100 Days Challenge | Tulisanku | #15

Cerita di Hari Minggu

Catatan Harian #1

Jesica
5 min readAug 11, 2024
Photo by jundy ardy on Unsplash

Langit masih gelap. Terang yang datang dari sinar mentari belum muncul di saat aku terbangun dari tidurku yang nyenyak.

Aku melihat benda yang telah berada di dinding rumah ini selama lebih dari 5 tahun baru menunjukkan waktu hampir 4 dini hari.

Sunyi senyap masih menyelimuti area sekitar rumah.

Sebenarnya, aku menganggap kesunyian yang ada ini adalah teman terbaikku. Aku sangat suka berada di sebuah tempat ditemani sunyi.

Namun, aku tidak mau berlama-lama menikmati momen ini karena aku harus segera merekam kejadian yang baru saja aku alami di mimpi. Caranya adalah aku harus menulisnya di buku diary merah muda yang aku beli di sebuah online store tahun lalu.

Aku sangat ingin menggunakan perangkat digital — handphone — tapi kemudian aku memutuskan untuk menggunakan cara tradisional saja. Tidak ada alasan. Hanya berubah pikiran saja.

Aku mengambil buku diary-ku, pena berbadan pink yang usianya sudah lumayan lama — sudah ada semenjak aku duduk di bangku SMA —dan ya, aku duduk di atas kasur, menyandarkan punggungku dan mulai menulis.

Goresan pena membentuk huruf-huruf yang kemudian bertransformasi menjadi kalimat yang dapat dipahami.

Aku menulis tentang pertemuanku dengan Grace, teman masa kecilku yang beberapa tahun lalu sudah tidak bersamaku lagi untuk waktu yang sangat lama. Berlatarkan di sebuah sekolah dasar kami dulu, kami seperti menjalani hari seperti biasa. Aku tidak menyadari bahwa semua itu mimpi. Semuanya. Canda tawa dan percakapan itu, semuanya tidak nyata. Hanya hidup beberapa menit di dalam alam mimpi. Sekejap akan hilang dan tidak akan bisa diulang apalagi untuk dilanjutkan di malam berikutnya.

Aku bertanya-tanya.

Apakah Grace merindukanku sehingga ia repot-repot datang kepadaku melalui mimpi pagi tadi?

Atau, apakah alam bawah sadarku saja yang mempunyai rasa rindu mendalam, tetapi aku tidak menyadarinya?

Aku tidak tahu pasti jawaban yang mana benar.

Aku… merasa senang dapat bertemu dengan Grace, walaupun hanya sebentar saja.

Selesai menulis, aku meletakkan semua peralatan rekam kejadian mimpiku tadi ke atas meja dan kembali melanjutkan tidur.

“Lumayan masih ada waktu satu jam.”

Hari ini hari Minggu.

Jadi, hari ini adalah hari di mana aku akan pergi ke gereja untuk beribadah.

Waktu kebaktian masih akan dimulai pada pukul 10 pagi nanti.

Alasan mengapa aku bangun dan berangkat cukup awal adalah karena aku akan melayani di sekolah minggu, tempat anak-anak belajar firman Tuhan sesuai dengan usia mereka.

Tidak akan menjadi efektif jika anak-anak turut ikut beribadah bersama orang tua mereka di kebaktian umum bersama orang dewasa lainnya. Tentunya cara penyampaian khotbah yang disampaikan oleh pendeta akan menjadi cukup sulit dipahami jika disampaikan dengan gaya bahasa formal dan tidak cukup ekspresif yang harusnya dapat menumbuhkan imajinasi anak untuk keberlangsungan proses belajarnya.

Aku mengenakan gaun desain klasik berwarna cokelat krem favoritku.
Tidak lupa jam tangan berwarna gold aku kenakan di pergelangan tangan kiriku dan sebuah gelang dengan manik-manik yang membentuk bunga tulips pink yang aku beli di acara pameran kampusku beberapa bulan yang lalu di pergelangan tangan kananku.

Aku cukup senang karena kelas dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak memakai pakaian terbaik mereka untuk hadir di sekolah minggu pagi ini.

Anak-anak perempuan memakai gaun-gaun cerah warna kesukaan mereka — aku tidak asal mengklaim itu adalah warna kesukaan mereka karena aku telah lebih dahulu menanyakan hal tersebut pada mereka .

Semangat mereka untuk bernyanyi puji-pujian lagu yang sebelumnya telah kususun secara urut bersama salah seorang temanku yang turut mengaturnya.

Aku terinspirasi dari mereka.

Mereka tidak ragu untuk mengangkat tangan dan bertanya untuk memuaskan rasa keingintahuan mereka tentang apa yang mereka tidak ketahui sebelumnya.

Jadi, apa yang aku lakukan di sekolah minggu?

Aku serta temanku menjadi MC, yang mengajak mereka untuk bernyanyi dan memperagakan gerakan sesuai dengan lirik lagu yang ada.

Mengisi daftar kehadiran mereka, mengawasi agar kelas berjalan dengan tertib, dan mengajari mereka untuk membuka Alkitab. Aku juga menjadi pencerita terkadang.

Di gereja tempatku beribadah, ada total tiga kali kebaktian tersedia.
Aku selalu mengikuti jam kebaktian kedua.

Tema ibadah hari ini adalah “Percayalah Kepada Tuhan”. Pendeta memulai khotbah dengan bertanya sebuah pertanyaan kepada jemaat, “Hal apa yang membuat seseorang dapat percaya?”

Dalam hati aku menjawab, “Tentu saja dengan melihatnya.”

Dan ya, tentu saja bukan?
Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk percaya adalah karena adanya bukti yang mendukung, sesuai logika, dan orang yang menyampaikan informasi tersebut adalah kredibel.

Kemudian, khotbah berlangsung dengan lancar.
Aku dapat mengerti dengan baik pula perbedaan antara kata “believe” dengan kata “trust”. Kata “trust” mempunyai makna yang lebih mendalam, mengartikan bahwa seseorang mempunyai “trust” di dalam dirinya tidak hanya memercayai saja, tetapi juga memercayakan sesuatu atau bahkan dirinya kepada seseorang tersebut.

Tidak jarang di dalam kehidupan yang dinamis ini, acapkali aku melupakan bahwa ada Kekuasaan yang lebih tinggi yang mempunyai rencana jauh lebih baik dari yang pernah aku dapat pikirkan.

Keluhan demi keluhan terlontar dari jariku (aku suka memperdengarkan keluhanku di notes yang terpasang di ponselku).
Seolah-olah saja Tuhan ingin menjawab keluhanku melalui khotbah bu pendeta hari ini.

Aku merasa terberkati dengan khotbah yang dibawakan hari ini.

“Trust and Obey”

Seperti kisah Nuh yang tetap percaya pada Tuhan dengan menaati perintah-Nya untuk membuat sebuah bahtera yang besar agar cukup ditempati oleh berbagai macam binatang masing-masing sepasang selama 120 tahun bersama keluarganya. Tujuan membuat bahtera ini adalah agar diselamatkan dari air bah yang akan menutupi muka bumi dan segala isinya dengan didatangkannya hujan yang lebat dan semua mata air samudera raya terbelah dengan dahsyat dan tingkap-tingkap langit terbuka.

Nuh tidak peduli dengan cemoohan orang-orang yang melihatnya bekerja keras membuat bahtera tersebut. Tidak logis jika dipikir-pikir membuat sebuah kapal yang sangat besar di tengah daratan kering dan tidak ada tanda-tanda akan ada hujan selebat itu dalam waktu yang dekat.

Aku mengagumi kesetiaan Nuh dan keluarganya yang tetap percaya dan menaati-Nya selama ratusan tahun — bukan satu tahun atau lima tahun.

Sebelum menutup cerita tentang hari Mingguku ini, sebenarnya aku merasa sangat malas untuk menulis dan merasa tidak tahu apa yang harus ditulis. Sistem yang biasanya aku terapkan di pikiran selama ini yaitu bahwa hari Minggu adalah hari di mana aku dapat bermalas-malasan setelah pulang dari gereja.

Aku teringat kembali dengan tantangan yang aku sematkan di profil Medium-ku, bahwa aku akan melakukan dan memang sedang melakukan 100 Days Challenge tersebut. Aku senang dan merasa puas karena akhirnya aku dapat mengatasi perasaan malas tersebut hari ini.

Terima kasih telah membaca!

Dengan Cinta,
Jesica ❤

--

--