Cinta Sucimu yang Membara bagai Tulip Merah dan Putih

an
3 min readFeb 1, 2024

--

Selasa, 16 Januari

“Selamat datang di Lily Florist. Hari ini, mau bunga apa lagi?”

“Saya mau sebuket tulip merah sama putih, ya, Mbak. Disatuin aja.”

Aku terdiam cukup lama ketika kudengar permintaan itu. Untuk pertama kalinya, Alfin tak tanyakan saran mengenai bunga apa yang harus dia pilih.

Akhirnya pria itu tau tujuannya ke toko ini, belikan bunga berlambangkan cinta untuk yang terkasih.

Aku sudah tidak peduli dengan prinsip tak ingin ikut campur dengan kehidupan para pelangganku. Yang satu ini, aku perlu tahu agar aku bisa perkirakan sejauh apa hatiku dapat menahan rasa sakit itu.

Jadi, dengan segala keberanian yang telah aku kumpulkan, aku bertanya, “Mas mau nembak cewek, ya?”

Alfin menjawab dengan senyum kotaknya, tampilkan deretan gigi putih bersihnya, tak seperti hari-hari sebelum yang hanya ukirkan segaris kurva biasa.

Hari ini mungkin adalah hari bersejarah bagi Alfin, sebab semua yang dia perbuat adalah hal yang pertama kali untuk kulihat.

“Saya kira mawar udah cocok. Tapi pas saya search di internet, ternyata tulip lebih romantis, ya,” katanya yang saat ini tengah rehatkan diri di kursi tunggu.

Harusnya aku senang, karena Alfin sampai rela cari tahu lebih banyak tentang makna setiap bunga. Tapi mengapa hati ini rasanya semakin panas, saat tahu bahwa semua yang Alfin perbuat bukan ditujukan padaku?

Tidak sepatutnya aku merasa cemburu, karena aku bukanlah seseorang yang miliki posisi penting di dalam hidupnya.

Sembari aku sibuk dalam rangkaikan beberapa tangkai tulip, Alfin bersuara lagi, pecahkan keheningan yang kucipta.

“Mbak, terima kasih, ya. Saya ingat waktu saya nganterin Mbak dulu, di hari itu juga saya bisa dipertemukan sama dia. Mungkin kalau saya gak nganterin Mbak waktu itu, kita gak bakal bisa jadi kayak sekarang.”

Ah, begitu rupanya.

Ternyata mereka bertemu di hari sialku.

Padahal aku yang pertama bertemu dengan pria ini, tapi kenapa Tuhan tak berikan kami akhir cerita yang sama seperti si gadis pujangga?

Lalu, ke mana perginya doa-ku hari itu? Apa itu terlalu susah untuk Engkau kabulkan, Tuhan? Atau mungkin doa-ku tak se-spesifik milik si gadis pemilik hati Alfin?

Mengapa Kau pertemukan aku dengan dia kalau alkhirnya kami tak bisa bersama?

Aku marah. Aku sedih. Aku kecewa.

Kecuali Engkau yang sudah tuliskan nama mereka berdua di dalam buku takdir, dan aku adalah ciptaan-Mu yang memberontak masuk ke dalam kisah mereka, maka aku akan ikhlaskan akhir cerita sedih itu untuk Kau berikan padaku.

Saat sebuket tulip selesai kurangkai, Alfin masih setia dengan senyum kotaknya. Kutebak, pria itu sudah terlampau gembira karena hari ini adalah hari yang telah dia tunggu tibanya.

“Kayaknya kita belum kenalan, ya? Padahal udah sering ketemu. Saya Alfin, nama Mbak?”

Harusnya Alfin tahu kalau namanya itu sudah teramat aku hapal, hingga sering kusebut dalam doa dan harapku pada Tuhan. Tapi Tuhan tak biarkan Alfin untuk simpan kembali namaku dalam hidupnya.

Kuberikan senyum termanisku untuknya, lalu menjawab, “Saya Jey. Salam kenal, ya, Mas Alfin. Good luck untuk hari ini.”

Walau hatiku semakin hancur dipatahkan kenyataan bahwa Alfin tak akan bisa kumiliki, tapi aku tak boleh perlihatkan sedihku di hari istimewanya ini.

Alfin tidak seharusnya tahu tentang cerita seorang gadis malang yang sudah tanamkan hati padanya dari sejak tiga detik dia berikan senyum manis itu untuk si gadis malang.

Alfin hanya boleh lanjutkan ceritanya sendiri, kisah mengenai sang pangeran dan tuan putrinya.

“Terima kasih, ya, Mbak.”

Dulu aku percaya jika satu kali adalah kebetulan, dua kali adalah keberuntungan, dan kemudian tiga kali adalah takdir untuk kami.

Namun ternyata Tuhan hanya jadikan aku sebagai salah satu dari sekian banyaknya figuran dalam kisah hidupnya.

--

--

an

someone said, “fiction is the art of making possibilities.” and that’s why i’m here.