/Najis/
Sesaat Eros membaca satu kata itu tentang masakannya, rasanya makanan yang baru saja ia konsumsi ingin kembali keluar dari lambungnya.
“Najis,” Eros mengulang, “Najis.” lagi, Eros membaca ulang hinaan yang ditujukan kepadanya.
Sakit, kalau boleh jujur, hatinya terasa sakit. Tapi entah kenapa, meski ia ingin sekali menangis, tidak ada satu butir air mata yang dapat mengalir dari matanya.
Eros menghela napasnya panjang dan menaruh ponselnya dengan layar menghadap ke atas meja dan ia melanjutkan kegiatan makannya meskipun sekarang sedikit dipaksa.
Tak sampai dua menit berlalu, ia kembali mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu temannya itu melalui fitur telpon yang ada di aplikasi obrolan yang dipakai.
“Halo.” sapa orang yang ada diseberang sana. Seketika tangisan Eros pecah setelah mendengar suara itu. “Eros? Kenapa nangis?” tanyanya.
“Kak Bian,” Eros merengek, “Kamu dimana? Kita pergi yuk.” ajaknya disela-sela isakan tangis.
“Kamu mau pergi kemana? Name it and I’ll take you there. Tapi jawab dulu, kamu kenapa nangis sayang?” tanya Sabian kembali.
Eros berusaha dengan susah payah untuk menetralkan napasnya kembali, sembari mengabaikan panggilan sayang dari mulut Sabian, ia lagi-lagi menghela napasnya.
“Kemana aja. Aku gak mau di rumah, and I will answer it later.”
“Okay. Aku kesana, kamu mau aku tutup telponnya apa kamu mau temenin aku jalan ke rumah kamu?” tawar Sabian.
“Tutup aja,” jawab Eros sedikit ragu.
“Yakin?”
“Iya, aku lagi makan.” kali ini ia menjawab dengan tegas.
“Okay, makan yang banyak. Supaya pas jalan kamu gak kelaparan.”
Eros mendengung dan setelah itu ia menutup panggilan telponnya dengan Sabian. Eros pun kembali makan sampai akhirnya ia dapat mendengar suara kendaraan yang berhenti tepat di depan rumahnya.
Menebak kalau itu Jeremy dan abangnya, Eros dengan cepat menghapus bekas air matanya dan mencuci wajahnya di wastafel yang ada di dapurnya.
“Hai, dek. Udah selesai makannya?” tanya Eryx, seraya melepas sepatu dan kaos kakinya lalu menaruhnya di rak.
“Udah, nih.” jawab Eros cuek.
“Makan apa?” tanya Jeremy.
Eros mendelik, bisa-bisanya teman abangnya ini bertingkah seakan ia tidak pernah menghina masakannya sama sekali. “Tteokpokki.” jawabnya singkat.
Makanan Eros sebenarnya belum habis, namun gairahnya untuk menghabiskan makanannya itu sudah tidak ada jadi ia menaruh makanannya ke dalam kulkas supaya nanti ia bisa konsumsi lagi.
“Abang, kalau mau makan masak mie atau delivery aja ya. Aku mau pergi sama—” sebelum Eros selesai mengucapkan kalimatnya, ia mendengar suara klakson dibunyikan dua kali, “- sama Kak Bian. Orangnya udah dateng kayanya, aku mau ganti baju dulu.”
“Okay, hati-hati ya kamu sama Bian.” kata Eryx.
Jeremy hanya bisa menaikkan satu alisnya ketika melihat Eros pergi begitu saja ke kamarnya. Ia pun duduk di sofa ruang tamu selagi menunggu Eryx yang juga sedang bersih-bersih dikamarnya.
Ketika ia melihat Eros kembali dengan pakaian yang sedikit tidak biasa, Jeremy hendak bertanya namun lagi ia seperti tidak di anggap oleh Eros karena adik temannya itu langsung melengos pergi keluar rumah tanpa sepatah kata terucap.
“Kenapa lo? Kok bengong?” tanya Eryx yang juga sudah kembali.
“Adek lo suka pakai rok, ya?” tanya Jeremy balik.
“Iya, kenapa? Lo ada masalah?”
“Ya gak apa sih. Cuman, lo biarin adek lo pergi sama Sabian cuma pake rok gitu? Atau emang adek lo lagi mau godain Sabian?” tuduhnya.
“Jaga omongan lo, Jeremy. Jangan bikin gue emosi ya. Emangnya adek gue apaan goda-godain orang lain? Kalau ngomong dipikir dulu dong.” ucap Eryx geram.
“Eh. Sorry. Yaudah, ayo kita lanjut nugas,”