Jurnal #5

Putih yang Ternoda Kesuciannya

Katzenstreu
3 min readAug 15, 2024
Umbul-Umbul: Pusaka Beragam Warna. Dokumentasi Pribadi.

Dalam keadaan biasanya, jika sudah seperti ini rasa kantuk pasti datang semaunya. Namun, entah mengapa dalam seminggu ini kurasakan ia jarang sekali berkunjung ke pelupuk mata. Mungkin efek anestesi, mungkin efek obat-obatan, mungkin tubuh yang tak lagi sehat, atau mungkin-mungkin lainnya.

Walaupun hanya tidur 5 jam dalam sehari, kelelahan fisik tak kurasakan begitu berarti, adapun yang sangat kurasa adalah menurunnya fungsi otak untuk berpikir, mengingat, menganalisis, juga “mempertimbangkan” perasaan lawan bicara. Tulisan terasa mengalir tak beraturan, bagai rakit kecil yang dipermainkan ombak di lautan. Tulisan ini bahkan kurasa sangat asal-asalan, tapi biarlah ia ada dan akan kubaca ulang di hari kemudian saat tubuh dan pikiran sudah agak mendingan.

Melalui pantauan stellarium kudapati bahwa bulan sedang berada pada altitudo 28° dengan azimut 239°. Sebenarnya dalam kelarutan malam ini aku sedang menyelesaikan salah satu tulisan untuk kumuat dalam daftar Refleksi — bagian tersendiri dalam kegalauanku yang coba untuk kutuliskan paling sedikit satu cerita setiap bulannya.

Refleksi

14 stories

“Refleksi” kuanggap sebagai bagian dari diriku yang cukup penting, sehingga semampunya tulisan-tulisan itu kutuliskan dalam keadaan tubuh yang prima. Adapun dalam kondisi pikiran yang sudah tak karuan seperti malam ini, kubiarkan tulisan yang baru seperempat jadi itu istirahat sejenak dalam kumpulan “draft”, berkawan dengan beberapa tulisan yang sejak enam bulan lalu mungkin memang tak bertakdir untuk sampai ke hadapan kawan-kawan pembaca.

Saat coba menyelesaikan tulisan yang kumaksud di atas, pikiranku melayang pada pengalaman di masa lalu.

Setiap tahun, sambil mengibarkan bendera kecil berukuran 15x10 cm yang diikat pada kayu berdiameter mungil sepanjang 1 m, lagu “Bendera Merah Putih” selalu kusenandungkan bersama ibu. Kebiasaan ini berulang entah berapa tahun lamanya. Bendera kecil pemberian ayah yang selalu kusimpan hingga lusuh warnanya… kemudian diwariskan pada adikku yang berjarak usia 13 tahun jauhnya.

Dalam lirik lagu ciptaan Ibu Sud di atas, ada satu kalimat yang entah mengapa baru sekarang kupikirkan. Kalimat itu adalah “pelambang berani dan suci”. Tentu saja makna dari kalimat ini sudah sangat akrab di hati dan pikiran kawan-kawan pembaca; berani dilambangkan dengan merah, suci dilambangkan dengan putih, dwiwarna pada bendera Merah-Putih.

Aku pernah bertanya pada ibu, “Bu, kenapa merah artinya berani?”. Penjelasan yang mudah dicerna oleh anak kecil keluar dari kebijaksanaan pikiran ibuku, “Merah itu warna darah. Dulu pejuang kita mengusir penjajah tanpa rasa takut walaupun tubuhnya harus dipenuhi luka dan jadi merah karena darah. Karena itulah… Merah = Berani.”

Pertanyaanku kala itu cukup sampai warna merah saja. Baru malam inilah kupikirkan “Kenapa suci dilambangkan dengan putih? bukankah warna putih adalah warna yang paling mudah berubah jika sedikit saja terkena noda?”

Ya, bersama pertanyaan itu pula barangkali kutemukan sendiri jawabannya. Tak seperti keberanian yang sulit untuk menciut hingga jadi pengecut, kesucian memang mudah sekali ternodai. Dunia yang kita hidupi ini sejatinya penuh dengan debu dan kotoran, entah hanya dalam pikiran maupun menjelma menjadi tindakan. Jika kotoran yang datang cukup pekat, warna putih akan mudah sadar bahwa kesuciannya sedang ternodai, sehingga penanganan yang cepat dan tepat akan mudah untuk menghilangkan noda itu. Tapi bagaimana kalau kotoran yang datang sangat tipis? Bagai baju putih yang dipakai anak untuk sekolah setiap hari. Warnanya perlahan memudar, berubah jadi kekuningan tanpa disadari. Saat sudah bertahun-tahun dipakai, seorang kawan datang dengan baju barunya… bersandinglah baju-putih-pudar dengan baju-putih-bersih yang baru dibeli oleh kawan. Saat itulah si anak baru mafhum bahwa “Warna bajunya sudah ternoda”. Penanganan sudah terlambat, mengembalikannya pada warna asal sudah sangat sulit.

Sekarang, warna putih pada bendera itu sudah memudar, kekuningan, dan sangat kotor. Berbagai cara diupayakan untuk mengembalikannya pada warna asal. Namun, kotoran mengakar terlalu kuat pada serat-serat kain. Apakah kemudian satu-satunya cara untuk mengembalikan kesuciannya adalah dengan “membuat” bendera baru? atau masih ada cara lain yang bisa diupayakan?

Cukuplah malam ini dengan segala ketidakjelasan tulisanku. Jika kawan-kawan pembaca sampai pada kalimat ini, kuucapkan

“Terima kasih, dengan segala kasih”.

Selamat tidur.
Banjarmasin. 01.55 WITA

--

--

Katzenstreu
Katzenstreu

Written by Katzenstreu

Untuk guru-guru yang telah mengajarkan kami tentang bagaimana caranya tetap bisa bernapas saat tengah tenggelam dalam laut pikiran.