Perjodohan

zea
3 min readAug 5, 2023

--

Baru satu bulan setelah Jareth pulan ke tanah kelahirannya, ia menghabiskan waktu selama 8 tahun merantau di negeri orang. Menimba juga mencari ilmu, Jareth juga tidak keberatan berada jauh sekali dari rumahnya. Karena yang disebut rumah itu bahkan bukan seperti rumah.

Jareth Abrisam adalah pribadi yang tidak banyak bicara, bukan karena ingin terlihat keren. Tetapi sedari kecil ia tidak pernah diberi kesempatan untuk berpendapat dan merengek, bahkan untuk masa depannya. Jareth terbiasa diatur, semua yang Jareth capai saat ini adalah bentuk perintah dari orangtuanya.

Seperti hari ini, Jareth hanya diam mendengarkan orang tuanya berbincang di meja makan. Telinga jareth berdengung, mendengar bahwa kehidupan pribadinya pun harus kembali dicampuri kedua orangtuanya.

Iya, Jareth sudah dijodohkan.

“Nak, apa kami boleh bicara?”

Jareth berdeham pelan, “silakan, Pa.” lalu Sang kepala keluarga menatap Sang istri, seperti meminta persetujuan.

“Apa kamu bersedia untuk menikah? Papa dan Mama sudah mulai menua, sudah waktunya kamu mencari pendamping. Kamu juga akan seterusnya menetap disini, karena Papa akan menyerahkan perusahaan kepada kamu, apa kamu bersedia?”

Kalian harus tau, tutur kata lembut itu terlihat dapat kalian patahkan dengan mudah.

Tapi keluarga Abrisam berbeda, tiap kata halus yang diucapkan seperti terdapat dinding yang akan menghimpitmu, Jareth sama sekali tidak punya pilihan.

Jareth menelah liurnya. Ia gugup sekali, keputusan yang sangat berat harus dipirkirkan dengan waktu yang bahkan tidak lebih dari lima menit.

“Saya bersedia, Pa.” Terlihat kedua orangtuanya menghela napas lega, sementara Jareth menahan napasnya. Sesak sekali, lalu ia melonggarkan ikatan dasi yang terlilit dilehernya.

“Baik jika kamu bersedia, karena Papa dan Mama sudah menyiapkan calon yang pas untuk menjadi pendampingmu hingga tua, nak.”
Jareth rasanya ingin tertawa kencang, yakin sekali kalau anaknya ini akan menua dan tidak mati muda. Jareth muak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia selamanya akan terkekangdan ia tidak punya pilihan lain selain menuruti kedua orangtuanya.

Di lain rumah, ada seorang anak yang baru saja menyelesaikan sekolahnya. Ia baru saja lulus sarjana, tetapi hidupnya sudah harus diserahkan kepada orang yang bahkan ia tidak tahu wujudnya. Ia Moiz Pranadipa, putra tunggal dari keluarga Pranadipa.

Moiz mungkin tidak akan menolak, ini adalah permintaan pertama dan terakhir kali orangtuanya. Kebalikan dari Jareth, sejak kecil Moiz tumbuh dengan penuh kasih sayang.

Orangtuanya sangat mendukung apapun yang dipilih Moiz dan tidak pernah memaksanya, tetapi untuk soal pasangan mungkin orangtuanya hanya ingin Moiz aman dengan pilihan mereka, mereka tidak mau Moiz disakiti.

Semua orang tau, bahwa setiap pernikahan tidak mungkin akan terus baik-baik saja, tetapi dengan pilihan mereka, setidaknya mereka sudah tahu asal-usul keluarganya. Bibit bebet bobotnya sudah tidak perlu diragukan.

“Nak, Kami tidak akan memaksa kamu. Jika kamu merasa tidak bisa menerima keputusan ini, kami tidak akan memaksa kamu. Kebahagiaan kamu menjadi prioritas kami.”

Moiz menelan air liurnya yang berkumpul, ia terlalu gugup. “Moiz mau Pi, Mi.” Ucap Moiz sambil menatap kedua orangtuanya secara bergantian.

Telihat jelas raut keterkejutan diwajah orang tuanya. Sang ibubertanya memastikan “Kamu sudah yakin? Kamu bisa berpikir dulu sayang, kami akan menunggu apapun keputusan kamu.” Ucap
Sang ibu dengan nada sedikit khawatir.

“Gapapa Mi, Pi. Mungkin Papi dan Mami bakal lebih tenang kalo Moiz punya pendamping yang sudah pasti bisa diandalkan.” Jawab Moiz.

“Tentu, sayang.”

Moiz hanya tersenyum menanggapi, melihat orangtuanya sangat senang sudah menjadi hal yang melegakkan. Mungkin, masa mudanya akan sedikit terenggut. Tapi jika balasannya adalah melihat kedua orangtuanya tersenyum bahagia, ia tak apa.

Doakan ya, semoga calon Moiz ini orang yang baik.

--

--