Apa yang ingin aku perjuangkan?

safinaism
5 min readJul 3, 2024

--

Coba sebutkan dulu apa saja yang ingin kamu perjuangkan selama kelas 12 ini?

Temanku melayangkan pertanyaan itu setelah aku ceritakan sedikit garis besar rencanaku mulai kelas 12 mendatang. Percakapan yang mulanya hanya basa-basi, perlahan mulai berbobot. Aku tergugah ketika membaca pesannya. Kami tidak mengobrol langsung hanya berkirim pesan lewat ponsel . Dari padanan katanya, aku rasa dia serius hendak membantu memikirkan jalan menuju apa yang ingin aku tuju. Meskipun dalam hati sebenarnya aku berharap tidak hanya membantu memikirkan, namun dia juga mau ikut berkecimpung membantuku meraih tujuan yang aku pilih untuk diperjuangkan tersebut.

Ini baru awal, jika apa yang aku kemukakan memang patut diperjuangkan aku yakin dengan sendirinya dia bersedia membantuku

..pikirku optimis. Pertanyaan serius, musti dijawab dengan serius pula. Aku meminta waktu untuk menata pemikiran-pemikiran yang ada di kepala sejak lama agar dapat dengan baik tersampaikan. Aku sampai mencorat-coret buku, membuat peta pikiran dengan panah kesana-kemari, kemudian kembali mengetikkan hasil coretan tersebut di hp. Setelah selesai menjabarkan dengan rinci menjadi beberapa paragraf, aku sunting kembali dan rapikan urutan paragrafnya. Setelah rasanya pas, barulah aku kirimkan ke temanku ini.

Corat-coret mengeluarkan ide yang masih abstrak di pikiran

Aku tidak menduga akan sampai pada dua kesimpulan sederhana yang ternyata baru clear dan jelas bahkan olehku sendiri setelah menjawab pertanyaan beliau, itulah kenapa aku bilang pertanyaannya begitu menggugah.

"hal yang ingin aku perjuangkan".

Namanya Dani, ini nama samaran tentu saja. Aku lebih nyaman tidak mengekspos kenalanku mengingat tulisanku ini begitu subjektif dan sepertinya rentan disalahpahami.

Sejak awal masuk SMA aku memutuskan untuk bergabung ke dalam ekskul kepenulisan di sekolahku. Alasannya karena saat kelas sembilan kebetulan aku juara lomba menulis artikel. Meski hanya tingkat kota dan lingkup Madrasah, seingatku itu kali pertama aku menulis selain di diary atau saat di kelas pelajaran bahasa Indonesia. Pesan-pesan dari guru bahasa Indonesiaku ketika tahu tulisanku mendapatkan nomor pada kompetisi itu membuka pandanganku soal tulis menulis.

Aku memutuskan untuk tidak berhenti menulis kedepannya. Ketika masuk SMA lebih tepatnya Aliyah, aku beruntung sekali sekolahku memiliki begitu banyak ekskul, di antaranya ekskul menulis. Pada hari ketiga masa orientasi — di sekolahku disebut masa ta’aruf — hari ketika ekskul-ekskul yang berjumlah sekitar 20-an lebih bergiliran saling berunjuk kebolehan di hadapan para peserta didik baru dengan tujuan mempromosikan ekskulnya, aku sangat bersemangat begitu mengetahui ada ekskul menulis di sekolah ini. Aku dengan mantap memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari ekskul tersebut.

Hari-hari di sekolah aku jalani dengan penuh suka cita, biasalah anak baru, semangat dan rasa ingin tahunya masih tinggi. Tahun pertama SMA adalah masa paling seru dibandingkan 2 tahun setelahnya. Karena beban akademik masih belum kentara, dan yang paling berkesan adalah sebab kehadiran para senior yang berbagai macam. Ada yang begitu hangat, ada yang sangat pandai, ada yang populer karena tampangnya, ada yang terlihat perkasa dan gesit, dan sebagainya. Menurutku kesempatan untuk meneladani, belajar dari mereka, bekerja sama dalam kegiatan ekskul, dan diam-diam mengidolakan sisi keren mereka cukup memberi warna pada kehidupan sekolah.

Begitu naik kelas 11 dan orang-orang yang aku kagumi sebagian besar sudah pergi — maksudku sudah tidak di sekolah lagi — kehidupan sekolah rasanya menjadi lebih hambar. Hari-hari di kelas biasa-biasa saja, bayangan kelas 12 dengan segala ketegangannya semakin dekat, selain itu tugas di ekskul yang sebelumnya belum begitu dibebankan kepada kami anak baru, sekarang siap tak siap menjadi tanggung jawab kami. Perlahan-lahan semuanya jadi serius, tidak seindah dan semudah dulu.

Kita beranjak dewasa.

Photo by Matese Fields on Unsplash

Berbeda denganku, temanku Dani memutuskan bergabung ekskul menulis di saat naik ke kelas 11. Kami berhasil menyeretnya bergabung, meski awalnya ia sangat ragu mengingat kesibukannya yang kelihatannya sudah tidak menyisakan ruang lagi untuk menambah beban baru. Tapi ekskul menulis tidak akan menjadi beban, alasanku dalam hati.

Menulis justru adalah cara terbaik untuk meringankan beban.

Namun sayangnya nilai ini belum aku pegang saat itu, lebih tepatnya belum aku temukan. Melihat arus di sekitarku, aku termasuk yang haus dengan gemerlap prestasi-prestasi sehingga orientasiku terhadap ekskul terfokus pada pencapaian-pencapaian. Akibatnya aku jadi terbebani sendiri. Begitupun rekan-rekanku yang lain. Kenyataannya kami jauh dari kata produktif, dan saat itu aku yakin penyebabnya adalah karena kurangnya ilmu.

Kami coba susun rencana untuk meningkatkan keilmuan rekan-rekan ekskul menulis. Dengan mengagendakan kelas-kelas kepenulisan, kami membentuk beberapa divisi yang belum pernah ada sebelumnya berikut dengan tanggung jawabnya. Ujung-ujungnya dengan harapan agar kami memperoleh sesuatu sebagai output. Jalannya ekskul dengan baik karena segudang aktivitasnya harapannya bisa diapresiasi, atau memenangkan kompetisi bergengsi, dikenal dan dilirik sekolah, dan seterusnya.

Jujur kami terbebani. Rencana itu berat, semuanya baru dan belum pernah kami kerjakan sebelumnya. Cita-cita kami besar, namun perencanaannya tidak matang lebih tepatnya tidak tepat, eksekusinya? tidak ada. Kami semua terbebani dan beberapa orang anggota mulai menjauh. Akhirnya kami vakum. Segala semangat di semester satu seolah terkubur tidak ada jejak di semester dua. Berbagai faktor lain juga memengaruhi tersendatnya kegiatan ekskul ini, namun aku akui penyebab utamanya adalah visi yang salah di bawah kepemimpinanku.

Ego, Harapan, Tujuan? Semuanya terasa salah.

Aku belajar pengaruh seorang pemimpin sangatlah besar. Egoku banyak turut campur, seharusnya aku bisa lebih sabar dan memerhatikan rekan-rekanku dan realitasnya. Karena motivasi pribadiku bergabung ekskul sedari awal adalah untuk mengulang kemenangan yang sama ketika kelas 9 dari menulis, arahku dalam memimpin menjadi condong ke sana. Aku berharap bisa menambah ilmu soal kepenulisan dan dengan itu aku bisa menciptakan tulisan-tulisan yang bisa mengantarkanku kepada pencapaian-pencapaian baru, itulah motivasi awalku bergabung ekskul menulis.

Aku menemukan realitanya tidak menembus ekspektasiku sejak awal bergabung, kemudian secara kebetulan aku ditunjuk menjadi ketua ekskul yang sangat aku harapkan ini begitu naik kelas 11, maka aku pikir ini kesempatan untuk mewujudkan apa yang aku harap aku dapatkan dari ekskul menulis ini dulu, aku pikir rekan-rekanku juga begitu.

Namun ada sesuatu yang fatal dan begitu telat aku sadari.

Apakah rekan-rekanku juga menginginkan hal yang sama?

Apakah harapanku itu realistis dengan kondisi kami saat ini?

Tidakkah itu semua cuma impianku seorang?

Rabu, 3 Juli 2024

Unlisted

--

--