jjkdanusan
8 min readJun 30, 2023

Third Wheel

Yang Yerika ingat, surai Juandra 3 bulan lalu tidak sepanjang ini. Namun sisanya masih sama. Mata bulat jernih, hidung bangir tinggi, aroma tubuh bercampur wangi parfum maskulin yang memikat hati serta tubuh atletis dan kaki jenjang yang semakin menyempurnakan dirinya.

Tiga bulan tak pernah bersua dengan pria bersuara merdu ini ternyata tak jua membuat perasaan satu arah Yerika pada Juandra sirna.

Tiga bulan.

Yerika pikir tiga bulan adalah waktu yang cukup baginya untuk membuang jauh-jauh perasaan bodohnya pada pria kharismatik ini. Namun semua sia-sia. Hanya melihat senyum kecilnya pun sudah berhasil membuat perut Yerika tergelitik.

"Gimana KKN nya? seru, Yer?" Juandra memperbaiki beanie hat hitamnya, tersenyum simpul pada Yerika yang susah payah menahan rona merah merekah pada pipi gembilnya sekarang.

"Hng? iya. Seru kok!"

"Nangis ngga pas perpisahan sama warga di sana?"

Rika meringis kecil, wajahnya berubah sedikit murung seketika mengingat sedikit kenangan beberapa hari lalu ketika ia dan kawan-kawan kelompoknya berpisah dengan penduduk dan perangkat desa yang begitu baik menjamu mereka selama KKN di sana.

"Keep in contact aja, Yer. siapa tau suatu saat nanti bisa silaturahmi ke sana lagi." sambung Juandra setelah sesaat melihat air wajah Yerika berubah masam.

Juandra tidak menyangka, tidak melihat Yerika selama tiga bulan lebih ternyata membuatnya sedikit merindukan sahabat kekasih nya ini.

"AYANG!"

"Maafin aku sakit perut banget!!" sambung gadis berponi dari balik tubuh Juandra, memeluk Juandra dari belakang dengan erat.

Rika menghela napas berat. Mengapa rasanya belum bisa lapang melihat pemandangan seperti ini di depan matanya?

Juandra dan Mala bahkan sudah berkencan lebih dari satu tahun lamanya.

"Aku fikir kamu ketiduran di toilet." Juandra terkekeh, menekan gemas hidung kekasihnya.

Mala merotasikan mata, “Ngawurrrr!! bytheway kalian lagi ngobrolin apa kok muka Rika suram?"

"Aku cuma nyaranin Yeri to stay in touch aja sama warga desa kamu kemarin. Biar kesannya juga baik buat kalian, dan next time misal kalau semesta mengizinkan dia silaturahmi ke desa kemarin, biar enak. Aku bener kan?"

"Ya bener, tapi ka—"

"Sudah sudah," Rika menengahi pasangan di depannya yang hampir beradu argumen, "Juandra bener kok, Mal. Gue cuma dikit sendu aja inget sama warga desa. Rasanya agak kangen sih sama suasana sore di sana, naik ke bukit Pangilon terus liat matahari tenggelamnya." Rika berusaha mengalihkan fokus ke-dua nya dengan narasinya sambil tersenyum paksa.

"Aaaahh!! gue juga kangen kita naik ke bukit Pangilon sama anak-anak. Nimba air rame-rame di sumur depan rumah Pak Zainal, makan gorengan di kebun belakang rumah. Seru banget and memorable." Mala melanjutkan, wajahnya kecut sebab rindu.

"Oh iya kamu udah pesan minum belum, Ju?" sambung Mala mengambil beanie hat Juandra, lantas memakainya asal.

"Udah, espresso dingin. Kamu aku pesenin vanilla milshake and aglio olio, Yeri strawberry smoothies sama bola ubi. Bener kan?"

Yerika ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana bisa ia mengubur dalam perasaannya bila perlakuan Juandra selalu manis seperti ini?

"Kamu masih aja manggil Yeri ke Rika."

"It more suits for her than Rika, menurut aku. Lagian Yer, ngga masalah kan kalo aku manggil kamu Yeri selama ini?"

Rika menggeleng kecil, memainkan ujung-ujung kuku nya kikuk.

Siang tadi ia di chat Mala untuk mencari angin sambil mendengarkan live music di kafe. Katanya tiga bulan tidak menghirup udara perkotaan membuatnya lupa akan irama lagu. Dasar Lebay. Namun pertanyaan Rika selanjutnya justru tidak digubris Mala setelahnya.

Ia hanya ingin menghindari Juandra sebisa mungkin.

"Tapi kamu tau ngga, yang? Rika ditaksir sama anak lurah desa kita masa."

Juandra kontan menghentikan kegiatan bertukar pesannya, netranya sejenak menatap lurus pada ponselnya yang mulai meredup. Juandra terpaku diam beberapa saat dengan pendar mata yang sulit diartikan.

"Namanya mas Sena. Kemarin sebelum pulang Mas Sen—"

"Apaansih ngga ada ya. Mas Sena kemarin cuma pinjem hape gue buat tethering bentar. Jangan nyebarin berita hoaks dong, Mal." Yerika merengut masam.

"Ih orang gue liat Mas Sena ngetik nomer di hape elu."

"Itu bukan nomer hape Mas Sena. Gue minta nomer hape Bu Risma kok."

"Lah gue punya nomer bu Risma ngapain minta ke anaknya Bu Risma?"

"Ya karna Mas Sena anaknya."

Juandra mengambil alih, dimatikannya ponsel lalu meletakkannya di atas meja, ia berdehem, "Ehm. Umurnya berapa emang si mas-mas itu, yang?"

"Berapa yah? dua lapan kali ya? iya bukan, Rik?"

"Dua sembilan," jawab Rika seadanya sambil mengaduk strawberry smoothiesnya yang baru datang.

"Tua banget."

"Lah kamu dua lima, yang. Kamu juga tua dong."

"Muda aku empat tahun, byy." Juandra menyanggah cepat. Bukankah dua puluh lima dan dua puluh sembilan cukup jauh?

"Ga papa, pas itu yang. Usia matang. Ya gak, Rik?"

"Apasih, Mal?!"

Mala terkikik geli, mengganggu Yerika memang selalu menyenangkan.

Mala dan Yerika telah berkawan sejak di bangku sekolah menengah atas. Rumah mereka bahkan hanya berjarak beberapa ratus meter.

Maka saat dahulu Yerika mengatakan ingin mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri yang sama dengannya, Mala dibuat senang bukan kepalang.

Kawannya yang satu itu tidak pernah melakukan keburukan sekalipun. Hidupnya amat lurus, walaupun ia terlihat angkuh dan dingin, namun percayalah, hatinya amat tulus. Bahkan Mala sering dibuat iba dengan keadaan Yerika dan keluarganya.

Gadis dan anak yang begitu penyayang itu ditinggal pergi sang Ayah ketika Ayahnya menikah lagi dengan sekretaris kantornya saat ia masih berusia empat belas dan adiknya yang belum genap berusia sepuluh. Beruntung ibunya memiliki usaha kecil-kecilan yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka yang telah pincang karna tak memiliki nahkoda untuk mengayuh perahu mereka.

Mengenal pribadi Yerika hampir sepuluh tahun lamanya tak lantas membuat Mala mengetahui banyak hal tentang Rika. Gadis itu sedikit tertutup untuk urusan kehidupan pribadinya.

Bahkan soal kepergian Ayah Rika pun hanya ia dengar dari rumor mulut ke mulut tetangga di sekitar rumah mereka. Namun tentu saja sedikit kekurangan Rika itu tak mengurangi secuil pun rasa sayang dan perhatian Mala pada Rika.

"Yeri emang setelah lulus mau langsung married?" tanya Juandra lurus pada Yerika yang tengah menyuap bola ubi renyahnya.

"Engga nargetin sih, tapi kalo jodohnya datang yaaaa.... gue ga nolak juga."

"Ngga mau ngejar karir?"

Mala menyerobot, "Dia mau lanjutin toko baju bunda nya, sayang."

Entah mengapa pembicaraan mengenai dirinya ini membuat Rika sedikit gerah. Bukan lah tanpa sebab. Gadis bersurai gelap itu telah diam-diam menaruh hati pada kekasih sahabatnya ini selama tiga tahun lamanya.

Tiga tahun, bahkan lebih tua dari pada usia hubungan Juandra dan Kumala.

Sedikit kilas balik mengenai momen pertemuan Rika dan Juandra tiga tahun lalu.

Rika yang kala itu tengah datang bulan tidak sadar bahwa noda merah darah telah tembus ke celana cokelat katunnya.

Nyatanya, saat gadis itu hendak turun dari kendaraan umum karna telah sampai di areal kampus, ia dibuat terkejut sebab ada lelaki asing yang terburu mengikutinya dari belakang. Tubuh keduanya begitu rapat hingga Rika sesaat berpikir lelaki bertato di belakangnya hendak melecehkannya.

Lelaki itu lantas terburu mengikatkan dua lengan hoodie hitamnya dari belakang tubuh Rika hingga ke depan perut sang gadis yang masih terdiam syok dan mencerna situasi.

"Ini bukan hoodie favorite gue, jadi buat lo aja."

"Hah?"

"Merah. Celana lo."

Begitu saja. Lantas setelah nya lelaki asing itu masuk lagi ke dalam angkutan umum lagi yang sebelumnya ia pinta untuk berhenti sesaat.

Pertemuan singkag yabg begitu berkesan bagi Yerika hingga tanpa sadar nyeri kram pada perutnya tidak terasa akibat dari perlakuan manis lelaki berperawakan tinggi itu.

Pertemuan kedua, dua minggu setelah insiden celana Yerika yang berubah merah.

Rika yang sore itu tengah mengambil loundry-an nya dibuat terkejut (lagi) dengan kehadiran lelaki dari balik tubuhnya yang terkesan tergesa-gesa menaruh sekantong baju kotor di meja pemilik loundry.

Bahkan tanpa harus menunggu baju miliknya ditimbang, lelaki itu seperti dikejar waktu berteriak keras, "Mas Dito kayak biasa ya. chat gue kalo udah kelar. Thanks mas!"

Telinga Rika yang terasa familiar dengan suara lantang itu pun lantas memutar kepala. Mendapati lelaki bercelana olahraga sepanjang lutut dengan kaos hitam sebagai atasan. Tangan kanannya yang dihiasi ukiran tato yang ia kenal membuat Rika lantas memanggil lelaki yang tengah bersiap menyalakan mesin motor itu.

"Mas! hey! kamu!"

Ia menoleh, mengernyit, "Loh? mba celana merah? Ngapain di sini?!" katanya disusul dengan mata membulat lebar seolah terkejut dengan eksistensi wajah tak asing di seberangnya.

Rika abaikan tanya lelaki itu, ia justru menyuruh lelaki itu menunggu sesaat, "mas, tunggu sini! hoodie kamu di dalam plastik loundry saya. Saya ambilin."

"Gue buru-buru. Hoodienya buat lo aja."

"Jangan plis. udah bersih kok." Rika menyela, menggeleng tak setuju.

"Udah ngga papa, gue buru-buru mau futsal. Gue duluan, bye."

Juandra tak henti-hentinya tersenyum konyol dari balik kaca helm hitamnya. Ia pikir hanya ia yang mengingat rupa lawan bicara nya di pinggir jalan raya siang itu, namun nyatanya gadis itu juga sepaham dengan Juandra.

Gadis bermata bulat dengan ekspresi wajah yang terkesan galak itu justru membuat jantung Andra memacu begitu gila. Juandra bahkan masih ingat aroma fruity bercampur floral yang menguar dari surai gadis itu kala Juandra mengikatkan hoodie nya pada perut si gadis.

Juandra suka wanginya.

Kalau saja sore ini Andra tidak tergesa-tergesa, maka bisa dipastikan lelaki itu akan dengan sukarela mengajak gadis "bercelana merah" itu melipir ke kedai kopi di seberang loundry langganannya. Membicarakan apapun agar keduanya dapat akrab.

Tak henti-hentinya Juandra merapal agar kelak bertemu dengan gadis itu lagi. Entahlah apa alasannya, namun itulah harapan acak Juandra beberapa hari setelahnya.

Hingga pertemuan ketiga mereka-lah, justru yang membuat situasi diantara Juandra dan Yerika begitu sulit hingga detik ini.

Rika mengerjap, mencoba fokus dari pikirannya yang tengah bernostalgia kala saat itu hanya ada ia dan Juandra, tanpa Kumala. Ia meringis, mengikhlaskan sesuatu yang bukan milik diri ternyata tidak semudah itu.

Tangannya terulur merambat, merogoh tas selempang yang ia letakkan di kursi sebelah. Tubuhnya terasa memanas, padahal malam ini mereka duduk di ruangan ber-AC.

Rika bergumam sebal mencari benda yang selalu ia taruh di kantong tas merah maroonnya. Pendarnya mencoba fokus pada objek di depannya sambil berusaha mengalihkan intensinya dari tangan Mala yang tengah merangkul manja bisep Juandra.

Ia ingin merengek seperti bayi, matanya perlahan memanas, dada nya mulai nyeri. Rasa sesak yang sudah lama tak ia rasakan kini menghampiri lagi.

Kalau saja dulu ia tidak mengenalkan Mala dengan Juandra, mungkinkah cerita nya tidak akan berakhir seperti ini?

"Nyari apa, Yer?" Juandra berjengkit, melirik Yerika yang tangannya sibuk merogoh tas kesayangannya.

"Scrunchie, tadi perasaan gue bawa."

"Gerah ya?"

Rika mengangguk kecil, tangan kirinya mengambil sumpit kayu bekas Mala, lalu membersihkan dan mengusapnya dengan tisu.

"Pake ini aja." Juandra dengan cepat melepas ikat rambut berwarna hitam miliknya yang selalu ia letakkan di pergelangan tangan.

"Masih bersih kok belom pernah gue pake." lanjutnya menjelaskan.

"H-hah? gue pake sumpit ini aja."

Juandra menggeleng, tersenyum simpul, "Ngga papa, ada iket rambut kok pake gituan. Ini ambil." Juandra menyodorkan lagi.

Juandra menarik pelan pergelangan tangan Yerika, perlahan memindahkan ikat rambut hitam yang akhir-akhir ini menghiasi pergelangan tangan kiri besarnya.

Tangan kedua nya bersentuhan, waktu seolah berputar begitu lambat. Tangan yang begitu lama Rika kagumi. Tangan lelaki yang dulu selalu ia harapkan untuk bisa menggenggam erat tangannya. Telapak tangan yang terlihat begitu besar yang selalu ingin ia genggam. Begitu hangat walau hanya sesaat keduanya bersentuhan.

Rika ingin banyak-banyak bersyukur. Walau hanya seperti ini, walau Juandra tidaklah berakhir menjadi miliknya, setidaknya lelaki itu dapat tersenyum bahagia dengan pilihan hatinya. Itu sudah sangat cukup bagi Yerika untuk membuat hati nya terasa ringan.

Kedua nya bertatapan dengan telapak tangan yang masih bersentuhan beberapa saat, hingga tanpa sadar ada sepasang mata yang menatap ke duanya aneh.

Ia seperti asing di sana. Statusnya yang begitu absolut seolah patut dipertanyakan sekarang. Ia merasa ia-lah di sini yang menjadi third wheel di antara ketiga nya.

Mala meremat ujung cardigannya, rasanya ada yang aneh namun entah apa. Mala merasa tak pernah melihat Juandra menatap iris nya sedalam dan setenang itu, seperti saat ini, saat Juandra menatap Yerika dengan begitu hangatnya.