Variasi preferensi, familiaritas, dan terbentuknya identitas.
Setiap manusia punya caranya sendiri untuk menjalani dan menikmati hidup. Perbedaan rutinitas dan preferensi tidak jarang mensegmentasi dan mengumpulkan sejumlah orang yang sepakat akan suatu hal yang sama; kadang berarti ada yang memilih untuk memulai hari dengan lari pagi, sarapan, atau senyuman — walau pilihan akhir akan dijamin menimbulkan lapar pada pukul sepuluh pagi.
Lari pagi ada rutenya dan tidak sedikit bisa ditemukan komunitasnya di Jakarta atau kota besar lainnya. Sementara sarapan dapat dibagi lagi berdasarkan preferensi jenis hidangan pembuka hari; nasi uduk dengan telur balado, nasi kuning dengan telur rawis, atau nasi goreng dengan telur mata sapi, atau bubur ayam dengan telur puyuh tiga butir per tusuknya — banyak sekali, ya?
Lalu, apakah variasinya cukup sampai di sini? Oh, tentu saja tidak! Banyak cara yang dimiliki orang-orang untuk menikmati buburnya. Berdasarkan cara konsumsinya, publik pasti familiar dengan tim bubur diaduk atau tim bubur tidak diaduk yang argumennya tidak jauh dari pilihan untuk menikmati begitu banyak cita rasa dalam sekali suap atau menjaga otentisitas setiap komponennya sembari menjaga estetika.
Tidak hanya dianggap sebagai pernyataan prinsip dan gambaran diri seseorang, ternyata preferensi ini juga dapat memengaruhi hubungan antarmanusia. Lebih jauhnya lagi, bagi mereka yang makan bubur dengan diaduk dianggap telah mencapai titik puncak pendewasaan karena tingginya oleransi mereka terhadap overstimulasi tekstur dan rasa dari bubur yang diaduk. Hal itu dibalas dengan argumen bahwa keharmonisan bisa dicapai tanpa mencampuradukkan sesuatu, melainkan melalui koeksistensi dari beberapa hal yang walaupun hidup berdampingan tetapi masih memiliki nilai tersendiri. Lucu, ya? Tidak habis mereka saling senggol dan sindir sampai mereka lupa kalau masih ada tim bubur disedot.
Dan tidak habis di situ, preferensi juga dilihat dari topping dan isian tambahan yang mereka minta abang penjual untuk taburkan di atas mangkuk ayam jago itu. Yang biasanya selalu dipakai pasti antara suwiran cakwe dan/atau daging ayam — namanya juga bubur ayam. Seledri, bawang goreng, kacang, kerupuk, dan emping disesuaikan oleh jumputan dan rengkuhan tangan peraciknya.
Mau pakai sambal? Berapa sendok?
Satenya mau apa aja?
Udah ini aja?
Yakin gak pakai bumbu kuning dan kecap?
Yakin. Berbeda dari kebanyakan orang yang menambahkan kuah kuning gurih dan kecap manis ke buburnya, aku suka buburku putih polos apa adanya. Aku suka nasi lembek hangat yang sedikit asin dan banyak hambarnya itu. Rasanya tidak terlalu kompleks untuk diproses saat otak belum sepenuhnya aktif dan lambung belum sanggup untuk bekerja. Rasanya cukup saja untuk menghangat perut dan menguatkan badan si sakit, apalagi jika terganggunya papila lidah membuat nafsu makan menurun; menjadikannya makanan andalan tim ahli gizi rumah sakit, baik bagi pasien umum, pediatri, ataupun geriatri. Tiga sampai sempat centong sepertinya jumlah yang pas untukku menghabiskannya dengan tetap menaati perintah Nabi — berhenti makan sebelum kenyang.
Cukupnya bubur putih polos tanpa banyak pendamping lain selain cakwe dan suwiran ayam mengingatkanku dengan orang-orang tersayang dan konsistensi fitur-fitur default di sekitar mereka. Tentang eyangku yang selalu memakai daster lusuh yang katanya sejuk dan pas untuk cuaca Jakarta. Tahun ke tahun, mukenanya pun hanya satu mukena yang sama yang jika berlubang akan dijahit lalu kembali dipakainya; mukena yang sama yang mengantarkannya kembali pada Allah, mukena yang sama yang ku kenakan setiap hari dari 1 September 2023 sampai sekarang. Tentang temanku dengan jilbabnya yang menutup dada, kadang berwarna hijau, biru, abu — pokoknya apapun yang tampak teduh — dan bajunya pun senada.
Tentang mereka yang sudah lama tidak aku ajak bicara tapi masih ku ingat kadar gula dan es dalam kopi pesanannya, bunga yang mereka anggap paling melambangkan mereka, dan beberapa hal penting tentang keluarga di masa lalu, masa kini, dan masa depan yang mereka percaya, ketahui, dan pelajari. Tentang seseorang dengan rambut pendeknya yang sedikit mengikal jika basah terkena tampias dan tidak ditata, serta jaket hitam dengan bordiran khas yang selalu ia kenakan dan baru akan dicuci seminggu sekali saat pulang ke rumahnya. Pilihan baju dan sepatunya juga itu-itu saja sampai aku hafal isi lemarinya tanpa pernah perlu bertamu ke tempat bersinggahnya. Namun tidak ada protes karena kami berdua sepakat bahwa yang penting semuanya nyaman, efisien, dan praktis — aku suka.
Apa dengan berkata “aku suka” maka akan ku pakai semua yang mereka pakai?
Akankah ku makan makanan yang mereka pesan dengan segala penyesuaian yang mereka pilih?Akankah aku mulai mendefinisikan kesukaanku atau bahkan diriku berdasarkan dengan preferensi mereka yang ku suka?
Dengan senang hati, aku akan menjawab tidak!
Berkata aku suka bukan berarti aku akan berubah menjadi duplikat lain dari diri mereka. Berkata aku suka berarti aku terima keunikan mereka yang berbeda tapi juga konsisten dan sederhana. Semua hal yang mereka suka, tidak suka, takuti, dan sudah terbiasa dengan adanya akan ku sambut dengan tangan terbuka. Setiap serpihan yang rontok dari jiwa mereka akan ku perhatikan, ku ambil hati-hati, dan ku simpan baik-baik dalam medium yang berbeda; jika bukan alam bawah sadar, maka sorotan mode teman dekat di sebuah akun rahasia, buku jurnal harian, tangkapan layar di galeri, ataupun tulisan yang bisa membantuku mengingatkan mereka tentang hal-hal indah yang membentuk mereka, seperti apa mereka dulunya, dan siapa mereka sebenarnya.
Tidak hanya demi mereka, tetapi setiap rincian dan kombinasi akan hal-hal yang menjadikan mereka seperti sekarang akan ku coba sekeras mungkin untuk terus mengingatnya supaya aku tahu seperti apa saja bentuk rumah. Setiap detail dari mereka akan menjadi rambu yang ku cari di tengah keramaian orang dan hiruk-pikuk dunia supaya aku tahu ke arah mana aku harus pulang. Supaya dalam sakitku, mereka semua menjadi bubur putih polos tanpa kecap dan bumbu kuning yang ku cari sebagai penangkalnya.
Tanpa pikir panjang, tanpa perlu bertanya-tanya.
Kita masih muda dan masih punya daftar berisikan banyak hal yang belum dicoba. Tapi dengan tidak terbatasnya jumlah pintu kesempatan yang akan terus terbuka, selalu ingatlah wujud pintu kayu sederhana berwarna putih yang diketuk sambil berkata,
“Assalamu’alaikum. Halo, aku sudah pulang!”