you’re the reason i smile when i have nothing to smile about

jaeleocky
9 min readJul 13, 2023

Setelah acara tersebut selesai, Molly memutuskan untuk memisahkan diri dengan Agatha. Alasannya adalah karena ia merasa tidak enak jika Agatha harus menolak untuk pergi bersama keluarga Arlo demi menemaninya pulang. Dan berakhir kini dirinya yang duduk sendiri di tengah beberapa orang yang berlalu-lalang keluar dari hall tersebut.

Lama ia berdiam diri karena masih sibuk memikirkan aplikasi ojek online apa yang akan ia pilih untuk mengantarnya pulang, suara dering ponselnya pun berhasil mengintrupsinya. Satu nama lelaki yang sedari tadi membuat hatinya tidak karuan pun terpampang jelas di layarnya.

“Halo? Kenapa, Fa?” sapa Molly lebih dulu tepat setelah telepon itu ia angkat.

Lo dimana, Mol? Udah pulang, kah?

“Belum. Ini gue masih ada di pintu keluar yang bagian barat, Fa.”

Lo belum pesen ojek online, kan?

“Belum, ini gue tadi lagi mau pesen.”

Gak usah pesen dulu, tunggu gue ke sana sebentar.

“O-oke….”

Setelahnya sambungan telepon tersebut pun terputus. Molly akhirnya menurut untuk menunggu Alfa datang menghampirinya. Lagi pula ia juga belum sempat untuk berpamitan dengan lelaki itu sebelumnya.

Sudah lima menit Molly menunggu sampai keadaan di tempat dirinya berdiri sekarang sudah mulai sepi, namun batang hidung lelaki itu belum juga terlihat. Sampai membuatnya kini kembali membuka ponselnya dan berniat untuk menghubungi lelaki itu.

“Molly!”

Suara yang sangat ia kenali itu akhirnya terdengar jelas di kedua telinga Molly. Ia membalik tubuhnya hingga menghadap belakang, mencari sumber suara tersebut. Kedua matanya kini melihat Alfa yang sedang berjalan ke arahnya. Namun, ada hal lain yang membuat fokusnya teralihkan kini.

Sorry, ya, gue kelamaan nyamperin lo ke sini,” ucap Alfa segera setelah berdiri tepat di hadapan Molly.

Kepala Molly hanya mengangguk dan matanya masih tepat melihat ketiga orang yang kini sudah berdiri di belakang Alfa. Dapat ia lihat sepasang pria dan wanita paruh baya serta satu wanita yang terlihat lebih muda dari dirinya.

Alfa yang menyadari hal itu pun segera mengubah posisinya menjadi berdiri tepat di sebelah Molly. “Kenalin, Mol. Ini orang tua gue sama adek gue.”

Kedua bolla mata Molly pun berhasil dibuat membulat dengan sempurna ketika Alfa mengatakan hal tersebut. Rasa canggung serta gugup segera menghampiri diri Molly pada saat ini.

“Loh? Ini Kak Molly Odessa yang atlet tenis itu bukan, sih?” celetuk Kalea—adik perempuan Alfa—secara tiba-tiba. Membuat Syailendra dan Sarayu—kedua orang tua Alfa—pun ikut melihat ke arah Molly dan menunggu jawabannya.

Rasa gugup semakin menyiksa Molly. Ingin rasanya ia kabur dari tempat itu dengan segera karena ia tidak menyangka bahwa Alfa akan melakukan hal yang tidak ia duga sebelumnya seperti itu.

“Iya, Dek. Dia Molly Odessa yang kamu bilang barusan.”

Alfa membantu Molly untuk menjawab. Ia mengerti bahwa sepertinya Molly masih merasa terkejut saat ini karena ia tiba-tiba saja mengenalkan Molly pada kedua orang tua serta adiknya.

“Wah! Gila, sih, Abang gebetannya keren banget gini sekarang?”

Tidak habis-habisnya Molly dibuat terkejut dan kali ini penyebabnya tidak lain adalah karena kata gebetan yang baru saja diucapkan oleh Kalea. Dirinya benar-benar ingin segera kabur dari sana karena semakin merasa malu.

“Adek! Ngomongnya jelek banget, sih, pake kata gila gitu!” tegur Sarayu sambil memukul pelan tangan anak perempuannya itu. “Maafin anak Tante, ya, Nak. Tadi siapa namanya? Molly, ya?”

Molly mengangguk canggung. “Gak apa-apa, Tante.” Seulas senyuman tipis pun Molly berikan. “Iya bener Tante nama saya Molly. Saya temennya Alfa dulu pas SMA,” lanjutnya dengan nada bicara yang masih terdengar sangat gugup.

Kedua sudut bibir Sarayu terangkat naik membentuk seulas senyuman. “Oh … temen SMA Abang ternyata. Kenalin, ya, ini Tante mamanya Alfa. Terus ini yang di sebelah Tante, tuh, papa sama adiknya Alfa namanya Kalea.” Sarayu memperkenalkan kedua orang yang berdiri di sebelahnya.

“I-iya, Tante. Halo, Om.” Molly tersenyum ramah pada Syailendra dan kemudian beralih ke Kalea. “Halo juga, Kalea!” sapanya.

“Halo, Kak! Wah … ini Lea masih gak nyangka bisa ketemu atlet tenis keren kayak Kakak.” Kalea mengalihkan pandangannya pada Alfa. “Abang kenapa gak pernah bilang, sih, kalo kenal sama Kak Molly?” protesnya.

“Dek, sudah kamu jangan heboh sendiri gitu,” tegur Syailendra. “Nak Molly pulang sama siapa ini nanti?” tanyanya.

“S-saya pulang naik ojek online, Om.”

Syailendra pun kini mengalihkan pandangannya pada Alfa. “Astaga … kamu gak anterin, Bang?”

“Lah? Ini Abang samperin Molly juga, kan, emang mau nganterin pulang sekalian?”

“Eh, gak usah dianter, Fa. Gue pulang sendiri aja gak apa-apa,” tolak Molly dengan cepat. Ia merasa tidak enak jika waktu Alfa bersama keluarganya akan terganggu karena dirinya.

Alfa tertawa pelan. “Santai, Mol. Mobil gue ada di sini juga, kok, jadi bisa nganterin lo pulang dulu nanti.”

“B-bukan gitu m-maksud gu—”

“Nak Molly ikut kita makan dulu, yuk? Kamu belum makan malem juga, kan? Nanti abis itu baru diantar pulang sekalian sama anak Tante, gimana?” potong Sarayu.

Kepala Molly menggeleng cepat. “E-eh gak usah, Tante. Jangan repot-repot, aku nanti pulang sendiri aja gak apa-apa, kok, udah biasa juga soalnya.” Molly menolak dengan sopan.

“Udah gak apa-apa, sayang. Yuk, kita pergi sekarang?” Sarayu melihat ke arah Alfa. “Abang sama Molly, ya? Jangan kasih dia pulang dulu sebelum perutnya keisi makanan nanti, oke?”

Alfa mengacungkan ibu jarinya. “Aman, Ma.”

Molly seperti tidak dibiarkan untuk menolak karena ketiga orang itu sudah lebih dulu melangkah pergi. Hingga kini tersisa hanya dirinya dan Alfa yang masih berdiri di sana.

Aduh!

Alfa mengaduh tepat ketika Molly melayangkan satu pukulan di lengannya secara tiba-tiba.

“Lo ngapain, sih? Kenapa mau anterin gue segala coba? Udah gue bilang, kan, kalo gue bisa balik sendirian?” omel Molly.

“Ya, gimana? Lagian juga masa gue tega biarin lo pulang sendirian? Lo dateng ke sini juga, kan, atas undangan gue?”

“Cuma gitu doang gue bisa, Fa. Gue udah bukan anak kecil juga kali.” Molly melirik sinis lelaki itu. “Terus gimana coba sekarang? Nanti lo bilang ke orang tua lo gue ada urusan genting aja, ya? Gue gak enak kalo ikut gitu malah nanti jadi ganggu acara lo sama keluarga lo.”

“Gak ada kayak gitu udah lo ikut aja. Lagian lo juga belum makan malem, kan? Biar sekalian nanti lo sampe apart udah dalam keadaan perut kenyang, gak perlu lagi mikir mau makan apa.”

“Ih, ta—”

“Bawel.”

Alfa segera menarik tangan Molly. Perdebatan itu tidak akan menemukan titik usai kalau ia hanya terus meladeni penolakkan Molly. Hanya dengan cara memaksanya lah satu-satunya cara yang dapat ia ambil. Walaupun kini ia harus berjalan sambil menahan genggamannya pada tangan wanita itu yang masih berusaha kuat untuk melepaskan dan menolak untuk ikut pergi bersamanya.

“Aku baru sadar kenapa temen aku bisa nge-fans banget sama Kakak. Ternyata Kakak emang keren banget, ya. Apalagi pas Kakak ceritain soal gimana Kakak selama jadi atlet tenis.”

Kalea tidak ada hentinya memuji Molly dari sejak mereka sudah sampai di salah satu restoran yang ada di daerah Jakarta Selatan itu. Sampai Molly pun beberapa kali berhasil dibuat salah tingkah karena menerima pujian secara bertubi-tubi tersebut.

“Yuk… kita kapan-kapan main bareng, Kak.”

Alfa tertawa sinis mendengar ajakan Kalea pada Molly. “Gaya lo segala pake ngajak main bareng, Dek. Dia udah atlet levelnya, lo main juga paling asal-asalan yang penting keringetan,” sindir Alfa.

“Diem, deh! Gue ngajaknya Kak Molly ya, bukan lo!”

“Nah… coba Papa sama Mama denger itu anaknya masa ngomong pake gue-lo sama Abangnya sendiri?” adu Alfa kepada kedua orang tuanya.

“Adek ini ngomongnya, ya!”

“Ih! Kenapa malah jadi aku yang diomelin? Mama emang gak denger Abang duluan yang cari gara-gara?”

Syailendra menghela napasnya. “Maafin keluarga Om yang dari tadi gak jelas ini ya, Nak Molly.” Kemudian menatap sinis ke arah Alfa. “Kamu juga, Bang! Suka sekali cari gara-gara sama adiknya sendiri,” omelnya.

Molly hanya mengangguk pelan seraya tertawa pelan. Belum sampai dua jam dirinya berada di tengah-tengah keluarga tersebut, dirinya sudah dapat merasakan kehangatan yang tidak pernah ia temui di dalam keluarganya. Ada perasaan sedih serta bahagia yang secara nyata dapat Molly rasakan kini.

“Kalo nanti Kakak udah pulih dari cedera, ayo kita main bareng,” tawar Molly kepada Kalea dan kemudian menatap Alfa. “Nanti buktiin sama Abang kamu itu kalo main asal-asalan kamu bisa beneran jago.”

“GAS, KAK!” Kalea menjawab dengan penuh semangat seraya menatap ke arah Alfa. “Tunggu tanggal mainnya, nanti kita tanding tenis berdua,” tantangnya kepada Alfa.

Alfa mendecih pelan. “Iye, gue tungguin tenang aja.”

“Aduh… maafin anak-anak Tante ya, Nak. Mereka suka meriang emang kalo misalnya gak berantem satu hari aja.”

Molly kembali tertawa mendengar ucapan dari wanita paruh baya itu. Entah sudah berapa kali senyum di wajah Molly terus saja muncul sejak dirinya berkumpul bersama keluarga kecil itu. Dan tentu ia merasa bahagia akan hal itu. Berharap keluarganya sendiri pun suatu saat akan bisa seperti itu, walaupun pada kenyataannya tidak akan mungkin terjadi.

Tanpa disadari ada Alfa yang sedari tadi memperhatikan Molly. Hanya dengan melihat wanita itu tertawa saja mampu membuat Alfa merasakan gejolak yang aneh di dalam hatinya. Seperti ia merasakan satu kebahagiaan ketika melihat senyuman menghiasi wajah wanita itu. Membuat parasnya yang terkadang terlihat dingin itu seketika berubah menjadi paras yang sangat cantik dan mampu memikat hati siapa pun orang yang melihatnya.

Sudah lima belas menit waktu berlalu, mobil Alfa sudah terparkir sempurna di parkiran apartemen Molly. Ia tidak berniat untuk membangunkan Molly yang saat ini sedang terlelap dalam tidurnya yang sangat pulas. Jalanan Jakarta yang cukup padat pada hari itu membuat perjalanan keduanya untuk sampai di apartemen Molly juga cukup lama, hingga membuat Molly ketiduran.

Selama waktu itu juga Alfa terus memperhatikan wajah Molly tanpa teralihkan sedikit pun. Entah sudah berapa kali Alfa menyunggingkan senyumnya ketika melihat wajah tenang wanita itu ketika telelap. Jari tangannya juga sesekali merapihkan anak rambut wanita itu agar tidak menutupi wajah cantiknya. Entah perasaan apa yang dirinya rasakan saat ini, namun yang jelas Alfa benar-benar merasakan sebuah ketenangan ketika menatap wajah itu.

Terlalu fokus menatap wajahnya sampai Alfa hampir tidak menyadari bahwa kedua mata itu perlahan mulai terbuka. Membuat Alfa dengan cepat mengalihkan wajahnya ke depan dan berhenti untuk menatapnya.

Molly mengerjapkan kedua matanya sampai ia benar-benar tersadar dari tidurnya. Ia menyadari mobil tersebut sudah dalam keadaan sudah tidak melaju.

Sorry… gue malah ketiduran,Fa.”

“Gak apa-apa, Mol.” Kepala Alfa kembali menoleh ke arah wanita itu. “Lagian juga tadi emang jalanannya macet banget, wajar jadinya kalo bikin lo ngantuk.”

“Kita udah sampe di sini dari tadi, kah?”

Alfa menggeleng cepat. “Enggak, kok. Baru aja sampe lima menit yang lalu kita di sini,” jawab Alfa berbohong.

Molly menghela napasnya sejenak sebelum melihat jam yang melingkar di tangannya. Kedua matanya membelalak ketika melihat jarum jam tersebut yang sudah menunjukkan waktu tengah malam.

“Duh… sorry banget lo jadi pulang ke rumahnya telat gara-gara harus nganter gue dulu ke sini, Fa. Mana gue pake ketiduran segala bukannya nemenin lo ngobrol. Maaf banget, ya.”

Kekehan pelan lolos dari mulut Alfa. “Santai aja sih, Mol. Lo kayak sama siapa aja, deh.” Alfa menatap kedua mata Molly. “Lagian emang udah tanggung jawab gue buat nganterin lo balik. Kan, gue juga yang tadi ngajak lo buat makan bareng sama keluarga gue.”

“Ya udah kalo gitu gue turun sekarang deh, biar lo gak makin kemaleman nanti pulangnya,” ucap Molly memasukkan ponsel yang ada di genggamannya ke dalam tas.

Baru saja tangannya ingin melepaskan sabuk pengaman, Alfa sudah lebih dulu melakukan hal itu. Membuat Molly yang menerima perlakuan tiba-tiba itu pun terkejut.

“Makasih, ya, Mol.”

Molly yang semula menunduk pun menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu. “Harusnya ini gue gak sih, yang bilang makasih ke elo? Lo yang udah ngajak gue makan bareng sama keluarga lo tadi. Terus sekarang juga gue udah dianterin pulang sampe apart.”

“Santai, Cimol. Lo gak usah sampe ngerasa kayak gitu. Gue seneng kok, bisa ngajak lo tadi pergi sama keluarga gue,” ucap Alfa dengan entengnya tanpa sadar sudah berhasil membuat Molly merasa salah tingkah.

“I-iya….”

By the way, Mol.”

“Hm?”

“Kalo misalnya kapan pun gue mau ngajak lo pergi, boleh?”

Pertanyaan tersebut berhasil membuat Molly terdiam. Ia tidak mengerti dengan maksud kata ‘kapan pun’ yang diucapkan oleh Alfa. Namun, pertanyaan itu seakan membawa lelaki itu untuk masuk lebih jauh ke dalam hidupnya.

“Mol?”

“E-eh, iya gimana, Fa?”

“Itu yang gue tanya tadi, boleh?”

Molly kembali dibuat bingung dengan pertanyaan itu. Namun, seketika ia mengingat apa yang disebutkan Agatha sebelumnya bahwa tidak ada salahnya ia mencoba untuk menjalani apa pun yang terjadi saat ini. Termasuk dengan kehadiran laki-laki itu di dalam hidupnya kini.

“B-boleh, Fa.”

Kedua sudut bibir Alfa terangkat sempurna setelah mendengar jawaban Molly. Entah mengapa dia dapat merasa senang hanya dengan mengetahui fakta bahwa setelah ini ia dapat mengajak wanita itu untuk pergi ke mana pun. Karena dirinya juga sudah merasakan sebuah kenyamanan setelah beberapa kali bertemu dengan wanita itu.

“Lo gak ada mau nanya apa-apa lagi, kan? Biar gue turun sekarang, takut makin kemaleman lo pulangnya nanti.”

Alfa menggeleng pelan. “Gak ada, Mol.”

“Oke, deh, kalo gitu. Makasih banyak, ya, Fa.” Kedua sudut bibir Molly kini terangkat naik. “Sampe ketemu lagi di waktu lo mau ngajak gue pergi kapan pun itu, ya.”

Kedua mata Alfa membelalak mendengar ucapan wanita itu. Seperti lampu hijau untuk dirinya kini benar-benar bisa untuk mencoba semakin dekat dengan wanita itu.

Berbeda dengan Molly yang segera turun dari mobil itu karena merasa malu dengan apa yang baru saja diucapkannya. Ia tidak ingin melihat bagaimana reaksi lelaki itu ketika mendengar ucapannya. Sudah tidak ada lagi Molly yang urat malunya masih utuh, karena hal itu seperti tiba-tiba saja membuat urat malunya terputus.

--

--