Kota Batu Perlu Perhatian Daya Dukung Lingkungan

Juniar Ilham
5 min readMar 1, 2018

Pengertian daya dukung lingkungan (carrying capacity) dalam konteks ekologis adalah jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh sumberdaya dan jasa yang tersedia dalam ekosistem tersebut. Faktor yang mempengaruhi keterbatasan ekosistem untuk mendukung perikehidupan adalah faktor jumlah sumberdaya yang tersedia, jumlah populasi dan pola konsumsinya.

Konsep daya dukung lingkungan dalam konteks ekologis tersebut terkait erat dengan modal alam. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan yang berlanjut

(sustainable development), suatu komunitas tidak hanya memiliki modal alam,
melainkan juga modal manusia, modal sosial dan modal lingkungan buatan. Oleh karena itu, dalam konteks berlanjutnya suatu kota, daya dukung lingkungan kota adalah jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh sumberdaya dan
jasa yang tersedia karena terdapat modal alam, manusia, sosial dan lingkungan
buatan yang dimilikinya.

Pengertian daya dukung lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 ttg perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Daya dukung lingkungan adalah jumlah maksimum manusia yang dapat didukung
oleh bumi dengan sumberdaya alam yang tersedia.

Berdasarkan hasil penelitian dgn metode analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan studinya oleh Nurlia Ayu Pratama cs dr Universitas Brawijaya tentang evaluasi daya dukung lingkungan berbasis kemampuan lahan di Kota Batu, hasil analisa kemampuan lahan existing Kota Batu menunjukkan 5.228.84 Ha atau 26.26% penggunaan lahannya tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Luas penggunaan lahan RTRW yang tidak sesuai kemampuan lahan adalah sebesar 8736.23 Ha atau 43.88%.
Klasifikasi subkelas mencakup jenis tanah,
lereng permukaan permeabilitas,
kedalaman efektif, drainase, erosi. Luasan
karakteristik sub kelas lahan Kota Batu:

1. Jenis tanah Kota Batu terdiri dari alfisol,
andisol, entisol, inceptisol dan molisol dan
tanah bertekstur halus, sedang, agak kasar.

2. Hampir 60% tekstur tanahnya tergolong
kasar. Sekitar 66% lereng permukaan
termasuk dalam agak miring sampai agak
curam.

3. Kedalaman tanah hampir terbagi sama rata pada kedalaman sedang dan dangkal. Lebih dari 90% drainase termasuk agak buruk, hanya 1% permeabilitas tanah tergolong lambat. 33% lahan Kota Batu masuk dalam erosi tingkat sedang.

Berdasarkan penggunaan lahannya, terlihat beberapa pertambahan penggunaan lahan pada RTRW. Pertambahan ini mengalihfungsikan penggunaan lahan sebelumnya, seperti diketahui keseluruhan penggunaan lahan sebagai pemukiman pada existing sebesar 1.984.52 Ha, sedangkan pada RTRW mengalami peningkatan
menjadi 4.910,37 Ha atau bertambah luas penggunaan lahannya sebesar 2.925.85 Ha.

Lahan pertanian mengalami penyusutan penggunaan lahan sebesar 8.239.23 Ha. Hutan lindung, produksi, alam bertambah seluas 5.313.38 Ha, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan pada RTRW menitikberatkan pada pembangunan pemukiman, baik itu sebagai
perumahan, kawasan wisata, fasilitas umum maupun pertahanan dan keamanan.

Secara keseluruhan terjadi peningkatan perubahan penggunaan lahan pada RTRW, hal ini menunjukan bahwa penerapan RTRW perlu dikaji ulang sesuai kemampuan lahan agar tidak terjadi penyimpangan yang apabila dibiarkan dapat mengakibatkan masalah ketidak efektifan fungsi ruang bagi kehidupan dan aktivitas manusia. Kota Batu sebagai daerah yang memiliki kawasan hutan lindung dan konservasi seharusnya perlu dijaga kelestariannya, namun kenyataannya kegiatan budidaya, pembangunan di Kota Batu tumbuh secara dinamis. Sebagai gambaran fisik, lahan terbangun meningkat dan terjadi alih fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukan lahan yang telah ditetapkan sehingga berakibat konflik kepentingan guna lahan.

Tumbuhnya lahan terbangun cenderung mengalahkan kepentingan lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada munculnya beberapa permasalahan lingkungan.

Perolehan hasil perbandingan klasifikasi penggunaan lahan menunjukan bahwa terdapat peningkatan penggunaan lahan yang tidak sesuai pada RTRW dibandingkan dengan penggunaan lahan saat ini. Peningkatan penggunaannya adalah sebesar 3.507.39 Ha atau 17.62 % dari penggunaan lahan saat ini, dengan kata lain telah terjadi penurunan kesesuaian lahan pada RTRW.

Pemanfaatan ruang pada zona kelas III
baik pada RTRW maupun existing sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahan.

Zona kelas IV terjadi penambahan penggunaan lahan yang semula sebagai pemukiman dan padang rumput pada penggunaan existing, berubah menjadi pariwisata, pemukiman, perdagangan dan jasa, pertanian, fasilitas umum pada penggunaan lahan RTRW.

Penggunanan lahan zona kelas V pada existing adalah sebagai pemukiman, pertanian, hutan lindung, hutan produksi, pada RTRW terdapat penambahan dan alih fungsi penggunaan lahan diantaranya sebagai fasilitas umum, pariwisata, perdagangan, industri, kawasan militer, ruang terbuka hijau, sempadan.

Lahan zona kelas VI yang semula pada existing digunakan sebagai hutan produksi, pemukiman, ditemukan pertambahan penggunaan lahan pada RTRW diantaranya untuk fasilitas umum, hutan lindung, hutan produksi, pariwisata perdangangan dan jasa, pertanian, pemukiman, sempadan.

Zona kelas VII yang pemanfaatanya terbatas hanya untuk kawasan konservasi, pada penggunaan lahan RTRW ditemukan digunakan sebagai pemukiman dan pertanian.

Berdasarkan hasil penelitian lainnya yng dilakukan pada studi pemetaan tanah dan evalasi kondisi lahan kota Batu oleh Hirijanto dari ITN Malang, bahwa kesimpulan hasil analisa dapat diketahui bahwa di Kecamatan Bumiaji yang meliputi 8 desa mempunyai tingkat kesesuaian lahan yang paling tinggi, khusus untuk kehutanan. Selain itu perkebunan juga bisa diterapkan di daerah ini sepanjang tidak merubah fungsi hutan yang ada. Sedangkan di Kecamatan Batu potensi perkebunan lebih dominan, kecuali di Desa Oro-oro Ombo yang didominasi oleh hutan. Di Kecamatan Junrejo lebih didominasi oleh potensi budidaya/wanatani.

Berdasarkan kajian kesesuaian lahan permukiman dilihat dari karakteristik fisik dasar Kota Batu yang dilakukan penelitiannya oleh Syihabuddien Heksano, Imma Widyawati Agustin dan Abdul Wahid Hasyim (kedua terakhir dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya dihasilkan bahwa lahan terbangun yng layak untuk permukiman sebesar 3.464,49 Ha.

Jika kita perbandingkan hasil dari ketiga penelitian diatas yang mempergunakan alat dengan penilaian GIS mendekati angka rata2 penggunaan lahan untuk perumahan dengan range 2.500,00–4.000,00 Ha, sedangkan pada RTRW (yang berupa rencana 2010–2030) diangka 4.910,37Ha, hal ini artinya bahwa hanya pada penggunaan lahan permukiman sudah mendekati angka prediksi rencana tataruang, belum lagi kita bicara tentang penggunaan lahan terbangun lainnya, misalnya masifnya pembangunan kegiatan wisata dan kebutuhan mendesak akan infrastruktur jalan di Kota Batu.

Untuk kondisi ini, Kota Batu dihadapkan dengan pemenuhan daya tampung dan daya dukung yng sudah mendekati angka kritis, sehingga upaya evaluasi menyeluruh seharusnyalah disegerakan agar berkurangnya daya dukung lingkungan akibat maraknya kegiatan terbangun yng tidak terkontrol dapat lebih bisa diantisipasi kedepannya.

Apalagi fakta yang didapat bahwa penggunaan eksisting perumahan beragam mulai dari terletak pada kawasan lindung, penyangga wilayah sempadan, kelerengan lebih dari 25%, daerah rawan bencana, kawasan yang tidak terlayani air bersih, serta berada pada kawasan sawah irigasi teknis.

Anekdot bisa masuk tak bisa keluar di Kota Batu sebaiknya dijawab dengan aksi evaluasi menyeluruh dengan audit lingkungan yng capable, semoga menjadi perhatian kita semua, baik di Pemkot Batu, TKPRD Kota Batu, TKPRD Prov Jatim dan IAP Provinsi Jatim juga para planner dan pemerhati lingkungan di Jawa Timur.

--

--