“LARI ADA WIBU!!!” SEBUAH KONSTRUKSI SOSIAL DI MASYARAKAT BAGI PARA JAPANOFILIA

Penulis: M. Hasnan Atlandi, Sosiologi FISIP UNPAD 2021

Stereotip Wibu di Masyarakat

Manusia hidup dengan berbagai julukan dan gelar yang bersanding pada dirinya. Manusia sebagai makhluk berbudaya merupakan makhluk yang memiliki akal, pikiran dan perasaan sehingga mampu membawa manusia kepada penciptaan berbagai hal guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Maka, setiap kelompok manusia memiliki kebudayaan yang berbeda akibat perbedaan kebutuhan jasmani dan rohani. Perkembangan zaman telah melahirkan berbagai inovasi terutama pada bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Akibatnya muncul suatu fenomena yang disebut sebagai globalisasi di mana, jarak dan batas antar negara seakan semakin dekat dan kabur. Oleh karena itu, difusi atau penyebaran kebudayaan dapat dilakukan dengan mudah. Salah satunya kebudayaan Jepang yang masif masuk ke Indonesia terutama melalui media hiburan.

Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan industri hiburannya yang telah mendunia. Media hiburan Jepang mulai dari komik (manga), serial kartun (Anime), serial drama (Dorama), musik (J-Pop) dan lain sebagainya telah menjadi media difusi bagi kebudayaan Jepang termasuk di Indonesia. Penikmat anime (termasuk manga) memiliki peminat yang cukup tinggi di Indonesia yang mencapai angka 67% di abad ke-20. Popularitas anime di Indonesia dibarengi dengan kemunculan berbagai stasiun televisi swasta, seperti RCTI, SCTV dan Indosiar. Tingginya minat masyarakat Indonesia pada anime, membuat banyak stasiun televisi swasta kala itu turut menyajikan anime sebagai tontonan kepada masyarakat. Beberapa anime yang terkenal saat itu diantaranya “Doraemon”, “Dragon Ball” dan “Inuyasa.”

Masuknya era new media atau era dimana internet banyak digunakan membuat akses terhadap budaya populer Jepang semakin mudah (Afiudin, 2019). Hal tersebut, mampu memunculkan fanatisme masyarakat yang menganggap Jepang sebagai surga dunia dan memandang sebelah mata pada negara sendiri. Fenomena tersebut menjadi asal bagaimana istilah “Japanofilia” atau “Wibu” muncul. Kata wibu berasal dari bahasa Inggris “Weaboo” yang berarti orang non Jepang yang memiliki obsesi berlebih pada kebudayaan Jepang dan bertindak seolah-olah orang Jepang. Kata Weaboo dikutip dari komik karya Nicholas Gurewitch yang berjudul “Perry Bible Fellowship.” Fanatisme wibu terhadap budaya Jepang pada akhirnya mampu menimbulkan stigma dan streotipe di masyarakat bagi para Japanofilia. Hal tersebut dikarenakan akibat fanatisme yang berlebihan dari wibu terhadap budaya populer Jepang, mampu membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial karena berfokus pada hobi dan minatnya serta lingkungan sekitar yang dianggap tidak sebaik Jepang. Sehingga, para wibu sering dijuluki no social life atau nolep sampai bau bawang atau bau badan yang timbul akibat wibu yang terlalu fanatik sampai melupakan mandi dan kebersihan diri. Fanatisme wibu terhadap budaya Jepang memberikan pengaruh pada kehidupan para wibu termasuk cara berpakaian di mana, seorang wibu selalu berusaha meniru pakaian anime, manga atau hal lain yang digambarkan pada media hiburan Jepang. Selain itu, para wibu biasanya menggunakan identitas Jepang pada nama mereka serta mencampurkan bahasa Jepang dan Indonesia ketika berbicara, “Ohayo… andi-kun ganbate sekolahnya.” Hal tersebut membuat masyarakat memandang sebelah mata kepada para wibu.

Istilah “Lari ada Wibu,” bermula dari sebuah komentar di grup komunitas wibu di media sosial facebook. Kemunculan istilah tersebut berangkat dari sikap fanatisme wibu terhadap budaya Jepang. Akibat fanatisme yang tinggi akan dirasa sulit ketika hendak memberikan saran, kritik maupun insight baru sehingga muncul istilah “lari ada wibu” sebagai bentuk gurauan yang bermakna “dari pada berargumen dengan wibu yang keras kepala, lebih baik lari dan menjauh.” Streotipe ini tentu memberikan dampak pada kehidupan para pecinta anime dan manga. Masyarakat terkesan menyamaratakan semua pecinta hal yang berbau Jepang dengan wibu, padahal pada kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan baik di dunia nyata maupun maya tindakan — tindakan yang tidak menyenangkan bagi para pecinta budaya Jepang, seperti ejekan, cemoohan bahkan pengasingan sosial. Namun, tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan popularitas istilah wibu dan streotipenya untuk memperoleh popularitas di media sosial. Saat ini banyak kita temukan berbagai akun media sosial yang mengkontruksikan dirinya sebagai wibu guna memperoleh atensi dari masyarakat. Fenomena tersebut, membuat para wibu akhirnya tetap berani berekspresi di balik stigma dan streotipe yang diberikan kepada komunitas mereka.

Kontruksi Sosial Wibu dan Masyarakat

Proses kontruksi sosial yang dilakukan oleh wibu dan masyarakat dapat dipahami menggunakan teori Kontruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini merupakan kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Berger mengungkapkan bahwa realitas sosial dilihat sebagai kontruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Kontruksi sosial atas realitas didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu, atau sekelompok individu menciptakan secara terus-menerus realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Artinya terdapat proses membangun sendiri atas realitas yang dilihat berdasarkan kepada pengetahuan yang telah ada sebelumnya (stock of knowledge). Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa setiap individu atau sekelompok individu mengkontruksi realitas sosial berdasarkan stock of knowledge-nya masing-masing sehingga antar individu dapat mengkontruksi suatu realitas sosial secara berbeda sesuai dengan stock of knowledge-nya.

Pandangan para wibu yang menganggap bahwa budaya Jepang merupakan budaya terbaik muncul akibat pengkontruksian mereka terhadap realitas sosial yang ada menggunakan stock of knowledge mereka yang diperoleh dari berbagai sumber mulai dari anime, manga, J-Pop, Dorama dan lain sebagainya. Realitas yang digambarkan oleh media hiburan Jepang yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di negara asalnya, membuat para wibu mengkontruksikan realitas sosial yang ada dan menciptakan pandangan bahwa budaya Jepang adalah yang terbaik dan akhirnya memunculkan fanatisme pada diri seorang wibu. Sedangkan, pengkontruksian realitas sosial pada masyarakat yang akhirnya memunculkan stigma dan streotipe kepada wibu, terjadi karena stock of knowledge masyarakat mengenai budaya Jepang tidak sama dengan wibu. Masyarakat cenderung melihat wibu sebagai orang “aneh” akibat tindakan dan fanatisme mereka yang tidak sesuai dengan apa yang biasa masyarakat lakukan. Sehingga, masyarakat dalam realitas sosialnya mengkontruksi wibu sebagai sesuatu yang berbeda dan akhirnya memunculkan stigma dan streotipe pada kelompok tersebut akibat adanya kecenderungan dalam menggeneralisasi tanpa adanya diferensiasi (Murdianto, 2018).

Berger mengungkapkan bahwa masyarakat adalah produk manusia dan masyarakat pada akhirnya kembali memengaruhi manusia, sehingga manusia pun merupakan produk masyarakat. Maka penciptaan kenyataan sosial pada manusia terjadi secara diakletis yang simultan di mana, menurut Berger terdapat tiga proses yang meliputi,

1. Eksternalisasi

Proses pencurhan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia baik dalam kegiatan fisik maupun mental. Pada tahap ini masyarakat merupakan produk manusia di mana, manusia berekspresi untuk menguatkan eksistensi mereka dalam masyarakat. Artinya terdapat proses penyesuaian manusia dalam masyarakat. Penciptaan realitas sosial pada wibu di tahap ini terjadi ketika para wibu mulai mencurahkan dirinya ke dalam hal-hal yang berbau Jepang, mereka mulai mengenal dan menyukai budaya Jepang. Sedangkan, proses eksternalisasi pada masyarakat terjadi saat masyarakat melihat dan menyadari keberadaan wibu. Pada tahap ini anggota masyarakat mencoba menyesuiakan diri dengan realitas sosial yang di dalamnya terdapat para wibu.

2. Objektivasi

Objektivasi merupakan proses hasil yang telah dicapai dari kegiatan eksternalisasi berupa realitas objektif atau fakta yang berada diluar diri manusia. Pada tahap ini terjadi proses interaksi sosial dalam dunia intrasubjektif yang dilembagakan. Pada kasus penciptaan realitas sosial wibu, proses ini terjadi ketika mereka mulai menganggap budaya Jepang adalah hal yang terbaik akibat dari proses eksternalisasi yang mereka lakukan yaitu, mengenal dan menyukai budaya Jepang. Namun, hal tersebut belum mampu memengaruhi wibu secara internal akibat hal tersebut dipandang sebagai realtas sosial yang berada di luar diri. Selanjutnya, terjadi proses interaksi intrasubjektif diantaranya para wibu dan menciptakan suatu kelembagaan dalam bentuk komunitas-komunitas yang berhubungan dengan budaya populer Jepang. Lain hal nya dengan masyarakat, pada tahap ini mereka melihat keberadaan wibu dalam realitas sosial sebagai bagian dari luar diri masyarakat. Proses intrasubjektif yang tejadi pada individu anggota masyarakat yang non wibu pada akhirnya menciptakan in group di dalamnya dan melahirkan stigma dan stereotip kepada para wibu.

3. Internalisasi

Proses Internalisasi diartikan sebagi suatu proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi manusia menjadi produk dari masyarakat (Man is a social product). Pada proses penciptaan realitas sosial pada wibu proses ini ditandai dengan masuknya pandangan bahwa budaya Jepang yang terbaik ke dalam kesadaran dirinya dan akhirnya terbentuk fanatisme. Sedangkan, pada masyarakat proses ini terjadi ketika secara tidak sadar masyarakat selalu memberikan atensi pada hal yang dilakukan oleh wibu walaupun atensi yang diberikan bertujuan negatif namun, beberapa individu anggota masyarakat memanfaatkan hal tersebut untuk memperoleh popularitas. Saat ini dapat ditemukan di media sosial orang — orang yang mulai menggunakan identitas wibu baik dari nama, cara berpakaian maupun cara berbicara dan berhasil mendapatkan atensi dan popularitas.

Baik wibu maupun anggota masyarakat non wibu memiliki prosesnya kontruksinya tersendiri terhadap suatu realitas sosial akibat perbedaan stock of knowledge yang dimiliki. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita dapat menghargai bagaimana cara orang lain untuk mengekspresikan diri sesuai dengan apa yang mereka minati dan sukai. Namun, dalam mengekspresikan diri pun kita tetap perlu memerhatikan nilai, norma dan kebiasaan yang ada serta berkembang di masyarakat guna tetap menciptakan kenyamanan pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Afiudin, M. C. (2019). FENOMENA GAYA HIDUP REMAJA WIBU PADA BUDAYA POPULER.

Luzar, L. C. (2015). Teori Kontruksi Realitas Sosial.

Murdianto, M. (2018). Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia). QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama, 10(02).

Souichirou, Y. (2022). Cari Tahu Lebih Lanjut Mengenai Komentar “Lari Ada Wibu” Berikut Ini — Kompas.com. Kompas.Com. https://buku.kompas.com/read/1619/cari-tahu-lebih lanjut-mengenai-komentar-lari-ada-wibu-berikut-ini

--

--