Mengapa Punya Masalah itu Berat

Dan bagaimana Allah membuatnya ringan.

Joky Satria Pamungkas
9 min readMay 3, 2020
Source: Freepik by jcomp

Empat tahun lalu, menjadi ujian yang menggetarkan jari dan pena. Nasib studi saya selanjutnya ditentukan oleh coretan-coretan pena antara A, B, C, D, atau E. Pikiran serasa sesak. Jam terus berdetik menuju akhir, sedang yang benar belum ditemukan. Hati berulang-ulang berkata, ”nutut gak yo… (sempat tidak ya).”

Waktu itu saya mengerjakan soal SBMPTN. Benar, saya buruk sekali mengerjakannya. Padahal waktu tryout, saya bisa dan tidak merasakan kecemasan berlebih.

L5 itu maksudnya lulus passing grade (5-nya lupa maksudnya apa).

Pusing rasanya. Meski ujian telah selesai, tetap saja terbayang soal yang gagal saya jawab. Sekarang masalah saya akan bertambah: marahnya Bapak. Bapak sangat perhatian untuk masalah pendidikan saya, mengingat beliau adalah seorang guru les. Diam sudah apabila ditanya Bapak, “isok ngerjakno piro soal? (bisa mengerjakan berapa soal?)”

Sepulang dari tempat tes, saya langsung makan dan main Dota 2 untuk melupakan yang telah terjadi. Namun tetap saja, rasa kecewa itu menengok kemudian. Sebenarnya saya sudah di terima di sekolah tinggi yang saya harapkan. Tetap yang terpikirkan, “kenapa saya susah waktu mengerjakan SBMPTN?”

Bapak pun menunjukan kesalahan jawaban SBMPTN saya. Hasilnya, kebanyakan soal yang saya tidak ada jawabannya, ternyata saya yang salah hitung. Tambahlah sakit kepala saya. “Mungkin tidak lulus,” pikirku lemas. Pun Bapak juga pesimis apabila saya lulus.

Benar, waktu pengumuman, saya tidak lulus. Sedangkan teman-teman di grup SMA saling mengucapkan selamat lulus SBMPTN. “Aku ga lulus sendiri ya… Bagaimana bisa aku bilang ga lulus ke yang lain… Belum lagi apabila ditanya orang masuk mana… Nama mau ditaruh mana, padahal lulusan sekolah favorit…,” dan rasa malu sedih yang berlangsung berminggu-minggu.

Beberapa pun telah memberikan saya saran seperti, “Tidak masalah gagal sekarang. Tidak perlu bersedih. Kamu bisa belajar dari kegagalan dan ikut SBMPTN tahun depannya. InsyaAllah berhasil.” Tetap kesedihan itu tidak hilang. Mengapa masalah itu sulit untuk selesai?

Efek Bias Negatif: Kita Sensitif dengan Masalah yang Kita Miliki

Masalah tidak hanya yang besar — seperti gagal SBMPTN — yang sulit. Semua masalah yang menimpa kita akan menjadi sulit, meskipun orang lain yang melihat itu “sederhana.” Mungkin teman-teman juga merasakan, akan berbeda apabila diri sendiri yang merasakan masalah dengan melihat orang lain memiliki masalah.

Presentasi di kelas, meskipun sesederhana membaca jawaban yang telah ditulis, bisa menjadi sulit. “Bagaimana kalau jawaban saya beda dengan yang lain? Berarti saya salah sendiri? Dan bagaimana apabila saya tidak dihiraukan?” Rasa stres dan takut pun muncul.

Para psikolog mengungkap kekhasan pikiran manusia, bahwa kita menilai hal negatif lebih besar dibandingkan hal positif. Kita menilai tidak kehilangan uang 10 ribu lebih penting daripada mendapatkan uang 10 ribu. Kita lebih mudah mengingat pengalaman dicopet dibandingkan pengalaman diberi kado. Kita juga lebih fokus kepada nilai C+ dibandingkan nilai A di rapor. Mereka menyebutnya dengan bias negatif.

Dengan bias negatif, masalah bisa dimaknai lebih memusingkan dan lebih emosional. Seperti saya ketika gagal mengerjakan SBMPTN. Kegagalan tersebut saya maknai sebagai pertanda akan dimarahi oleh Bapak, dipandang rendah orang lain karena gagal, dsb.

Pemaknaan itu adalah worst case scenario. Kita memprediksi kondisi buruk yang akan terjadi untuk mengerti dan meresponnya. Apabila dampaknya kecil, kita bisa menerimanya. Apabila dampaknya besar, kita akan berpikir keras untuk solusinya. Sayangnya, lebih jauh memprediksi, semakin kita mengetahui bahwa kita akan menghadapi bahaya yang sangat besar. Kita semakin stres dan pusing, karena tidak sanggup menghadapinya.

Begitu pula ketika presentasi di kelas. Ketika tidak tahu jawaban yang benar — atau setidaknya meragukan jawaban sendiri — , kita akan memprediksi worst case scenario: jawaban saya akan salah, beda sendiri dengan teman-teman yang lain, terlihat bodoh, tidak dihiraukan guru, dst. Ujungnya jadi takut, grogi, dan canggung untuk presentasi.

Pikiran negatif serupa bola salju yang bergulir dan terus mengumpulkan pikiran-pikiran negatif lainnya sehingga tercipta sebuah pikiran buruk yang luar biasa besarnya.

Greatmind

Kebalikan dari worst case scenario (melihat dampak), pemaknaan negatif juga bisa dengan melihat sebab. Kita merenungkan faktor-faktor dari musibah yang terjadi, sehingga bisa mengerti dan mewajari masalah tersebut, lalu move on. Sayangnya hasil perenungan itu bisa terbalik. Bukannya menemukan kewajaran tersebut, malah kita terjebak perenungan lama yang lebih menyedihkan, atau dikenal dengan ruminasi.

Seperti ketika saya gagal mengerjakan soal SBMPTN. Perenungan saya membuat saya semakin sadar, betapa cerobohnya saya. Saya pun tidak bisa menerima kecemasan saya yang menyebabkan saya ceroboh. Semua itu menambah kekesalan dan stres pada diri saya sendiri.

Source: Alison Ledgerwood’s Ted Talk Illustration

Masalah tidak hanya membesar karena bias negatif, namun juga persisten. Meskipun telah ada kabar menggembirakan, tetap saja masalah negatif yang dominan. Kabar menggembirakan itu seakan-akan tidak ada. Yang ada hanyalah kesedihan dan kecemasan.

Seperti saya yang mengabaikan fakta bahwa saya telah diterima oleh sekolah tinggi yang saya harapkan, dan tetap meratapi kegagalan SBMPTN saya. Pernah kah kalian selalu cemas atau meratapi hal buruk yang telah terjadi, sedang tak sadar melewatkan berbagai hal baik?

Alison Ledgerwood, psikolog sosial, akan menjelaskan kenapa masalah negatif persisten.

Bias negatif juga mempengaruhi kita untuk salah menilai dan sensitif (bersikap defensif) terhadap orang lain, meskipun itu adalah teman dekat atau psikiater. Hal itu membuat kita sulit mendapatkan dukungan dari orang lain, karena mengira mereka akan “menyakiti” kita — saya sensitif bila ditanya tentang SBMPTN, karena mengira mereka akan merendahkan saya. Bahkan tak sadar, kita bisa menganggap Allah juga tidak akan membantu masalah kita.

Akan kah Allah Membantu Menyelesaikan Masalah Kita?

Pernah kah kalian sholat, tetapi malah memikirkan masalah yang dialami, dan lupa memperhatikan bacaan? Ketika dalam masalah, kita fokus hanya pada masalah kita dan melupakan selainnya. Kita mungkin menjadi lupa akan Allah dan tidak berdoa kepada-Nya. Padahal Allah peduli terhadap kita setiap waktu, dan tidak membiarkan kita dalam masalah.

Demi waktu matahari bersinar terang hingga terbenam (الضُّحَىٰ), demi waktu malam ketika telah gelap sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkanmu…

Qs. Ad-Dhuhaa[93]: 1–3

Kesedihan dan kecemasan hanya permulaan, dan akan berubah menjadi kegembiraan di akhir. Maha Kuasa Allah, Dia merencanakan yang lebih baik dari kondisi kita sekarang.

Dan sungguh, pasti yang akhir itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. Dan sungguh, pasti segera (لَسَوْفَ) Tuhanmu akan memberimu, sehingga kamu menjadi senang.

Qs. Ad-Dhuhaa[93]: 4–5

kata لَلْآخِرَةُ tidak hanya bermakna kebahagiaan akhirat, tetapi bisa kondisi ketika masalah kita alami berakhir. Hal ini ditunjukan pada ayat kelima, dalam Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an kata سَوْفَ berarti “perbuatan yang akan datang, namun mengandung arti sekarang,” atau segera. Terdapat hurf لَ pada سَوْفَ yang menekankan arti segera itu pasti/benar bahwa Allah sesegera mungkin memberikan sesuatu yang akan menyenangkan kalian.

Jika tidak percaya, cobalah ingat kembali, pernahkah Allah menyudahi kesulitan kalian dan menggantinya dengan kesenangan?

Bagaimana Allah memberi kesenangan itu?

Ada kah lagi?

Sehingga, bukankah Allah dekat kepeduliannya kepada kalian?

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia memberimu tempat berlindung?

QS. Ad-Dhuhaa[93]: 6

Dengan Allah memberikan karunia-Nya, bukan berarti masalah akan selesai sesuai yang kita harapkan — namun tetap lebih membahagiakan. Seperti masalah Rasulullah yang yatim piatu. Masalahnya tidak selesai dengan hidupnya kembali kedua orang tua beliau. Melainkan beliau diasuh oleh pamannya yang sangat penyayang dan memberikan perhatian lebih.

stidalhadid.ac.id

Pun kegagalan mengerjakan SBMPTN saya, tidak selesai dengan saya diterima PTN yang saya pilih. Saya tetap berkuliah di STID Al-Hadid Surabaya, dan saya sangat senang bisa berkuliah di sana. Mendapatkan pengajaran akan kebesaran dan kearifan Islam; Fasilitas yang sangat memadai; bertemu dengan teman-teman dan dosen yang supportif dan ramah — saya sulit dalam bergaul, suka menyendiri, dan diam. Senang rasanya dan bersyukur bisa menjalani bersama selama empat tahun.

Sehingga, jangan berekspektasi masalah akan selesai sesuai dengan kehendak kalian. Kalian akan semakin stres dan pesimis terhadap Allah, karena yang kalian harapkan tidak kunjung datang. Cukuplah memohon untuk Allah membantu menyelesaikan masalah kita — tetapi bagaimana Allah membantu, serahkan kepada Allah. Allah lah yang menentukan segalanya dan Dia menentukan yang terbaik untuk hamba-Nya.

dan Dia memberinya (karunia) dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa mempercayakan urusannya (يَتَوَكَّلْ) kepada Allah, maka Allah cukup (حَسْبُ) baginya (untuk menolong urusannya). Sungguh, Allah menyelesaikan (yang menjadi) pekerjaanNya (dalam menolong urusannya). Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.

Qs. At-Talaq[65]: 3

Sehingga, jangan pula berekspektasi pandemi Covid-19 akan cepat selesai. Cukup ketahuilah bahwa semua segera lebih mudah, lebih baik, dan membuat kalian senang. Dengan demikian, kalian bisa lebih terbuka terhadap kesempatan, dukungan, atau hal-hal positif lain yang tidak terduga.

Jika masalah berakhir menyenangkan, kalian tidak perlu merenungkan masalah kalian yang telah terjadi bukan? Kalian tidak perlu seperti saya yang meratapi lama kegagalan SBMPTN. Saya pun tidak meratapinya lagi, karena senang berkuliah di STID Al-Hadid. Sehingga untuk apa meratapi yang akan berlalu, sedang ada masa depan yang membahagiakan?

Jika masalah berakhir menyenangkan, kalian pun tidak perlu memperhitungkan worst case scenario bukan? Apalagi worst case belum tentu terjadi. Bahkan tidak akan terjadi. Apabila itu worst case, maka tidak ada akhir menggembirakan sebagaimana Allah janjikan— karena worst case pasti berakhir menyedihkan.

Bapak saya tidak memarahi saya seperti perkiraan saya, meskipun beliau menceritakan kekecewaannya kepada saya. Teman saya yang mengetahui saya gagal SBMPTN, tidak ada yang merendahkan saya. Bahkan ada yang bangga kepada saya, karena saya akan berkarir membantu masyarakat yang tidak berdaya.

Sehingga cukup fokus kepada masalah yang aktual saja. Masalah yang benar-benar kalian hadapi sekarang dan yang bisa kalian kerjakan. Apabila hendak presentasi, maka yang menjadi masalah hanya persiapan yang matang: bagaimana materinya, penyampaiannya, dan mempersiapkan tanya-jawab.

Masalah kalian bukan “nanti presentasinya grogi dan buruk,” “nanti mendapat kritik keras,” atau “nanti presentasinya lancar,” “nanti mendapat pujian.” Biarkan yang nanti menjadi masalah nanti. Jangan dipikirkan sekarang yang malah akan mengganggu fokus persiapan dan menjadi buruk.

Pun jangan berpikiran presentasi kalian akan dianggap “lucu,” “aneh,” atau “buruk.” Kita paling buruk dalam menilai persepsi orang lain teradap kita, apalagi adanya pengaruh bias negatif. Allah pun melarang kita untuk berprasangka negatif (Qs. Hujurat[49]: 12), karena pasti berujung pada salah tingkah (salting): takut sendiri, grogi sendiri, canggung sendiri, padahal pemirsanya pada antusias dan senyum.

Maka alih-alih fokus kepada apa yang kita tidak ketahui — bagaimana persepsi orang lain kepada kita atau bagaimana masa depan akan terjadi—, lebih baik fokus kepada apa yang bisa kita kerjakan sekarang. Niscaya Allah akan memberikan akhir yang lebih baik untuk kita. Susah untuk sekarang tidak masalah, itu sementara. Bukankah Allah pernah memberi akhir yang lebih baik sebelumnya kepada kalian?

Berbagi Harapan dan Rahmat Allah: Menciptakan Dunia yang Indah dan Mudah Tanpa Bias Negatif

Mungkin kalian bertanya, “kenapa kita memiliki bias negatif?” Para psikolog berpendapat itu adalah bawaan manusia sejak dari dulu. Namun apabila berbicara “kenapa ada orang menjadi sangat sensitif terhadap hal negatif daripada orang pada umumnya?” Menurut saya itu karena pengalaman negatif yang intens dan membekas dipikiran seseorang.

Lingkungan kita belum benar-benar aman dari kekerasan, kebencian, dan egoisme. Banyak tumbuh di sana kesedihan, kekhawatiran dan keputus-asaan. Itulah kenapa bias negatif sangat subur dan mewabah. Suka kah kalian dalam gelapnya masalah?

Jika tidak, maka jangan mengabaikan orang, yang kalian sendiri tidak suka diabaikan. Jangan membuat orang lain merasakan kegelapan serupa. Lakukan kebaikan, kepedulian, dan berbagi harapan dengan selainnya sebagaimana Allah memerintahkan. Jangan menciptakan permusuhan dengan sesama. Bukan kah indah apabila dunia menjadi mudah? Sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Sehingga terhadap anak yatim, maka jangan engkau berlaku sewenang-wenang.

Dan terhadap orang yang meminta tolong (السَّائِلَ), maka jangan engkau menghardiknya — jika bisa, tolonglah, jika tidak bisa, katakan dengan baik.

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka engkau kabarkan (حَدِّثْ) — kepada selainnya, khususnya kepada mereka yang berputus asa atas nikmat Allah, agar mereka menjadi senang seperti kamu sekarang.

Qs. Ad-Dhuhaa[93]: 9-11

Mengapa Punya Masalah itu Berat: Secara Ringkas

  • Masalah kita semakin berat dan emosional karena adanya bias negatif.
  • Mencoba mengingat kembali bagaimana Allah dulu membantu menyelesaikan kesulitan dan memberikan kita kesenangan akan memunculkan optimisme terhadap Allah dan mengurangi efek bias negatif.
  • Untuk menghilangkan bias negatif dan beratnya masalah secara jangka panjang, maka Allah memerintahkan manusia untuk berbuat baik dan menolong sesama. Ciptakanlah lingkungan tanpa keburukan, kebencian, dan egoisme.

Alhamdulillah, Maha Besar Allah yang menurunkan Qs. Ad-Dhuhaa.

--

--

Joky Satria Pamungkas

This world is kind. And I write about it. If you want to discuss about my writings, feel free to join my Discord server https://discord.gg/qJ73kQq3Zp