Keragaman Identitas Gender: Propaganda Barat Belaka?
Mengupas label ‘budaya Barat’ yang melekat pada keragaman identitas gender
Click here to read the English version of this article!
Ketika kita membahas indentitas gender atau orientasi seksual, komentar yang sering muncul selain yang berbau religi adalah yang melabeli identitas gender sebagai budaya Barat belaka dan tidak cocok sama sekali dengan tatanan sosial orang Timur. Mereka yang menoleransi perbedaan indentitas gender dicap telah tercuci otak oleh propaganda Barat.
Pada artikel sebelumnya, kita membahas bagaimana sekitar 2500 tahun lalu pada masa kemunculan agama Buddha masyarakat telah mengenal adanya kelompok-kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda. Fakta ini saja telah menepis stigma bahwa identitas gender di luar laki-laki dan perempuan cuma propaganda dan kultur masyarakat Barat belaka.
Tapi, kira-kira, ada ga sih masyarakat atau komunitas lain yang sudah mengenal keragaman identitas gender sejak zaman dulu? Kalau ada, di mana saja? Dan apakah pengakuan dan penerimaan mereka akan keragaman ini juga masih eksis di zaman modern?
Hijra di Asia Selatan
Selain di wilayah yang sekarang adalah India bagian utara (area perbatasan dengan Nepal) selaku lokasi awal kemunculan Buddhisme, keragaman identitas gender juga telah dikenal masyarakat Asia Selatan (atau subbenua India) yang lebih luas sejak zaman dahulu. Hijra adalah nama yang dipakai untuk menyebut gender ke-3 yang diterima oleh masyarakat tersebut.
Hijra merupakan istilah dalam kepercayaan Hindu yang mengacu pada transgender, interseks (orang dengan karakteristik biologis pria dan wanita sekaligus), dan kasim (orang yang sudah dikebiri). Eksistensi hijra dalam tatanan sosial masyarakat Asia Selatan bahkan ditemukan di sejumlah legenda seperti Mahabaratha. Dikisahkan bahwa Arjuna dari 5 Pandawa sendiri pernah menjadi hijra selama setahun.
Di negara-negara Asia Selatan modern seperti India, Bangladesh, dan Pakistan, keberadaan hijra masih diakui sebagai indentitas gender ke-3. Loh, Pakistan dan Bangladesh bukannya negara mayoritas Muslim? Ya, tapi nyatanya masyarakat kedua negara tersebut (dengan segala pro dan kontra-nya) berusaha menerima hijra kembali setelah kelompok ini sempat tersingkir akibat kolonialisme.
Dan bila melihat sejarah Asia Selatan, adanya hijra di wilayah yang mayoritas dihuni Muslim pun bukan hal baru. Para hijra banyak ditunjuk untuk menempati posisi-posisi penting dalam Kerajaan Mughal yang adalah kerajaan Islam yang berkuasa di subbenua India pada tahun 1526-1721. Hijra dipercaya dalam berbagai urusan spiritual serta manajemen dan pengamanan istana, terutama yang menyangkut harem kaisar. Hal ini membuat hijra pada masa itu memiliki kekuatan politik tersendiri.
Pemerintah kolonial Inggris-lah yang kemudian memantik kebencian pada hijra dikarenakan konsep gender tersebut tidak sesuai dengan kepercayaan dan budaya mereka. Inggris pada 1864 melarang semua bentuk aktivitas seksual yang tidak bisa mengarah pada penerusan keturunan dan hukum ini menjadi landasan persekusi pada hijra.
Dampak dari diskriminasi ini pun masih terasa hingga kini. Meski pemerintah negara-negara Asia Selatan telah memberikan pengakuan dan perlindungan hukum pada hijra, stigma sosial masih cenderung beragam dan hijra masih perlu berjuang untuk meraih kembali pengakuan dan kesetaraan mereka.
Muxe di Meksiko
Suku Zapotek yang merupakan masyarakat asli Meksiko bagian selatan telah sejak awal mengenal gender ke-3 yang disebut muxe. Muxe terlahir sebagai laki-laki dengan sifat yang cenderung feminim. Dalam komunitas, mereka mengambil peran layaknya perempuan — mengikuti sifat feminim mereka.
Selama lebih dari 2000 tahun, muxe telah diterima sebagai bagian dari masyarakat dan dianggap sebagai budaya asli yang tak dapat tergantikan. Bahkan keberadaan seorang muxe dalam suatu keluarga dianggap sebagai suatu keberuntungan.
Di Juchitan de Zaragoza, sebuah kota di Meksiko, ada legenda yang berkembang mengenai asal-usul muxe. Dikisahkan bahwa sosok pelindung kota, San Vincente Ferrer, kala itu membawa 3 buah tas. Satu tas berisi benih laki-laki, satu tas lain berisi benih perempuan, dan tas terakhir berisi keduanya. Ketika mencapai lokasi yang kelak menjadi Juchitan, Ferrer tak sengaja menjatuhkan tas terakhir. Dari benih-benih laki-laki dan perempuan yang jatuh ke Bumi dan bercampur inilah muxe muncul sebagai gender ke-3.
Akan tetapi, sejak pengenalan bahasa dan budaya bangsa Spanyol yang sangat menekankan pada pemisahan antara sifat maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan), muxe kehilangan penerimaan di berbagai wilayah Meksiko lainnya. Bahkan, kini, di wilayah di mana muxe diterima dengan sangat terbuka, tindakan kekerasan dan diskriminasi masih terjadi.
Di bahasa kuno Zapotec, tidak ada perbedaan ketika memanggil pria ataupun wanita. Hal ini berubah ketika bahasa para penakluk Spanyol diperkenalkan karena mereka menghargai 2 gender secara berbeda: laki-laki dan perempuan. Di Zapotec, kami memakai la-ave untuk manusia, la-ame untuk binatang, dan la-ani untuk benda mati. Inilah bahasa kami, tidak ada pria atau wanita.
— Narasi penutup film pendek Third Gender: An Entrancing Look at Mexico’s Muxes
Bakla di Filipina
Hampir serupa dengan muxe, bakla terlahir sebagai laki-laki dengan sifat feminim. Bakla terutama berada di wilayah selatan Filipina. Dahulu, bakla dipandang sebagai tokoh masyarakat dan pemimpin spiritual dikarenakan keistimewaan mereka yang melampaui klasifikasi umum 2 gender. Sayangnya, keberadaan bakla tergerus oleh kedatangan Spanyol pada tahun 1500-an. Masyarakat Filipina perlahan-lahan berpindah ke agama Katolik, mengikuti arahan dan tuntutan pemerintah kolonial.
Secara umum, keberadaan bakla di era modern ditoleransi oleh masyarakat Filipina. Akan tetapi, untuk berbagai hal yang bersifat legal seperti pernikahan dan payung hukum yang jelas masih belum tersedia. Berbagai elemen masyarakat juga cenderung hanya menoleransi saja dan bukan menerima keberadaan bakla secara penuh. Kebanyakan bakla saat ini bekerja di dunia hiburan dan media.
Suku Bugis, suku Toraja, dan sejumlah kebudayaan Jawa di Indonesia
Pada contoh-contoh sebelumnya, kita melihat keberadaan dari gender ke-3 di berbagai budaya. Rupanya, suku Bugis dari negara kita sendiri memiliki klasifikasi gender yang lebih luas. Ada 5 gender yang dikenal oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan:
- Makkunrai: Wanita feminim, yaitu mereka yang terlahir dengan tubuh wanita dan mengambil peran sosial sebagai wanita.
- Oroani: Pria maskulin, yaitu mereka yang terlahir dengan tubuh pria dan mengambil peran sosial sebagai pria.
- Calalai: Wanita maskulin, yaitu mereka yang terlahir dengan tubuh wanita dan mengambil peran sosial sebagai pria.
- Calabai: Pria feminim, yaitu mereka yang terlahir dengan tubuh pria dan mengambil peran sosial sebagai wanita.
- Bissu: Bukan pria maupun wanita. Secara biologis Bissu dapat terlahir dalam tubuh pria maupun wanita, namun pembawaan sifat seorang bissu adalah feminim sekaligus maskulin. Bissu dianggap istimewa oleh masyarakat Bugis dan dijadikan sebagai pemimpin spiritual.
Meski sebagian besar masyarakat Bugis kini memeluk Islam, konsep tradisional mereka akan gender tetap dipertahankan, terlepas dari tekanan kelompok-kelompok religi. Di wilayah Makassar dan sekitarnya, bissu, calalai, dan calabai masih diterima dan dianggap sebagai bagian penting dari struktur masyarakat setempat.
Terutama bissu, mereka dihormati karena perannya sebagai pengawas yang melindungi dan memimpin segala aktivitas adat. Menjadi bissu merupakan sebuah panggilan dan mereka yang terpanggil akan belajar di bawah bimbingan bissu senior untuk menekuni Basa To Ri Langiq, bahasa rahasia turun-temurun Bugis.
Masih di Sulawei, suku Toraja juga mengenal jenis gender ke-3 dengan konsep yang serupa dengan bissu. Orang Toraja menyebut mereka to burake. Peran sosial to burake pun juga sebagai pemimpin spiritual. Namun, sayangnya gender ke-3 ini pun terancam tergerus oleh perkembangan agama Abrahamik di komunitas Toraja.
Selain suku-suku di Sulawesi, keragaman orientasi seksual juga tampak dalam sejumlah tradisi Jawa. Ada tari Lengger Lanang dari Banyumas dimana laki-laki memainkan peran sebagai wanita. Di Jawa Timur, tari Reog Ponorogo sesungguhnya menggambarkan hubungan intim antara tokoh Warok dan Gemblak yang mana keduanya adalah pria.
Kedua tarian ini juga menghadapi ancaman dari stigma buruk akan keragaman gender yang berkembang di Indonesia. Lengger Lanang kini mulai banyak dibawakan oleh perempuan untuk menghindari perlunya seseorang memainkan peran cross gender. Tokoh Gemblak juga kini sering diperankan oleh penari wanita agar persepsi negatif akan Reog Ponorogo tidak muncul.
Miris, sedih dan bingung juga marah. Bisa-bisa hanya karena (gelombang kebencian terhadap) LGBT, seni Lengger Lanang hilang, padahal LGBT kan juga manusia yang mempunyai hak untuk menentukan hidupnya.
— Agus Widodo, penari Lengger Lanang
Mengambil kembali budaya yang hilang
Apa persamaan yang dapat ditemukan dari gambaran-gambaran di atas?
Kolonialisme Barat-lah yang menghancurkan keragaman budaya gender di berbagai belahan dunia. Ketika Belanda menguasai Indonesia, mereka menyingkirkan konsep gender selain konsep 2 gender yang mereka akui. Hal yang sama dilakukan Inggris, Spanyol, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya pada wilayah jajahan mereka di Asia, Afrika, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Latin.
Contoh-contoh yang telah dibahas adalah budaya-budaya gender yang entah bagaimana mampu bertahan dari ratusan tahun persekusi di bawah pemerintah kolonial. Sejumlah konsep keragaman gender lainnya yang masih eksis di dunia modern adalah two spirit dari suku Indian selaku penduduk asli Amerika Utara dan sekrata dari Madagascar.
Jadi, keragaman identitas gender bukanlah produk propaganda Barat. Kebencian kita pada keragaman gender-lah yang merupakan warisan kolonialisme yang masih ajek terpelihara. Dan bagi yang masih mengutip agama sebagai sumber penolakan, bisa dibaca ulang bagaimana bangsa-bangsa Muslim seperti Mughal dan kini Pakistan serta Bangladesh bisa menerima adanya gender ke-3 dalam masyarakat mereka.
Lantas mengapa bangsa Barat sekarang yang paling vokal dalam menyuarakan keragaman gender atau yang mereka populerkan dengan istilah LGBTQ+? Perubahan sifat ini memiliki nama, yaitu woke culture.
Dari bahasa Inggris woke yang berarti terbangun, woke culture adalah ketika bangsa-bangsa Barat ‘terbangun’ dan tersadar akan kejahatan yang dilakukan leluhur mereka pada dunia selama masa kolonialisme. Jadi, sekarang bangsa Barat seakan berusaha menebus dosa dan penyesalan ini juga diarahkan pada konsep sosial lain seperti ras, warna kulit, dan agama.
Masalahnya, bangsa Barat dalam upayanya menghapus ketidakadilan sosial yang mereka sebarkan sendiri masih menggunakan mentalitas penjajah. Mereka menggurui negara-negara untuk dalam sekejap mengubah konsep sosial yang sudah tertanam selama ratusan tahun dan menggunakan perjuangan sosial mereka sebagai alat politik untuk menempatkan diri sebagai pelindung kemanusiaan.
Belum lagi, perjuangan untuk kesetaraan ini mendunia melalui media sosial yang kebanyakan merupakan produk teknologi Barat. Hal ini malah menguatkan anggapan bahwa keragaman gender adalah kultur Barat yang harus difilter untuk menjaga kemurnian budaya Timur.
Jadi, ketika kita bicara mengenai penerimaan akan keragaman identitas gender, ingatlah bahwa kita bukan sedang mengikuti budaya Barat atau tercemar oleh propaganda mereka, melainkan kita sedang berusaha mengembalikan budaya kita yang sempat hilang. Budaya apa itu? Budaya yang menerima dan menghormati keragaman, apa pun bentuknya.
Suka dengan artikel ini? Coba baca juga:
Jangan lupa tinggalkan claps (tepukan) dan bagikan bacaan ini ke orang-orang tercinta! Semoga senantiasa berbahagia!
Referensi
Cole-Schmidt, G. dan Vogel, M. (2023). Photo Essay: Defiance triumphs over danger as Mexico celebrates its revered ‘third gender’. https://www.latimes.com/delos/story/2023-11-27/celebration-mexico-muxes-third-gender
Davies, S. G. (2016). What we can learn from an Indonesian ethnicity that recognizes five genders. https://theconversation.com/what-we-can-learn-from-an-indonesian-ethnicity-that-recognizes-five-genders-60775
Hidayana, I. M. (2018). On gender diversity in Indonesia. https://theconversation.com/on-gender-diversity-in-indonesia-101087
Hunter, S. (2019). Hijras and the legacy of British colonial rule in India. https://blogs.lse.ac.uk/gender/2019/06/17/hijras-and-the-legacy-of-british-colonial-rule-in-india/
Lavenia, A. (2022). Jejak-jejak Keberagaman Gender dalam Sejarah Indonesia. https://www.cxomedia.id/general-knowledge/20220203132648-55-173567/jejak-jejak-keberagaman-gender-dalam-sejarah-indonesia
National Geographic. (2017). Third Gender: An Entrancing Look at Mexico’s Muxes | Short Film Showcase [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=S1ZvDRxZlb0
Patiag, V. (2019). In the Philippines they think about gender differently. We could too. https://www.theguardian.com/world/2019/mar/03/in-the-philippines-they-think-about-gender-differently-we-could-too
Stables, D. (2021). Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’. https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166
Washarti, R. (2016). LGBT, budaya Indonesia dan lintas gender. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160224_indonesia_bissu_gender
Wijetunge, M. (2023). Hijras or the Art of Subversion: When Marginalisation is Not Overlooked. https://igg-geo.org/?p=18453&lang=en