Privilese Si Pembaca Buku

Ikram Kiranawidya
Komunitas Blogger M
6 min readSep 24, 2020
Photo by The Lazy Artist Gallery from Pexels

Sebagai seorang pembaca yang cukup aktif dalam komunitas membaca, akhir-akhir ini saya sering mendapatkan perdebatan dengan topik pembajakan buku. Berlomba-lomba para pembaca mengeluarkan opini mereka dengan segala pro-kontra yang ada.

Saya melihat beberapa pembaca melontarkan pertanyaan kenapa sih yang dibahas ini terus? yang membuat saya menyadari bahwa hanya segelintir orang yang dapat menarik kesimpulan kalau pembajakan buku memiliki hubungan erat dengan privilese pembaca buku.

Sebelum saya membahas privilese apa saja yang harus kita sadari dan pergunakan dengan baik, saya ingin menjelaskan arti kata tersebut.

Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, privilese adalah hak istimewa. Hak istimewa yang dimaksud adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak dimiliki oleh orang lain, yang disebabkan oleh perbedaan akses mendapatkan barang dan layanan.

Saya percaya bahwa setiap individu memiliki privilese masing-masing. Sekecil dan sebesar apapun privilese kita, kita wajib menyadari dan mengakui hal tersebut, supaya kita dapat menggunakan privilese kita dengan baik dan meminimalisir power abuse atau kecurangan-kecurangan lainnya.

Begitu pun dalam komunitas membaca. Disadari atau tidak, setiap pembaca memiliki privilese yang berbeda dan mungkin bisa berubah seiring berjalannya waktu, oleh karena itu, mari kita melakukan refleksi sejenak.

Mendapatkan akses terhadap buku adalah sebuah privilese

Photo by Karolina Grabowska from Pexels

Tidak semua orang dapat membaca, memahami bacaan serta mendapatkan akses terhadap buku bacaan. Pembangunan taman baca dan perpustakaan umum yang tidak merata menjadi penyebab utama sulitnya mendapatkan akses buku untuk sebagian masyarakat.

Untuk topik ini, saya kira saya tidak perlu membahas terlalu dalam, karena saya yakin sudah banyak pembaca yang paham. Hal ini terlihat dari maraknya organisasi sosial yang menyelenggarakan sumbangan buku untuk masyarakat yang tinggal di daerah minim akses terhadap buku.

Ketika berbicara akses, pikiran kita langsung tertuju ke masyarakat di daerah yang jauh dari ibukota. Padahal kenyataannya, tidak perlu jauh melihat ke seberang pulau untuk melihat contoh nyata dari isu ini.

“Tapi tetanggaku punya smartphone, kok! Masa dia ngga punya akses?”

Mari kita kembali bertanya terhadap diri sendiri; jika akses sudah tersedia, apa dia mampu mendapatkan buku tersebut?

Membeli buku adalah sebuah privilese

Photo by cottonbro from Pexels

Berhubungan dengan poin saya di atas, jika akses sudah tersedia, apa seseorang mampu mendapatkan buku tersebut? Apa ia mampu membaca buku tersebut tanpa kesulitan?

Pagi tadi (Rabu, 23 September 2020), seseorang yang berlindung di balik akun @literarybase (Twitter) melemparkan opini yang membuat saya menggelengkan kepala. Menurutnya membeli buku bukan lah suatu privilese, melainkan termasuk dari skala prioritas, dan ia memprioritaskan buku ketimbang makanan dan pakaian.

Tentunya hal ini membuat saya cukup geram (dan alasan saya menulis artikel ini) sebab kalimat tersebut seolah-olah berkata bahwa buku adalah sesuatu yang bisa diakses oleh semua orang dari segala kalangan dan merupakan kebutuhan primer.

Seringkali terdapat candaan lebih suka membeli daripada membaca buku dan dompet gue tipis, kenapa harga buku mahal banget? di antara pembaca buku yang saya tahu terdapat curhatan dari kondisi nyata masing-masing individu. Membaca dan membeli buku adalah dua aktivitas berbeda yang harus disikapi dengan mindset yang berbeda pula.

Seseorang dapat membaca buku, namun belum tentu ia mampu membeli buku. Seseorang juga dapat membeli buku, tapi belum tentu ia akan membaca buku tersebut. Ditambah lagi, untuk beberapa orang, membeli barang adalah salah satu stress reliever yang dapat membuat mereka bahagia.

Bukan rahasia umum (namun sesuatu yang sulit diakui oleh banyak pembaca buku) bahwa membeli buku adalah sebuah privilese. Buku adalah barang yang cukup mahal dan menjadi suatu kemewahan untuk beberapa orang.

Ketika berbicara kemampuan seseorang dalam membeli buku, kita diwajibkan untuk menutup mata dari harta benda serta penghasilan seseorang.

Saya cukup gemas ketika melihat seseorang beropini bahwa jika A dapat membeli suatu barang, pastinya ia dapat membeli buku — padahal bukan itu maksud dari privilese membeli buku. Betul adanya bahwa membeli buku tergantung dari prioritas kebutuhan masing-masing, namun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan primer atau sekunder mereka, terlepas dari apakah mereka sudah memiliki penghasilan atau belum.

Sebagian orang mungkin dapat memenuhi kebutuhan primer atau sekunder mereka, namun itu juga dengan kondisi yang pas-pasan. Tentunya banyak pembaca yang akan tetap meletakan sandang, pangan, papan di atas kebutuhan lainnya, termasuk membeli buku.

Begitu pula untuk para pembaca yang masih duduk dibangku sekolah atau kuliah. Seringkali saya mendengar perkataan, gawainya aja keren gitu, kenapa beli buku ngga bisa?

Padahal, untuk anak-anak dan remaja yang masih bersekolah, sangat jarang mereka dapat membeli gawai dan keperluan sehari-hari mereka sendiri — kebanyakan dari mereka masih dinafkahi oleh keluarga atau orangtua masing-masing. Jika mereka terpaksa harus bekerja pun masih ada kebutuhan lain yang harus mereka penuhi.

Sehingga, perlu digaris bawahi kembali bahwa membeli buku adalah sebuah privilese apabila seseorang dapat membeli buku tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Bahasa gaulnya, beli buku kayak beli cireng — setiap hari, nggak perlu mikir atau nabung.

Mengoleksi buku adalah sebuah privilese

Photo by cottonbro from Pexels

Berkaitan dengan pernyataan saya diatas, membaca, membeli, serta mengoleksi buku adalah tiga aktivitas berbeda yang harus disikapi dengan mindset yang berbeda.

Sama halnya dengan membeli buku, mengoleksi buku adalah suatu privilese yang belum dapat diakui di komunitas pembaca. Pasalnya, terdapat stigma bahwa seseorang baru dibilang pembaca jika mampu membeli dan mengoleksi buku, plus point jika buku-buku tersebut special edition atau collector’s edition. Stigma ini sudah ada sejak lama, terlihat dari bagaimana media menampilkan seorang pembaca dengan perpustakaan pribadinya.

Jika kita melihat gambar-gambar yang berkaitan dengan kegiatan membaca, pastinya tumpukan buku akan muncul menjadi background atau gimmick. Munculnya akun-akun bookish creator (baik booktuber, book blogger, atau bookstagram) yang kerap kali mengunggah foto rak buku mereka pun mendukung keberadaan stigma ini. Meskipun hal ini bukan intensi mereka, tetapi pesan yang ditangkap cukup jelas; seseorang baru bisa dikatakan pembaca jika memiliki banyak buku.

Disini saya tidak menyalahkan mereka yang dapat mengoleksi atau seringkali mengunggah koleksi mereka, pada akhirnya orang lain yang akan mengambil makna dan kesimpulan sendiri berdasarkan mindset yang mereka miliki.

Saya ingin mengajak teman-teman berefleksi kembali tujuan hobi membaca ini. Apa tujuannya untuk mengoleksi juga? Jika iya, tidak ada salahnya, tetap lanjutkan jika itu yang membuat kamu bahagia. Jika tidak, tidak ada salahnya juga, sebab mengoleksi buku bukanlah kewajiban.

Seiring berjalannya waktu, mulai bermunculan perpustakaan baik digital maupun tradisional. Tentunya hal ini dengan perlahan mampu menghilangkan stigma tentang mengoleksi buku; bahwa kita dapat menikmati buku tanpa memilikinya.

“Tapi, kenapa membeli dan mengoleksi buku dua kegiatan berbeda?”

Tentu saja berbeda. Seseorang mampu membeli buku, namun mereka belum tentu dapat mengoleksinya. Bisa saja suatu saat nanti, mereka harus menjual buku-buku mereka (seperti yang mulai terjadi selama masa pandemi). Atau mereka memperlakukan sistem one in, one out. Kedua kegiatan ini serupa tapi tak sama; berkaitan namun berbeda.

Apakah salah memiliki privilese?

Photo by freestocks.org from Pexels

Tentu saja tidak. Hak istimewa yang dimiliki seorang pembaca membantu mereka mendapatkan kenyamanan dan kemudahan untuk membaca. Selama kita mengetahui privilese kita dan tidak menyalahgunakannya, saya rasa tidak ada yang salah dengan memiliki privilese.

Kesimpulan

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan satu atau dua pihak, melainkan untuk refleksi diri agar terwujud suatu lingkup pembaca buku yang sehat. Untuk banyak orang termasuk saya, membaca adalah pelarian dan berada di komunitas membaca adalah safe place yang saya tidak ingin asosiasikan dengan pengalaman dan perasaan negatif.

Dengan tulisan ini, saya juga berharap teman-teman dapat lebih mindful terhadap beberapa topik yang berkaitan dengan akses membaca. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa topik akan terus menjadi perdebatan, namun setidaknya kita dapat bereaksi dengan baik.

Begitu juga untuk teman-teman yang mungkin masih berpikir bahwa privilese ini adalah suatu kewajiban. Kewajibanmu menjadi pembaca adalah membaca, bukan membebani diri sendiri atas peer pressure yang mungkin dirasakan.

Membaca adalah sebuah hobi yang menyenangkan, oleh karena itu, mari kita buat ruang yang aman untuk para pembaca.

--

--