After Nuraga

oct
3 min readNov 22, 2022

--

Raga, you’ve said many things. But why, I still can’t afforded happiness to the world without you?

Malam itu terasa lengang. Kanina tak pergi dari tempat yang telah ia duduki selama sejam lamanya. Ia masih menatap intens jendela yang berembun. Di luar sana keabu-abuan, rintik hujan tetap deras tak berkurang, membiaskan suasana mendung kepada gadis ringkih di dalam kamar.

Menjelang setengah hari setelah pemakaman kekasihnya, Nuraga, Kanina tak dapat berpikir tenang, bahkan benaknya sama sekali tidak bekerja. Beberapa temannya yang lain juga sama kacaunya, namun mereka tetap bersikeras untuk mendatangi rumah Kanina dan menginap selama beberapa waktu. Tetapi, ide itu langsung ditepis oleh Kanina. “Jangan pura-pura baik-baik aja, kalian juga butuh waktu sendiri. Gue tau itu,” katanya beberapa waktu lalu ketika mereka saling berbincang di panggilan grup.

Nin, tapi lo yang paling kacau.” Gisha menyahut dengan suara serak. Diiringin persetujuan oleh dua lainnya.

“Enggak. Kita semua sama.”

Tapi seenggaknya, kita saling nemenin, Nin.” Abi berusaha menyetujui Gisha, ia tak ingin ketiga sahabatnya yang lain saling berdiam diri untuk waktu yang terlalu lama oleh karena kejadian yang sama sekali tidak mereka inginkan ini.

“Gak apa-apa. Menurut gue, kita lagi keruh banget buat ini semua,” jawab Kanina pelan.

Lo yakin? Kalau lo butuh temen, gue pasti selalu-

“Hahaha,” tawanya dengan sisa tenaga yang ia punya, “iya, Rel. Lo memang yang paling, deh.”

Ketika telepon itu terputus karena Gisha, Abi, dan Arel berakhir membiarkan Kanina untuk menuruti keinginannya sendiri, di saat itu pula Kanina mengendurkan punggungnya yang menegang sedari tadi. Kepalanya tertunduk, menikmati dinginnya deras di balik jendela. Suara-suara merdu, nyanyian gemuruh turut menghidupi perempuan di sudut ruangan itu. Musik-musik yang merdu, dengan lirik yang syahdu, menghantar Kanina untuk menyedu.

Akhirnya, ia terisak.

Setelah beberapa kali, berjam-jam, bersama waktu yang terus berjalan, ia mengeluarkan tetesan yang membawa seluruh perasaan tumbang beserta kata-kata bungkam yang terkandung di dalamnya.

Seluruh dada Kanina terasa menyakitkan, ia ingin membuang rasa gaduh itu jauh-jauh. Biasanya, ia memiliki Raga yang akan selalu menyembuhkan kesakitan itu menjadi perasaan cinta. Tapi, kali ini Raga tidak hadir. Lelaki itu membiarkan perempuannya ikut menangis bersama hujan … dan tangisan itu ditujukan untuknya.

“Raga … kenapa ini semua harus terjadi hari ini?” dengusnya dengan mata terpejam. Di bayangan hitam matanya, ia melihat sosok lelaki itu. Parasnya yang masih rupawan, senyumnya yang masih manis dan meluluhkan, serta mata hangatnya yang menatap dalam.

“Aku bisa lihat wajahmu, Ga …. Aku harap kamu masih di sini, sama aku, selalu, Ga,” ungkapnya lagi dengan suara semakin parau.

Bagaimana nantinya ia tanpa Raga?

Nama Raga bukan hanya sebuah nama, nama itu memiliki arti yang mendalam. Raga adalah raga yang melindungi Kanina. Raga adalah raga yang turut menyatu dengan diri Kanina. Raga adalah raga yang mengaitkan perasaan yang tumbuh setiap harinya dengan hati Kanina. Raga adalah raga yang diharapkan Kanina. Pun, Raga adalah raga bagi Kanina.

Sepelik apapun perjalanan yang pernah terjadi, Kanina telah menjadi cinta terakhir bagi Raga.

Di pelukan terakhir siang itu, Kanina meraung kencang. Ia memeluk tubuh kekasihnya yang terbujur kaku dan dingin. Meski pucat wajahnya, Kanina masih merasakan setitik kehangatan yang biasa ia dapatkan setiap kali memeluk Sang Kasih. Ia ingin memeluk setengah dari dirinya sendiri, untuk terakhir kali.

Tak bisa terbayangkan, kejadian naas yang membuat Raga terpaksa melepas nyawanya akan terjadi di hari kelulusan mereka. Semua yang terjadi di hari itu, adalah sesuatu yang sama sekali tak ia ingingkan. Siapa yang menginginkan kematian di hari yang seharusnya membahagiakan?

Apa jalan yang harus Kanina pilih sekarang? Ia harus membuang kenangan lama, atau membiarkannya terpatri di ingatannya lalu memeluk kembali kenangan yang akan lamat dimakan waktu?

Ia hanya butuh satu. Ia butuh kekasihnya kembali ke dekapannya. Ia ingin merasa hangat di sela-sela waktu yang membuat kulitnya tercabik. Ketika hatinya tak karuan, ia tak ingin merasa hampa sendiri, lalu membaginya, dan mereka sama-sama membuangnya, menggantikan dengan kisah kasih untuk keduanya. Perempuan rapuh itu menginginkan semua terjadi kembali pada dirinya, dengan orang yang sama.

Sayangnya, semua kini telah usai. Kanina tinggal memilih, merelakan atau menyakiti dirinya sendiri dengan bayang-bayang pedih itu. Ia masih kalut, masih belum menentukan jalannya yang baru tanpa seseorang yang selalu berada di segala sisinya. Ia butuh waktu, entah berapa lama.

Sebab, Nuraga adalah nuraga dan Raga adalah raga baginya

--

--