Ke Taman Sosial

Kamu Spesial
5 min readJun 30, 2022

--

Hilir mudik pertukaran ilmu tak nampak seperti pada kegiatan belajar mengajar kali ini. Terlihat sekelompok siswa-siswi SMA yang didampingi oleh seorang guru dengan rambut telah beruban dimakan usia sedang menunggu sebuah bus. Mereka akan pergi untuk studi kampus hari ini. Wajah mereka tampak riang dan antusias karena mereka berharap akan mendapatkan motivasi selepas ujian fotocopy. Ya, dimana perolehan belajar mereka selama tiga tahun harus difotocopykan pada selembar kertas yang katanya akan menentukan masa depan mereka. Hmmt lucu sekali negeri ini.

Namun beberapa anak nampak murung dan kurang bersemangat karena tidak bermotivasi melanjutkan ke perguruan tinggi sebab beberapa hal. Seorang anak yang beratribut kenakalan secara konsesus dengan kerah yang diberdirikan dan seragam yang berontak keluar dari celana bertanya kepada sang guru.

“Kenapa kita harus bertamasya ke perguruan tinggi di kota sana?”.

Sang guru dengan santun tersenyum sambil menjawab, “Bersabarlah nak, kau akan mengerti ketika sudah sampai nanti”.

Tak berselang lama, bus yang mereka tunggu sedari tadi datang juga. Sang guru kemudian meminta mereka berbaris dengan rapi untuk masuk ke dalam bus. Satu per satu dari mereka pun memasuki bus yang diakhiri oleh sang guru. Setelah semuanya duduk dan berdoa, bus pun mulai melaju. Dari kaca jendela bus, dapat terlihat bentangan berhektar-hektar sawah. Merumpun hijau menanti kemurnian tangan para petani untuk memanennya. Bus pun terus melaju, meninggalkan desa tersebut dengan segala keheningan dan kehirukpikukan suara alam, ke kota terbesar kedua katanya.

Satu jam sudah bus yang mereka tumpangi melaju. Kini, dari jendela mereka tidak bisa melihat lagi deretan tanah-tanah lapang karena telah tergantikan oleh penjejalan-penjejalan rumah pemukiman penduduk. Yang tertata dalam ketidakteraturan membentang dan menjulang bak pin bowling yang strike setengah. Hamparan gedung-gedung tinggi diselingi oleh sungai-sungai nan jernih jika sang waktu mereplay sungai seratus tahun lalu mengeruhkan mata mereka. Anak-anak itu terpana melihat pemandangan yang bak antonim dari konstruksi imaji mereka tentang kota metropolitan yang kini menjadi metropolutan. Tak lama kemudian bus pun berhenti, sang guru lalu menyuruh anak-anak untuk turun dari bus dengan tertib.

Di hadapan mereka kini berdiri sebuah pintu gerbang yang sangat indah dengan kemilauan lunturnya cat dan papan nama fakultas yang tak kalah usang dibandingkan dengan ingatan sang mantan. Si guru menyuruh anak-anak berbaris dengan rapi sebelum kemudian mereka semua mulai memasuki pintu gerbang nan indah itu. Tak jauh dari pintu gerbang yang mereka masuki, mata mereka terbelalak melihat sebuah bangunan besar yang di depannya terdapat sebuah patung dengan perawakan gagah perkasa membawa air keabadian. Terpahat dengan mengkilat di depan pintu gedung tersebut.

FAKULTAS URUSAN RUMAH TANGGA DAN PERURUSAN.

Hiasan taman yang terhampar menghijau seakan menyapa mereka dengan ucapan selamat datang di kampus terbaik nomor empat di bumi pertiwi. Arsitektur absurd yang mengguncahkan nurani serta penempelan lift menjulang tujuh lantai menyiratkan kesan bahwa “Ini kampus impianku” dalam benak hati anak-anak. Buaian akan kelengkapan fasilitas dari dalam gedung menguatkan niat mereka untuk melanjutkan pendidikan ke kampus nomor empat ini.

Membelalak ke samping terpahat masjid yang begitu indah dengan penamaan “Nuruzzaman” Sang cahaya masa. Wah, inilah tempat lahirnya para intelektual dan agen perubahan yang akan mendistribusikan cahaya nyata ke dalam suramnya kehidupan masyarakat. Begitulah sekiranya siratan pertama kenangan akan kampus ini.

Melewati kedua bangunan tersebut menuju ke arah selatan tertakjubkan lah lagi mereka oleh tiga rangkaian gedung yang membentuk formasi elit kemerahan. Tertancap pahatan nama didepannya yang apabila dilafalkan menjadi

FAKULTAS KEADILAN.

Badan tokoh ahli akan bidang ini terukir kokoh di muka gedung ini. Inilah nanti para sarjana yang akan mengisi panggung gladiator timbangan negeri ini. Dimana timbangan tak lagi digunakan untuk mengukur kebaikan dan keburukan melainkan hanya untuk menjejalkan keburukan dan menindas para figuran kehidupan. Justru sang antagonis utama melenggang bebas dengan riasan innocent di wajah mereka. Begitulah asa para remeja itu kala melihat fakultas ini.

Lanjutlah perjalanan ke arah timur, dengan kebingungan mereka mempertanyakan akan kedudukan kampus dari aliterasi kata Yunani obat ini. Pun mereka melontarkan kebingungannya pada guru mereka.

“Guru mengapa ada lahan pengobatan di antara kebun sosial ini?” Seloroh salah seorang murid.

Dengan kebingungan yang serupa sang guru pun menjawab asal murid senang.

“Karena nak, dulunya ilmu sosial lah yang mengilhami kelahiran dari ilmu pasti. Maka untuk mengingatkan hal tersebut. Diprasastikanlah salah satu fakultas ilmu pasti di perkebunan ilmu sosial ini.” Jawab sang guru spontan.

Bukan main jawaban sang guru yang memacu para murid untuk mendalami keilmuan mereka. Maka atas pelalaian gedung tadi mereka beranjak ke timur dan menemukan gedung dengan keramaian ruang diskusi. Terpampang nama,

FAKULTAS BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA.

Dalam benak para murid langsung terbesit kesan, Inilah para pejuang suara rakyat yang tak pernah lelah akan terus menyenandungkan jeritan hati rakyat tertindas. Gedung yang dilengkapi dengan deretan bangku permanen semakin menyamankan para pejuang untuk merumuskan solusi akan permasalahan umat negara. Selepas puas menjelajahi fakultas ini maka mereka melanjutkan arah tamasya mereka ke selatan hingga menemui gedung berwarnakan khas Tingky Wingky dalam sinema Teletubbies.

FAKULTAS KEJIWAAN.

Begitulah kata yang tertuang di muka fakultas ini. Air mancur yang menyeruak kecil seperti sedang musim kemarau dan hiasan lumut alami menambah kesan kemegahan kampus ini. Takjub murid akan pintu sensorik yang terbuka sendiri, mengukuhkan kesan bahwa inilah pelipur lara para manusia modern. Di mana kitab tak lagi suci dan menyembah tak lagi sesuai arah. Di sinilah tempat larinya para milinealis.

Kemanjaan akan fasilitas yang menuju nomor wahid mengesankan kemewahan dan dana yang cukup dalam merogoh kocek. Penat dari sini keluarlah menuju fakultas terakhir Fakultas Pojok yang Terpojok, begitulah julukannya. Namun bukan itu nama resminya melainkan,

FAKULTAS KEMANUSIAAN.

Gedung bercat kelapukan dan terhiasi oleh kereotan tua usia bangunan, seperti itu lah kesan pertama yang melekat. Lantas hal tersebut mengilhami para murid untuk bertanya.

“Manusia macam apakah guru, yang betempat tinggal di sini?” seloroh beberapa murid.

Tersedak oleh pertanyaan sang murid, guru pun menjawab. “Yang penting substansinya nak, tak penting lah bangunannya.”

“Kalau begitu mengapa Gedung Pemimpin tak diganti gubuk saja jika yang penting hanya substansinya?”
“Ada namanya tata krama nak, yang berpangkat harus didahulukan.”
“Wah, apakah yang berpangkat adalah manusia dewa sedangkan yang tak berpangkat hanya setengah manusia?”
“Bukan seperti itu, mereka punya skala prioritas. Dimana yang bertingkat tinggi harus terpenuhi dahulu daripada yang sepi peminat.”
“Hmmt. Berdasarkan apakah itu?”
“Hal tersebut ditilik dari kemajuan suatu ilmu dibanding ilmu yang lain. Ilmu yang menjual di kancah internasional harus dikemas sedemikian rupa seperti kesehatan, ilmu kepastian haruslah terfasilitasi terlebih dahulu.”
Jawaban yang menyisakan ribuan pertanyaan lain akan menjadi seminar dua arah apabila tak dipungkasi oleh sang guru. Maka sang guru menginisiasi para murid untuk melakukan apa yang sekiranya dapat memperbaiki gedung tersebut. Berbondong-bondonglah para murid untuk menyemprotkan semprotan menjadi grafiti yang bertuliskan
“BANGUNAN PETERNAKAN.”
Tak disangka oleh sang guru, lantas ia mempertanyakan perihal tersebut kepada para murid. “Mengapa begitu, nak. Mengapa kalian mengganti namanya?”
“Yah karena manusia tak pantas tinggal di tempat yang kumuh seperti ini, Guru. Bangunan ini hanya seperti peternakan yang menghasilkan ternak-ternak pencari makan. Seperti daging olahan, di mana daging yang berkualitas A-lah yang akan didistribusikan ke supermarket. Lantas apa bedanya dengan lulusan ber-IPK 4, yang akan didistribusikan ke perkantoran ternama?” pungkas sang murid.

Tulisan ini merupakan gubahan dari “Taman Manusia” dalam buku Madilog karya Tan Malaka.

(Mei 2018)

--

--