Karena jam masih menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit, kamu dan Kaiser memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Pilihan kalian jatuh pada menu makanan di kantin fakultas, tak ingin jauh-jauh karena tidak lama lagi kelas akan segera dimulai.
Sembari menunggu pesanan, kamu dan Kaiser saling bertukar cerita—tidak, lebih tepatnya Kaiser yang bercerita dan kamu menyimak, sesekali menanggapi. Kamu duduk tepat di samping Kaiser sehingga kamu hanya bisa melihat sebelah sisi wajahnya.
Kaiser memiliki pahatan wajah yang indah, sangat indah. Hidungnya mancung, rahangnya tegas. Garis matanya tajam, namun sorotnya begitu lembut kala menatapmu. Segala yang ada pada wajahnya benar-benar diciptakan untuk memenuhi definisi kata indah. Matamu mengikuti pergerakan tangan Kaiser yang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Tampaklah dengan jelas karya Tuhan paling sempurna itu, dan kamu baru menyadarinya.
Pandanganmu turun pada lehernya yang tertutupi tato mawar biru. Tunggu, sejak kapan itu ada disana? Perlahan kamu menggerakkan tangan, menyentuh permukaan kulit yang telah ditutupi tinta permanen itu.
“Terus— EH!” Kaiser berjingkat kaget, amat terkejut. Begitupun kamu yang ikut terkejut. “Lu ngapain—” Ia reflek menutupi tato mawar pada lehernya.
“Hah? Oh- gue baru sadar, sejak kapan lu punya tato?” tanyamu dengan polos.
“Sejak…” Kaiser memelankan suaranya. “…putus dari lu.” Ia menutup mulutnya dan memalingkan wajah. Kaiser benar-benar salah tingkah sekarang. Jantungnya berdetak puluhan kali lebih cepat, seakan ingin meledak. Ia rasa saat ini kupingnya memerah.
“Kenapa?” tanyamu.
Ia menoleh perlahan padamu, memperlihatkan kembali wajahnya yang tadi tertutupi tangan. “Lu… nggak suka ya?”
Kamu menggeleng. “Nggak. Gue penasaran aja, kenapa bikin tato setelah putus dari gue?”
Ia terdiam cukup lama.
Sayang sekali, jawaban yang kamu inginkan tak kamu dapatkan karena percakapan kalian terinterupsi oleh pesanan yang tiba.
