Social Media Addiction

Perasaan bersalah yang terus menumpuk ketika waktu yang seharusnya bisa dialokasikan untuk melakukan hal lain habis tidak begitu berarti, akhirnya mendorong saya untuk menghapus Instagram.

safinaism
4 min readApr 22, 2024
Photo by Georgia de Lotz on Unsplash

Ini hari kelima saya tanpa Instagram. Setelah beberapa hari selama liburan merasa berlebihan dan keasyikan tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam scrolling tanpa henti, akhirnya saya putuskan untuk menghapus aplikasi ini.

Dibandingkan beberapa platform media sosial populer lainnya saya hanya aktif menggunakan Instagram dan WA. Saya punya akun Facebook dan Twitter dulu. Untuk Twitter saya belum sempat mempelajari begitu jauh, karena dihantui pikiran-pikiran takut tenggelam dalam keasyikan, selain itu karena merasa belum begitu butuh juga. Jadinya saya betah dengan satu platform ini saja, Instagram. Serta WA khusus untuk komunikasi.

Media sosial punya segudang manfaat. Fakta ini tak bisa dibantah. Update dengan informasi terbaru, dapat terhubung dengan para kenalan jauh maupun dekat, media pengembangan diri hingga bisnis dan hiburan. Apapun bisa kita lakukan dengan media sosial.

Sebagai gen-z, saya masih belum bisa membayangkan hidup tanpa media sosial. Karena tak bisa dipungkiri banyak hal yang berubah sejak saya mengenal berbagai platform media sosial khususnya Instagram. Bagaikan baru keluar dari gua banyak hal baru yang membuka pandangan saya mengenai dunia begitu tercebur ke dalam dunia maya.

Sedikit bercerita kisah masa kecil saya. Orang tua saya sering menasihati anak-anaknya untuk rajin membaca buku. Pesan itu berhasil sampai kepada saya. Saya paham betul pentingnya dan betapa besarnya manfaat membaca buku. Hanya saja, sewaktu kecil bisa dibilang, saya masih kurang mendapatkan fasilitas untuk mendukung pembiasaan membaca ini. Mulai dari lingkungan yang belum terbiasa - semoga segera - dengan budaya membaca dan kurangnya sumber bacaan.

Jika saya melihat kembali ke belakang, ingin rasanya berkata kepada saya yang masih imut, polos dan sangat kekanak-kanakan itu, saya berharap pengalaman “keluar dari gua” bisa saya dapatkan dari buku, bukannya dari media sosial. (Setidaknya candu baca buku masih lebih baik dibandingkan candu media sosial.)

Meskipun begitu saya selalu yakin tidak ada kata terlambat untuk memulai. Berkat usaha meningkatkan budaya literasi yang semakin kesini semakin gencar dilakukan, sekarang buku ada dimana-mana. Perpustakaan sekolah sudah banyak berkembang. Perpustakaan online pun banyak. Perpustakaan daerah juga terus diusahakan.

Tak seperti dulu yang ketika hendak mencari bacaan menarik harus pergi ke perpustakaan sekolah, itupun terbatas juga macam bacaannya. Atau jika tidak, pergi ke toko buku. Namun membeli buku diluar buku teks pelajaran di kelas tak pernah jadi opsi bagi saya. Dulu hingga sekarang, karena faktor ekonomi tentu saja. Dapat membaca buku dengan banyak pilihan tanpa harus mengeluarkan uang benar-benar suatu hal yang sangat saya syukuri dewasa ini.

Kembali ke laptop, saya termasuk orang yang melewati masa-masa alay ketika awal-awal menggunakan media sosial. Facebook adalah platform media sosial pertama yang saya cicipi. Meski syukur tidak sampai separah membuat bio “Bekerja di PT. Mencari Cinta Sejati” atau “WeLcoMe To mY ProFiLe >⁠.⁠<” dan semacamnya itu. Facebook entah kenapa melekat dengan kesan para penggunanya yang rada-rada alay, tapi tidak semua ya. Ada banyak komunitas berkualitas disana, sayangnya itu baru saya ketahui setelah memutuskan untuk tidak aktif di Facebook lagi.

Setelah sadar bagaimana pandangan orang-orang mengenai Facebook saya memutuskan untuk beralih ke Instagram. Saat itu masa awal-awal covid kalau saya tak salah ingat. Tidak banyak yang berubah, hanya berbeda platform saja. Awal-awal saya masih bermedia sosial dengan “alay”. Sedikit menyesal tapi apa boleh buat. “Setidaknya masih banyak yang lebih alay dibanding saya”, kalimat pembenaran itu yang saya pegang untuk menepis rasa malu yang tiba-tiba muncul tanpa sebab, wkwk. Teman-teman seperjuangan mungkin tau tingkah saya yang sangat kekanak-kanakan dulu, kini saya tidak ingin mengingatnya lagi.(-⁠ᄒ⁠ᴥ⁠ᄒ⁠-)

Kembali ke masa sekarang. “Social Media Addiction” menjadi hal yang berputar-putar di kepala saya beberapa waktu belakangan. Terutama sejak fitur Algoritma yang diperkenalkan belum lama ini. Saya tak dapat menghentikan perasaaan merasa bersalah tepat ketika merasa keasyikan menyelam di lautan konten Instagram. Tak peduli durasi waktu yang saya habiskan itu pendek maupun panjang, perasaan bersalah yang terus menumpuk ketika waktu yang seharusnya bisa dialokasikan untuk melakukan hal lain habis tidak begitu berarti, akhirnya mendorong saya untuk menghapus Instagram.

Tentu saja menghapus satu platform saja tidak akan berarti apa-apa jika ternyata kecanduan saya pada akhirnya hanya berpindah, bukannya hilang. Jika bukan Instagram mungkin di platform medium ini (?). Atau ternyata saya hanya menjeda sejenak dan akan kembali candu lagi di masa mendatang. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya saya hanya menghapus aplikasi bukan akun. Ada potensi di masa depan saya akan kembali memutuskan meng-install Instagram dan aktif lagi disana. Seperti pengalaman seorang penulis yang beliau ceritakan dalam artikelnya;

“I’ve lost count on how many times i’ve deactivated my Instagram account, only to end up reactivating it again. Most of the time it lasted less than a week.”

Tidak ada yang tahu, we’ll see.

Terakhir saya ingin menggaris bawahi bahwa tidak ada yang salah dengan menggunakan media sosial, sama sekali tidak ada. Semua menjadi masalah ketika sudah berlebihan, dalam kasus ini kecanduan.

Ada banyak hal yang menunggu untuk dilakukan. Buku yang menunggu untuk dibaca. Ada tubuh yang selalu memanggil untuk diajak berolahraga. Ada tangan-tangan kreatif yang mendesak untuk dipenuhi keinginannya menciptakan sesuatu. Ada otak yang selalu menuntut untuk diisi dengan sebenar-benarnya ilmu. Atau kalau kamu juga sama sepertiku, ada keluarga yang menunggu prestasi kita, berharap kita bisa menjadi kapal yang mengantarkan pada pelabuhan kesuksesan dunia akhirat. Yang terpenting, jangan lupakan kita sebagai khalifah di muka bumi yang sampai akhir zaman akan selalu menghamba pada sang Maha Kuasa.

--

--