Pandangan Agama Buddha Mengenai LGBT, Dosa atau Bukan sih?
Menyelidiki pandangan dan keterbukaan Sang Buddha akan keragaman orientasi seksual
Click here to read the English version of this article!
Tuhan menciptakan Adam dan Hawa.
Kalimat ini selalu berada di garda terdepan dalam penolakan akan mereka dengan orientasi seksual yang berbeda atau yang dalam budaya modern dikenal dengan akronim LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). LGBT dicap melawan hukum Tuhan dan kodrat manusia.
Sentimen religi ini pun tak jarang diikuti oleh sorakan, “Tidak ada satu pun agama yang membenarkan LGBT.” Benarkah demikian? Bisa dicari melalui Mbah Google, agama Buddha nyatanya cenderung netral bahkan terbuka akan keberadaan LGBT.
Hah, kok bisa agama menoleransi penyimpangan? Bagaimana sebenarnya pandangan dan posisi agama Buddha terhadap LGBT? Bagaimana dengan kalangan Buddhis di Indonesia, apakah memiliki pandangan yang sama?
Memahami karma dalam Buddhisme
Sebelum membahas lebih dalam, perlu dipahami terlebih dahulu soal karma. Agama Buddha tidak mengenal istilah dosa seperti agama lain pada umumnya. Karma inilah yang menjadi patokan dalam menilai karakter seorang Buddhis. Jadi, apa itu karma?
Karma adalah akumulasi perbuatan baik dan buruk manusia yang menentukan nasib di masa depan atau bahkan kehidupan selanjutnya. Perlu diingat bahwa agama Buddha percaya akan reinkarnasi. Karma bisa dibilang sebagai prinsip bahwa semua perbuatan baik dan burukmu akan mendapatkan balasannya suatu saat nanti. Bagi penggemar fisika, silahkan saja menyebut karma sebagai F Aksi = - F Reaksi ala Hukum Newton III.
Karma baik tentunya akan berbuah baik dan karma buruk akan berbuah buruk. Lalu, apa yang menjadi tolak ukur suatu karma dikatakan baik atau buruk? Niat dan dampak dari suatu perbuatan. Niat untuk menyakiti dan perbuatan yang merugikan orang lain adalah karma buruk.
Agar mudah dipahami, kita ambil contoh seorang tentara yang sedang berperang untuk membela negaranya. Niat baik tentara tersebut untuk mempertahankan negaranya terhitung sebagai karma baik. Tetapi, pastilah si tentara ini harus membunuh tentara musuh dalam medan pertempuran. Tindakan membunuh ini tetap dihitung sebagai karma buruk. Kenapa? Musuh yang terbunuh ini pun memiliki keluarga di tanah airnya. Bayangkan saja duka yang keluarganya rasakan ketika mendengar sanak saudaranya terbunuh. Jadi, dengan membunuh musuhnya, tentara tersebut telah membawa penderitaan bagi orang lain.
Begitulah konsep karma yang dikenal Buddhisme. Tiap perbuatan, tidak peduli sekecil apapun, memiliki karmanya masing-masing. Lalu, bagaimana dengan LGBT?
Mari kita ambil contoh seorang lesbian, wanita yang mencintai sesama wanita. Jika wanita ini jatuh cinta pada wanita lain dan keduanya setuju untuk menjalin hubungan (pacaran misalnya) maka tidak ada karma buruk yang diciptakan. Keduanya saling menyukai atas dasar cinta tanpa ada paksaan. Tiada pihak yang dirugikan dalam hubungan ini. Akan tetapi, bila seorang lesbian memaksakan rasa cintanya atau bahkan gairah seksualnya pada seorang wanita yang tidak mencintainya balik maka barulah karma buruk tercipta.
Hal yang kamu lakukan dalam hidupmu. Kebaikan, kebajikan, kemurahan hati. Itulah yang membentuk seseorang, bukan asal atau warna kulit atau orientasi seksual. Belas kasih, kebaikan, dan kebajikan. Itulah yang sejatinya penting dalam hidup.
— Ajahn Brahm, Bhikkhu di Australia dan penulis “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”
Penyimpangan seksual menurut Buddhisme
Tidak kalah dengan Indonesia loh, agama Buddha juga punya Pancasila sendiri! Sesuai namanya, Pancasila ini berisikan 5 aturan yang dianggap sebagai landasan moral utama Buddhisme, yaitu:
- Menghindari pembunuhan makhluk hidup
- Mengindari mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya (alias mencuri)
- Menghindari melakukan penyimpangan seksual
- Menghindari mengatakan kebohongan
- Menghindari mengonsumsi makanan dan/atau minuman yang dapat melemahkan kesadaran (alias mabuk-mabukan)
Nah, itu ada aturan soal penyimpangan seksual! LGBT termasuk, kan?!
Kegiatan seksual dalam agama Buddha dikatakan menyimpang apabila dilakukan dengan 5 objek berikut:
- Saudara kandung (keluarga)
- Anak di bawah umur
- Anak di bawah perwalian (masih ikut orang tua dan belum mandiri secara finansial)
- Suami atau istri orang lain
- Bhikkhu/Bhikkhuni, Samanera/Samaneri (calon Bhikkhu/Bhikkhuni), dan orang-orang yang sedang menjalankan sila (puasa)
Lebih lanjut, kegiatan seksual dikatakan menyimpang apabila penipuan, pemaksaan, dan manipulasi digunakan untuk mendorong seseorang melakukan hubungan seks. Bentuk yang paling dikenal adalah pemerkosaan. Aturan ini pun berlaku dalam hubungan yang telah diikat janji pernikahan. Artinya, secara emosional, segala hubungan seks yang tidak konsensual, dimana ada satu pihak yang tidak setuju atau terpaksa, dianggap penyimpangan seksual dalam Buddhisme. Terkait orientasi seksual, tidak diatur dan dilarang.
Aku rasa itu urusan pribadi … Selama aman, oke! Dan saling setuju sepenuhnya, oke!
— Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 dan pemimpin spiritual tertinggi di Buddhisme Tibet
Pernikahan tidak wajib punya anak
Doktrin yang sudah menjadi pengetahuan umum dari agama Samawi atau Abrahamik adalah menikah bertujuan salah satunya untuk memiliki keturunan. Hal yang sama tidak ada dalam agama Buddha. Mengapa?
Bhikkhu Uttamo Mahathera pernah disodorkan pertanyaan demikian:
Ibaratkan pohon, bagaimana kita merasakan manisnya perkawinan tanpa anak? Kan, (tidak punya anak) ibarat pohon tanpa buah, kita tidak bisa merasakan manisnya buah itu.
Jawaban Bhikkhu Uttamo cukup simple:
Jangan lupa, ada pohon Bonsai. Pohon Bonsai indah bentuknya tapi tidak perlu ada buahnya.
Bhikkhu Uttamo memaparkan bahwa tujuan pernikahan dalam agama Buddha adalah mencari teman hidup bukan sekadar pasangan hidup. Tidak adanya kewajiban untuk memiliki keturunan inilah yang kemudian memungkinkan pasangan hidup untuk tidak berasal dari jenis kelamin yang berbeda.
Hidup sebagai manusia tidak cukup berkembang biak tetapi harus berkembang baik.
— Bhikkhu Dhirapunno Thera
LGBT dalam kisah-kisah Buddhis
Penolakan di kalangan Buddhis akan orientasi seksual yang berbeda umumnya berasal dari istilah Ubhatobyanjanaka dan Pandaka. Apa itu? Ubhatobyanjanaka mengacu pada orang dengan 2 jenis kelamin atau yang secara biologis disebut hermafrodit, sementara Pandaka mengacu pada 5 jenis kalangan:
- Orang yang memenuhi gairahnya melalui seks oral
- Orang yang memenuhi gairahnya dengan melihat orang lain berhubungan seks
- Orang yang terangsang sejajar dengan fase bulan (di dunia modern bisa jadi mengacu pada orang yang gemar melakukan ritual seks pada waktu atau fenomena tertentu)
- Orang yang sudah dikebiri
- Orang yang jenis kelaminnya tidak jelas
Orang yang masuk dalam kedua kategori tersebut oleh Sang Buddha tidak diperkenankan untuk masuk dalam badan monastik (disebut Sangha) Bhikkhu dan Bhikkhuni. Apabila sudah terlanjur masuk maka akan dilepaskan secara terhormat. Apakah ini artinya Sang Buddha tidak menoleransi perbedaan orientasi seksual? Kok sikapnya berkontradiksi dengan ajaran sendiri?
Ada 2 hal yang perlu ditekankan:
- Larangan ini hanya berlaku bagi mereka yang ingin menjadi anggota Sangha sehingga keragaman orientasi seksual dalam komunitas masyarakat diperkenankan.
- Larangan ini lebih mengacu pada gairah seksual yang berlebihan daripada orientasi seksual. Pada masa Sang Buddha, kedua kelompok tersebut dikenal memiliki gairah seksual berlebihan. Memasuki Sangha artinya hidup selibat (tidak menikah). Yang menjadi kekhawatiran Sang Buddha adalah apabila kelompok ini masuk dalam Sangha maka akan mengganggu anggota lain yang juga berlatih menjauhi keterikatan akan nafsu seksual.
Poin ke-2 sendiri masih menjadi perdebatan juga di kalangan Buddhis, mengingat istilah Pandaka kini kuat diasosiasikan dengan istilah banci. Bahkan di negara Buddhis seperti Thailand yang reputasi penerimaannya akan LGBT telah dikenal dunia, perdebatan antar anggota Sangha masih terjadi akan kepastian aturan ini.
Akan tetapi, ada satu kisah inspiratif yang menjadi ikon dalam menggambarkan penerimaan Sang Buddha akan perbedaan orientasi seksual, yaitu kisah Soreyya.
Soreyya adalah anak seorang yang kaya dari Kota Soreyya (yap, nama tokoh dan kota asalnya memang sama). Suatu hari, Soreyya ditemani para pelayannya sedang menuju tempat pemandian. Dalam perjalanan, Soreyya melihat Bhikkhu Mahakaccayana yang sedang membenahi jubahnya dan terpesona dengan ketampanan Bhikkhu. Ia lantas berpikir, “Andai saja Bhikkhu tersebut adalah pasangan hidupku sehingga aku memiliki pasangan hidup yang demikian rupawan.” Seketika, tubuh Soreyya berubah menjadi tubuh perempuan. Kaget dan malu, Soreyya pun kabur ke Kota Taxila.
Di Taxila, ada seorang pemuda kaya yang jatuh cinta pada Soreyya dan kemudian menikahinya. Pernikahan tersebut dikaruniai 2 anak lelaki. Soreyya sendiri juga memiliki 2 anak lelaki dari pernikahan sebelumnya ketika ia adalah seorang pria. Suatu hari, teman lama Soreyya berkunjung ke Taxila. Soreyya yang mendengar hal tersebut mengundang teman lamanya ke rumahnya. Tentu saja teman Soreyya tidak mengenali dirinya. Soreyya lantas membongkar identitas aslinya dan menceritakan apa yang dialaminya. Temannya lalu menyarankan agar Soreyya meminta maaf pada Bhikkhu Mahakaccayana. Diundanglah sang Bhikkhu ke rumah Soreyya. Sesudah mengakui kesalahannya, Bhikkhu Mahakaccayana mengampuni Soreyya dan saat itu juga Soreyya berubah kembali menjadi laki-laki.
Atas kejadian ini, Soreyya memutuskan untuk meninggalkan kehidupan rumah tangganya dan menjadi Bhikkhu. Ia diterima dalam Sangha. Setelah melalui latihan dan perenungan, Soreyya pun akhirnya mencapai arahat. Bagi pembaca awam, arahat adalah tujuan spiritual tertinggi dalam ajaran Buddha, yaitu ketika seseorang mencapai penerangan dan terbebas dari siklus reinkarnasi.
Dari kisah Soreyya ini ada beberapa poin yang sekiranya bisa dipetik:
- Bila mengikuti istilah modern, Soreyya adalah seorang biseksual dan juga (secara magis) transgender. Ia mencintai laki-laki dan perempuan.
- Kesalahan yang ia lakukan hingga berganti jenis kelamin bukanlah karena merupakan seorang biseksual, melainkan karena ia memiliki nafsu seksual pada seorang Bhikkhu. Bisa dilihat kembali 5 objek pelanggaran kesusilaan yang telah dipaparkan di atas!
- Sang Buddha menerima Soreyya dalam Sangha meski memiliki orientasi seksual berbeda. Lalu, bagaimana aturan terkait Pandaka dan Ubhatobyanjanaka? Ketika bergabung menjadi Bhikkhu, Soreyya memiliki kelamin yang jelas sebagai laki-laki, terlepas dari pengalamannya berganti kelamin. Aturan Sang Buddha melarang orang dengan jenis kelamin ganda dan tidak jelas. Bagi yang masih bingung, jenis kelamin mengacu pada tubuh biologis, sedangkan orientasi seksual adalah preferensi, sama halnya seperti memilih makanan.
Pandangan kalangan Buddhis di Indonesia
Terlepas dari ajaran Buddhisme itu sendiri, Sang Buddha selalu berpesan bahwa ajaran Buddha harus dipaparkan menurut budaya dan bahasa setempat. Sang Buddha juga menekankan bahwa ketaatan pada negara adalah hal yang wajib. Hal ini membuat agama Buddha cenderung fleksibel mengikuti keinginan masyarakat di mana agama Buddha berada.
Di Indonesia, persepsi masyarakat akan LGBT jelas mengikuti aturan dari agama-agama Abhrahamik yang mutlak adalah mayoritas. Dengan hanya 2,02 juta umat atau setara 0,73% dari populasi Indonesia, agama Buddha pun mengikuti hukum yang berlaku demi menjaga kelangsungan ajaran dari serangan sosial maupun politik. Bahkan, pernyataan sejumlah pemuka agama seperti Pandita Suhadi Sendjaja dari sekte Nichiren Shoshu (sekte Buddha dari Jepang) yang juga adalah seorang tokoh Wakil Umat Buddha Indonesia (WALUBI) menentang keberadaan LGBT.
Namun, pada sekte-sekte besar yang masih memegang teguh keaslian ajaran Sang Buddha seperti Theravada, penerimaan akan LGBT di Indonesia tetap dilakukan meski tidak begitu dibahas dan diungkap secara umum. Salah satu contoh yang dikenal oleh masyarakat luas adalah model Yumi Kwandy yang seorang pansexual. Yap, latar belakang Yumi adalah seorang Buddhis. Jadi, jangan heran ketika kalian menonton podcast dan mendengar ungkapan Yumi bahwa pemuka agamanya baik-baik saja dengan orientasi seksualnya.
Akan tetapi, untuk hal-hal lain yang lebih bersifat legal seperti pengesahan pernikahan LGBT memang masih belum bisa diberikan oleh Sangha Indonesia. Menanggapi dilema ini, Bhikkhu Medhacitto (saat masih berstatus Samanera) berpesan bahwa umat Buddha di Indonesia setidaknya berkewajiban untuk tidak menghakimi dan mendiskriminasi LGBT, sebab orientasi seksual adalah suatu hal yang tidak dapat diubah dan dalam pandangan agama Buddha yang sejati bukanlah hal yang salah.
Bentuk jalan tengah semacam ini bukanlah hal baru bagi kalangan Buddhis Indonesia. Pasca 1965, agama Buddha menyesuaikan hukum Orde Baru yang mewajibkan adanya sosok Tuhan yang disembah sebagai persyaratan suatu agama. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita selaku pelopor Buddhisme di Indonesia kemudian menawarkan Sang Hyang Adi-Buddha yang merujuk pada Buddha pertama sebagai versi Ketuhanan di Buddhisme. Hal ini tentu tidak tanpa polemik dari kalangan umat Buddha Indonesia bahkan juga mendapat protes dari kalangan Buddhis negara lain. Pasalnya, agama Buddha tidak mengenal satu sosok Tuhan yang terpesonifikasi layaknya agama Abrahamik.
Lantas bagaimana kawan-kawan LGBT, terutama yang beragama Buddha di Indonesia perlu menghadapi situasi abu-abu ini?
Ajahn Tri Dao dari Thailand berpesan bahwa keselamatan diri adalah utama. Boleh berjuang untuk pengakuan dan kesetaraan, tapi harus tahu waktu dan tempat. Beliau juga berpesan bahwa Buddhisme mengajarkan kita untuk selalu melihat ke dalam dan untuk menyadari penderitaan yang sedang kita alami. Spesifik mengenai LGBT, Ajahn Tri Dao berpendapat bahwa mungkin saja ada hutang karma buruk yang belum terbayar sehingga sekarang kawan-kawan LGBT terlahir dengan orientasi seksual yang berbeda di negara yang tidak dapat menoleransi perbedaan ini.
Dan untuk meluruskan, menjadi LGBT tidak selalu adalah buah karma buruk. Karma mengambil wujud dalam jumlah yang tak terhingga, tidak pernah sama. Tidak percaya? Coba renungkan kutipan dari ceramah yang dilakukan Ajahn Brahm berikut ketika membahas orientasi seksual:
Semua orang berbeda, tidak lebih baik, tidak lebih buruk, tidak sama. Hanya sepenuhnya unik dan indah dalam keunikan itu. Hanya menambah keindahan tekstur dunia. Saya telah tinggal di dalam hutan di sebagian besar waktu kehidupan saya karena kami adalah pertapa hutan. Saya tidak pernah melihat 2 pohon yang benar-benar sama persis.
Jadi, teruntuk teman-teman LGBT, jangan membalas lingkungan yang telah menekanmu dengan marah dan benci, sebab kedua hal tersebut malah akan semakin menjebakmu dalam penderitaan. Perbanyak saja kebajikan. Tiada yang tahu, mungkin kebajikan yang kamu tanam hari ini dapat berbuah cepat tanpa harus menunggu kelahiran berikutnya. Contoh realistisnya, bisa saja kebajikanmu pada seseorang kelak membuka jalan bagimu untuk menjadi ekspatriat di negara yang menerima keragaman orientasi seksual dan kamu pun bisa bebas mengekspresikan jati dirimu. Bukan tidak mungkin, kan?
Catatan Kaki
Bagi sebagian orang, isu LGBT memang sebenarnya lebih tepat berada di bawah payung isu kemanusiaan. Penulis sendiri tidak begitu setuju untuk membawa-bawa agama dalam setiap diskusi kemanusiaan, apalagi untuk isu yang masih sensitif sifatnya. Akan tetapi, di negara yang sangat religius dan konservatif seperti Indonesia, terkadang embel-embel agama perlu dibawa untuk membuat khalayak umum setidaknya mau mendengarkan dulu pendapat yang berbeda.
Tulisan ini adalah hasil dari berbagai pemaparan ajaran Buddha yang saya dengar. Silahkan diresapi dan direnungkan masing-masing. Apabila tidak suka, jadikan saja angin lalu. Kalau suka dan menerima, semoga bisa menjadi dorongan untuk makin kepo dengan ajaran Sang Buddha dan mulailah memanusiakan kawan-kawan kita dengan orientasi seksual yang berbeda. Semoga semua makhluk hidup berbahagia!
Suka dengan artikel ini? Coba baca juga:
Jangan lupa tinggalkan claps (tepukan) dan bagikan bacaan ini ke orang-orang tercinta! Semoga senantiasa berbahagia!
Referensi
Ajahn Tri Dao. (2024, 10 April). Buddhism view on lgbtqia+ [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=ai-eQyhckLo&t=419s
Buddhist Society of Western Australia. (2012, 11 Maret). Gay Marriage, Why Not? | by Ajahn Brahm [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=GOPcbFhCEj0
Dhamma Metta Jember. (2020, 1 Desember). Agama Buddha dan Seksualitas || Sāmaṇera Medhācitto [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=iO-AIvQ2wvM&list=LL&index=240&t=1816s
Dhammika, S. (1999). Good Question, Good Answer. Yin-Shun Foundation.
Indrawan, R. (2016). Walubi: LGBT tidak Dibenarkan dalam Ajaran Budha. https://news.republika.co.id/berita/o2qib7365/walubi-lgbt-tidak-dibenarkan-dalam-ajaran-budha
Kalyanamitta Channel. (2021, 13 Mei). TANYAJAWAB || PASANGAN HIDUP SEKALIGUS TEMAN HIDUP || Y.M BHIKKHU UTTAMO MAHATHERA || CERAMAH DHAMMA [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=iSj-H_jhOjY&list=LL&index=4
Larry King. (2014, 27 Februari). The Dalai Lama Weighs In On Same Sex Marriage | Dalai Lama Interview | Larry King Now — Ora TV [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=pJVvVSr8E2M
Ranasinghe, K. (2023). A transgender and LGBTIQ+ icon in Theravada Buddhist history — Soreyya Arahantaka Bhikkhu (Enlightened Monk). https://discourse.suttacentral.net/t/a-transgender-and-lgbtiq-icon-in-theravada-buddhist-history-soreyya-arahantaka-bhikkhu-enlightened-monk/31681
Singgih, V. (2024). Bagaimana asal-usul ajaran Buddha di Indonesia dan mengapa timbul perpecahan setelah tragedi 1965? https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0vvn4pyj79o
VICE Asia. (2021, 8 Juli). Why Queer Monks in Thailand Have to Hide Their Identities | The Rainbow Guide To Life [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=bcrFn3nDDKU