Koran Masih Hidup dan Akan Terus Dicetak

Khairul Ma'arif
5 min readJan 5, 2024

--

Foto Milik Khairul Ma’arif: Media cetak yang masih beredar hingga sekarang di tengah gempuran media online

Memasuki 2024 mari dimulai dengan pertanyaan siapa yang masih berlangganan koran? Atau diganti saja pertanyaannya. Siapa yang masih membeli koran hari ini? Nampaknya perorangan sudah jarang sekali untuk membeli koran di pagi hari. Sepertinya, mayoritas yang masih membeli atau berlangganan adalah instansi pemerintah ataupun bisa juga swasta. Kondisi itu otomatis, membuat koran hari ini dibaca hanya ketika sedang berada di kantor saja bukan.

Sejumlah persimpangan di Yogyakarta masih ada yang menjual koran dari berbagai media. Sosok penjual koran menjadi manusia paling asing di daerah yang destinasi wisatanya selalu digandrungi pelancong. Setiap sudutnya selalu menjadi perhatian para wisatawan yang kagum dengan arsitektur bangunan ataupun keramahan warganya. Namun, penjual koran di provinsi istimewa ini menjadi jalan sunyi di antara bising kendaraan dan tapak kaki kuda di sekitaran Malioboro.

Biasanya persimpangan yang traffic lightnya agak lama menjadi lokasi mangkal penjual informasi. Meski kondisinya matahari mentereng di atas kepala. Tetap menjajakan koran ke sejumlah pengendara. Tak peduli kering kerongkongan, selama ada topi di kepala bisa menahan sinar uv masih terus mengharap pada kesetiaan pembaca koran. Semua sedu sedan itu ditahan dengan harapan koran di tangan laku keras tak bersisa. Sampai rumah dapat melemparkan senyum bahagia ke anak istri.

Di era serba digital yang bisa diraih dalam satu genggaman gawai. Koran seperti barang usang dan lapuk seakan mencirikan kekunoan. Hasil dari sisa-sisa kejayaan masa lampau yang tinggal kenangan dan menjadi artefak sastra lisan ataupun legenda di tengah masyarakat. Masyarakat urban perkotaan ataupun bahkan di pedesaan sudah tidak tertarik merogoh kocek untuk ditukar dengan koran. Koran sekarang lebih laku sebagai barang bekas yang harga jualnya didasarkan berat perkilogramnya. Padahal, di masa primenya koran menjadi arus utama sumber informasi masyarakat luas. Momen itu terjadi persisnya saat geliat media sosial (Medsos) belum membuncah seperti sekarang. Selain itu juga masih sedikit media yang menggunakan sarana online ataupun digital. Aplikasi Medsos yang tidak terhitung jumlahnya sekarang membuat penyaluran informasi hanya butuh beberapa menit ataupun jam saja. Kondisi itu sejalan dengan sudah banyaknya masyarakat Indonesia (yang mungkin saja dahulu rajin beli, berlangganan, dan baca koran) sekarang yang memiliki gawai sehingga mudah mengakses berbagai informasi melalui aplikasi Medsos. Berbeda dengan koran yang harus menanti sehari kemudian untuk mengabarkan.

Tanpa memedulikan kemajuan teknologi dalam genggaman gawai, dengan julukan kota pelajar seharusnya penjualan koran dapat terus makmur sepanjang masih menyandang label tersebut. Alasannya tentu atas dasar predikat itu berbanding lurus dengan tingkat melek baca atau literasi warganya. Otomatis berdampak pada masih banyak perorangan yang membeli koran. Kenyataannya predikat yang diberikan tidak sejalan dan seirama dengan tindak tanduknya. Penjual koran mukanya selalu masam ketika matahari berganti tugas dengan bulan masih membawa setumpuk koran. Penjualan koran tidak akan berdampak dari banyaknya wisatawan ke Yogyakarta saat momen libur natal dan tahun baru. Oleh karena itu, tidak bisa menyandarkan peningkatan penjualan koran pada sebutan Yogyakarta kota wisata.

Uniknya, meski penjualnya sudah ampun-ampunan untuk membuat laku koran. Tetap saja perusahaan media yang bermarkas di Yogyakarta konsisten menyebarkan informasi lewat lembaran kertas. Misalnya saja, Radar Jogja, Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, Koran Merapi, dan Tribun Jogja yang masih berupaya eksis dengan korannya. Padahal, sekitar 50% lebih konten yang ada di kelima koran itu sudah ada juga di media online. Entah sampai kapan kelimanya terus mencetak koran. Meski sudah diwarnai gonjang-ganjing media cetak yang berguguran edarnya ataupun berganti platform menjadi digital. Semuanya hari ini, Sabtu (06/01/2024) masih naik cetak dan memberikan nafas untuk para penjual koran dan ketidakpastian masih adakah yang membeli koran hari ini.

Medio tahun 2006–2014 di Tangerang, Bapak saya rajin membeli koran setiap paginya. Masih ingat betul koran yang dibelinya selalu Satelit News kadang diantarkan penjualnya menggunakan motor ataupun membelinya di pinggir jalan. Kala itu, Bapak saya membaca tiap lembar informasi itu ditemani secangkir kopi hitam panas. Dia selesai membaca baru lah gantian giliran saya. Medio tahun tersebut saya masih seorang pelajar. Berita yang saya senangi seputar sepak bola utamanya berkaitan dengan Persikota. Tim yang dijuluki bayi ajaib tetapi kehilangan keajaibannya sekarang. Itu karena terdampar di Liga 3 Indonesia dan tidak pernah eksis di kasta tertinggi sepak bola NKRI. Selain itu, setiap edisi koran Satelit News selalu ada menyisipkan kutipan kata-kata dari tokoh besar dunia. Saya ingat betul sampai sekarang, kutipan itu letaknya di halaman satu pada bagian bawah bersanding dengan alamat email redaksi Satelit News. Dua varian itu menjadi favorit saya di koran Satelit News.

Pada momen itu, Medsos yang paling mencolok digunakan hanya Facebook bersaing dengan Twitter atau X karena dibeli Elon Musk. Disusul adanya Instagram. Disaat yang bersamaan perusahaan media yang menggunakan sarana digital untuk menyebarkan beritanya belum seramai sekarang. Ditambah juga akses yang memfasilitasi masyarakat untuk berselancar di dunia digital ke ranah Medsos atau media online belum semudah sekarang. Kalau saya tidak salah ingat, gawai pada masa itu belum secanggih sekarang. Sinyal internetnya belum sekencang sekarang sehingga masyarakat masih ogah-ogahan untuk mengakses berita secara online.

Satelit News sekarang masih beredar cetaknya. Namun Bapak saya sudah lama tidak membelinya lagi. Bahkan kalau saya tidak salah ingat, 2014 itu sebenarnya sudah tidak lagi membeli koran Satelit News. Sempat pernah saya tanyakan kenapa jarang beli koran lagi. Alasannya saat itu sudah sulit dicari korannya, setiap hendak membeli selalu habis. Hilang lah sudah kebiasan membeli koran itu hingga sekarang. Padahal, saat masih rajin membeli koran Satelit News, tumpukannya sangat banyak di sudut-sudut rumah. Untuk menguranginya, kadang dibagi-bagi buat yang membutuhkan. Kadang juga dijual dengan cara dikiloin ke penjual barang bekas.

Meski begitu, kebiasaan Bapak saya membaca berita tidak berhenti. Jika dahulu hanya setiap pagi. Sekarang sepanjang hari karena aksesnya hanya lewat gawainya dan setiap jamnya selalu ada berita yang diperbarui baik melalui Medsos ataupun media online. Saat tahun politik seperti sekarang ini, tidak jarang Bapak saya menyebarkan link berita pasangan Capres-Cawapres pilihannya. Kebiasaan yang tidak bisa dilakukannya kala masih membaca koran.

Pasca Bapak saya tidak rutin membeli koran Satelit News, semenjak itu pula koran menjadi barang asing di hidup saya. Bahkan, 2013 hingga 2016 saya habiskan di Tangerang itu sudah sangat jarang dan sulit menemui penjual koran. Sudah setahun lebih saya menetap di Yogyakarta selalu muncul rasa bingung kok masih ada yang jual koran? Emang masih ada yang beli ya? Kalau koran di Yogyakarta sudah tidak ada yang cetak, penjual koran di persimpangan jalan kerja apa? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelindan mencari jawaban yang belum ditemukan sampai sekarang.

Saya selalu percaya, ‘tidak ada yang abadi di dunia ini’. Apalagi yang sifatnya buatan manusia. Koran yang sekarang tersengal-sengal naik cetak ke percetakan saya yakin bisa membalikan masa kejayaannya seperti dahulu sebelum ada geliat Medsos ataupun media online dalam genggaman gawai. Penyajian informasi oleh perusahaan media melalui koran jauh sebelumnya bisa dilakukan tanpa bantuan Medsos ataupun menggunakan sarana media online yang biasanya menggunakan website. Koran tidak akan pernah terkendala oleh jaringan atau sinyal internet. Sedangkan kompetitornya sekarang sangat bergantung sekali dengan itu. Bayangkan saja, suatu waktu entah kapan itu, tatanan jaringan sinyal internet yang bermodalkan satelit itu mengalami kerusakan massal. Mengakibatkan terganggunya sarana informasi digital yang selama ini dimanfaatkan masyarakat Bumi. Tepat pada momen itu, waktunya koran Satelit News kembali tampil dan membalikan kejayaannya. Dibaca dengan diselingi seruput secangkir kopi hitam panas di pagi hari. Kodisi itu juga diyakini akan mengembalikan senyum sumringah para penjual koran di Yogyakarta. Tidak ada yang pernah mengetahui perihal masa depan.

--

--