Payung

safinaism
1 min readMay 17, 2024

--

Suatu sore hujan turun deras, aku sedang dalam perjalanan pulang dengan angkot. Ayahku menelepon dan aku dengan susah payah menyahut berharap suaraku sampai ke Ayah menembus jarak lewat ponsel, meski angkot begitu berisik oleh musik menggelegarnya yang nyaris memekakkan telinga ditambah suara hujan yang deras.

Photo by Matteo Catanese on Unsplash

Singkat cerita, begitu turun dari angkot di persimpangan rumah aku sedikit kaget, tampak sesosok lelaki kurus yang begitu familiar dengan celana dasar dan baju kaos usangnya yang awet, menunggu di pinggir jalan. Ayah. Satu tangannya memegang payung yang menaungi dirinya, satu lagi memegang payung yang masih menguncup. Padahal, aku berniat lari saja menerjang hujan hingga ke rumah, hanya 200 meter. Mungkin ini terkesan berlebihan, tapi sungguh saat itu aku merasa jadi anak paling beruntung di dunia ini. (sebelum-sebelumnya? tidak tahu diuntung, hahaha.)

Sudah berapa tahun aku hidup? Seberapa banyak kebaikan orang tua yang aku ingat dan aku kenang sebaik kisah payung itu? Sering kali aku justru lebih banyak mengingat-ingat kekurangan-kekurangan mereka. Berharap seperti ini, bukannya begitu atau seperti itu, bukannya begini. Semoga Allah balas segala kebaikan orang tua kita. Semoga kita bisa jadi anak yang menyejukkan pandangan mereka. Semoga kita bisa selalu terbuka, saling melindungi, memahami dan percaya. Semoga kita bisa saling mencintai hingga nanti sampai di jannah-Nya.

--

--