lain. Kata Oma, Bunda udah gak bisa lagi kayak Adek, Ayah dan Oma. Bunda udah gak bisa bicara, makan dan jalan-jalan karena Bunda udah gak bisa bernafas kayak gini, Ayah…,” jawab Sierra yang kemudian menarik dan menghembuskan nafasnya secara bergantian — mempraktikkan bagaimana cara bernafas yang dirinya maksud.

Nafas kayak begitu, Ayah. Karena kata Oma, orang yang bisa kayak gitu cuma orang yang masih hidup aja, kayak Adek, Ayah dan Oma sekarang.” Senyum Sierra pun merekah sehabis menjelaskan hal tersebut kepada Nathan. Hal itu pun semakin membuat dada Nathan terasa sesak.

Nathan hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Iya… yang dikasih tau Oma bener. Bunda udah gak bisa lakukan yang kita bisa. Bunda udah gak bisa bicara, makan, jalan-jalan dan bernafas kayak Adek sama Ayah sekarang.

Brarti, Bunda sekarang tinggal di sini, ya, Ayah?” tanya Sierra sambil jarinya menunjuk pusara di depannya. Dan hanya dijawab dengan anggukan lemah oleh Nathan.

Adek sedih, ya, udah gak bisa ketemu Bunda?” tanya Nathan dengan penuh ragu sambil kedua matanya terus menatap wajah Sierra.

Sierra yang ditanya pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Engga, Ayah. Adek engga sedih, kok. Sekarang Adek seneng karena bisa dateng ke tempat tinggal Bunda. Nanti, kalo Adek mau ketemu Bunda lagi, Adek bisa ke sini.

Rasa lega dan sedih pun dapat Nathan rasakan. Dirinya merasa lega ternyata hal yang dia takutkan selama ini tidak terjadi. Namun, di sisi lain Nathan merasakan kesedihan yang amat sangat. Karena dirinya sadar bahwa putri kesayangannya tersebut kini belum dapat mengerti sepenuhnya dengan kondisi bundanya yang sudah tiada. Putrinya tersebut hanya berusaha percaya dan mengerti dengan ucapan orang-orang terdekatnya, karena usianya yang masih belia.

Adek brarti gak apa-apa kalo hari ini liat Lion gak bareng Bunda?

Sierra menganggukkan kepalanya pelan. “Gapapa, Ayah. Bunda pasti lagi bobo di sana, Adek gak mau bangunin Bunda. Adek juga udah bawa Bunda yang lain, kok, Ayah…,” ucap Sierra terpotong kemudian tangannya mengambil sesuatu dari tas selempang kecil yang dipakainya.

Adek bawa ini, Ayah…” Sierra menunjukkan selembar foto Ale kepada Nathan. Dan tentu saja hal tersebut berhasil membuat Nathan terkejut.

Adek dapet foto Bunda ini dari mana?

Dari Oma, Ayah. Adek mau bawa yang ada Ayahnya tapi, kan, Ayah sekarang udah pergi sama Adek. Kalo Bunda belum, jadi Adek minta ke Oma yang Bunda sendiri aja gak sama Ayah. Sekarang jadi lengkap, ada Adek, Ayah sama Bunda. Kita bisa liat Lion sama-sama, kayak Abang Abi,” jelas Sierra yang kemudian tersenyum lebar hingga menampilkan deretan giginya yang berwarna putih bersih seperti susu.

Nathan tidak dapat lagi membendung air matanya. Isak tangisnya pun kini pecah sambil dirinya memeluk tubuh kecil putri semata wayangnya tersebut. “M-maafin Ayah, ya, sayang. M-maaf kalo Ayah baru bawa kamu datang ke sini buat ketemu dengan Bunda. Maaf. Maafin Ayah kamu ini yang masih sering menolak untuk hadapi kenyataan,” gumam Nathan pelan di sela-sela isak tangisnya.

Tangan kecil Sierra pun mengusap pelan punggung Nathan. “Ayah… jangan nangis, Bunda lagi tidur nanti bangun kalo denger Ayah nangis. Masa Ayah kalah sama Adek, nih, Adek aja gak nangis.” Sierra terkekeh pelan di pelukan Nathan.

Dadanya terasa semakin sesak setiap mendengar kalimat yang terucap dari mulut Sierra. Dirinya merasa sedih setiap membayangkan putri semata wayangnya itu harus dipisahkan oleh Ibunya di usia yang masih sangat kecil. Usia satu tahun yang bahkan menyebut Ale dengan sebutan “Bunda” pun dirinya belum bisa.

Tangan Sierra kembali berusaha mengambil sesuatu di dalam tas selempang kecilnya. Nathan yang menyadari hal tersebut pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh Sierra. Dan kemudian menunggu benda apa yang akan dikeluarkan lagi oleh putrinya dari dalam tas tersebut. Sambil dirinya mengatur nafas untuk meredakan isak tangisnya dan manghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.

Nih… buat Ayah.” Sierra memberikan satu buah permen berwarna merah muda berbentuk hati. “Biar Ayah gak nangis lagi. Soalnya, Adek kalo lagi nangis terus makan yupi, Adek jadi gak nangis lagi,” ucap Sierra dengan polosnya.

Loh… bukannya Adek gak boleh makan permen, ya, sama Oma? Kok ini Adek bisa nyimpen permen terus dikasih ke Ayah?

Sierra menempelkan jari telunjuknya di bibir mungilnya. “Sssttt… ini rahasia, Ayah. Adek tadi ambil diem-diem pas Oma lagi masak. Adek, kan, mau pergi sama Ayah doang, jadi Oma gak bisa tau, deh, kalo Adek makan permen,” ujar Sierra yang kemudian berhasil membuat Nathan tertawa.

Terus… kalo Ayah makan ini, Adek jadi gak makan, dong?

Gapapa… buat Ayah aja, kan, Ayah yang lagi sedih sama abis nangis.” Sierra tersenyum kembali dan kedua matanya mengisyaratkan Nathan untuk memakan permennya. Nathan hanya menuruti dan mulai membuka bungkus permen tersebut dan memakannya.

Makasih, ya, Adek,” ucap Nathan sambil mengusap lembut rambut panjang Sierra.

Sierra hanya menganggukkan kepalanya. “Adek sayang Bunda. Adek sayang Ayah. Adek sayang Oma. Adek sayang semuanya!” seru Sierra secara tiba-tiba.

Mendengar hal tersebut pun secara otomatis membuat kedua sudut bibir Nathan terangkat, membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat teduh. “Ayah, Bunda dan Oma juga sayang sekali sama Adek. Tumbuh sehat selalu bareng Ayah, ya, Adek. Selamat Ulang Tahun, malaikat cantiknya Ayah, Sierra Alena Dikara.

Nathan kembali memeluk tubuh kecil Sierra. Menumpahkan segala rasa sayang dan syukurnya atas kehadiran putri semata wayangnya tersebut di hidupnya. Senyumnya pun kembali hadir ketika kedua matanya menatap pusara di hadapannya. Dirinya kini telah benar-benar mengikhlaskan kepergian wanita yang akan selalu menjadi cinta pertama dan terakhirnya tersebut.

--

--