Hujan Pertama di Bulan November

kirani adya
2 min readNov 29, 2022

Semarang Ketika Itu

Rintik mulai membumi. Ya, hujan pertama di bulan November. Anak-anak di sekolah kami kegirangan, antusias menyambut bagaimana Tuhan beri kami hujan sebagai nikmatnya. Tak selayaknya anak-anak lain, aku tak benar-benar bahagia. Barangkali itu karena kamu yang rampas seluruh afeksiku sore itu- kalahkan takjubku pada ambu petrichor yang menguar.

Angin datang dari bumantara, terpa wajah elok itu bersama atmosfernya yang tikam insan di bumi sampai-sampai mati kedinginan. Ini memang tak ada korelasinya dengan hujan. Tetapi, percayalah, seumpama Tuhan tak turunkan hujan pertama di bulan November, aku tak bisa kenalimu. Aku tak bisa jadikan kamu memori paling melekat dalam ingatan-ingatanku yang tak baka.

Kutemukan kamu kala aku pandangi nayanika milikmu. Bagai tenggelam di samudra, ia renggut seluruh jiwaku. Dan aku, telah arungi segala pemikiran — pemikiranku yang tidak bertuan. Hingga saat itu, kuputuskan untuk biarkan diriku hanyut dalam hal-hal mengenai dirimu.

Tetapi, sekarang, lagi dan lagi. Anganku meluruh setelah kuketahui bahwa kamu juga taruh harap pada perempuan lain. Yah…. Itu memang tak mengurangi sedikitpun perasaanku padamu. Hanya saja, kalbuku berkata ada sedikit rasa tidak rela yang mencuat; lukai segala hal di relung hatiku, sementara ia sudah tak asing lagi dengan namamu.

Aku mengerti, sangat sangat mengerti, bahwa kamu tak mungkin melihatku sebagaimana aku melihatmu. Aku mengerti bahwa perasaanmu memang sangat sukar untuk kupahami. Dan aku mengerti, kamu akan selalu menganggapku sebagai orang lain dengan perasaan lebih terhadapmu. Itu saja.

Tetapi, jika suatu hari nanti kamu membuka hatimu dan bersedia memulai cinta yang baru, tolong toleh ke belakang dan lihat diriku. Barangkali di situ aku masih sayangimu sampai nanti-nanti.

ditulis oleh kirani.

--

--