and i surrender

ninakafei
5 min readNov 26, 2022

--

Ketika Apo membukakan pintu dan muncul dengan sebuah kaos berwarna biru cerah dan celana pendek putih disana, Mile hampir saja terbawa oleh suasana dan menyuarakan pujian dengan suara lantang, tapi ia cepat cepat menyadarkan diri. Lalu memanggil Apo dengan berbagai pujian di dalam hati diam diam.

“Ini.” Dia menyodorkan makanan di tangan kanannya dengan senyum kecil. Sedikit kaku karena ia sedang sangat kedinginan.

Apo menerimanya dan ia menghela nafas panjang. Senyum Mile perlahan menghilang. Si aktor tidak terlihat begitu bahagia dengan apa yang ia bawa.

“Ayo masuk dulu.” Apo membukakan pintu lebar lebar. “Kamu kedinginan.”

Mile buru buru menggelengkan kepala. Sedikit panik. “Nggak usah, Apo. Saya langsung ke bawah aja.”

Tapi Apo tidak menjawab. Ekspresi wajahnya yang terlihat sedikit lelah juga tidak berubah. Kini ia menatap Mile tepat di mata. “Masuk.” Lalu pergi ke dalam sebelum Mile sempat memberinya jawaban lain.

Jadi mau tidak mau Mile mengikutinya ke dalam.

Heater di sofa tamu menyala. Ia bisa merasakan tubuhnya perlahan menghangat dan tanpa sadar menghembuskan nafas panjang sambil mendudukkan diri di samping Apo yang sedang sibuk membuka lalu memakan crab omelette nya dalam diam.

Tadi saat bercanda menulis tweet tentang betapa ia akan senang jika Apo memintanya masuk ke dalam apartemennya ia sama sekali tidak membayangkan ini yang akan ia hadapi; Apo mendiamkannya.

Mile yakin lelaki yang lebih muda masih kesal atas ucapannya tadi pagi setelah apa yg terjadi di antara mereka beberapa minggu terakhir, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. He chose to do this.

“Kenapa repot repot?” Di tengah keheningan, Apo tiba tiba bertanya. Matanya tidak menatap Mile sama sekali. Sibuk dengan makanannya diatas meja.

Mile memberinya satu senyuman lembut meski ia sadar betul Apo tidak melihat itu.

“Tadi saya liat tweet kamu. Saya tanya pak bible kamu suruh dia beli apa ngga, dia bilang ngga. Jadi saya beliin aja. Mumpung lagi ada di luar.”

Apo kini hanya memainkan makanan di piringnya, tidak terlihat ingin menyelesaikan itu.

“Ya maksud aku, kenapa? Aku ngga nyuruh kamu.” Dia masih tidak mau menatap yang lebih tua. “Tempatnya jauh, antri panjang, kamu juga bukan pacar aku.”

Saat Mile kelihatan ingin mengatakan sesuatu, Apo buru buru menambahkan sambil mengarahkan garpu padanya. “I know. Kamu bodyguard aku.” Dia memutar bola matanya. “But i didn’t ask you did i? Terus ngapain jauh jauh kesana, ngantri lama sampe kedinginan. Aku yakin ini bukan bagian dari pekerjaan kamu.

Mile mendadak tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia terdiam lama. Memandangi Apo yang sudah tidak menyuapkan makanan lagi ke mulutnya sejak beberapa menit lalu. Dia mengerti kemana pembicaraan ini akan berujung.

“I just wanted to.

Dan sebelum ia bahkan berpikir jernih, mulutnya sudah mendahului. Mile merutuki diri sendiri dalam hati. Tapi Apo perlahan mendongak dan menatapnya lama.

“Pick a struggle, Mile. Jangan bikin aku bingung.”

Untuk pertama kalinya sejak membukakan pintu beberapa saat lalu, Apo terlihat gugup. Dan Mile tidak suka.

“Saya ngga ngerti kamu lagi ngomongin apa.”

“Kamu ngerti.” Apo merengut. Kelihatan kesal. Lalu dia meletakkan sendok dan garpu yang sejak tadi hanya ia mainkan di tangannya di atas piring dan menatapnya lagi.

“Kamu boleh bilang ke aku kalo kamu ngga nyaman. Bilang aja kalo aku cium pipi kamu beberapa hari lalu itu kelewatan. So i know what to do. Jangan senyumin aku doang, abis itu bikin aku baper waktu aku chat, besoknya malah ngingetin lagi kalo ini semua cuma pekerjaan kamu. Akunya bingung.”

Kedua alisnya menyatu, lucu, Mile membatain. Kalo tidak ingat mereka sedang membicarakan sesuatu yg serius, dia pasti sudah tertawa.

“Maafin saya.” Dia berbisik. Apo menghela nafas panjang. Masih tidak menatapnya.

“Kalo ngga suka aku bilang aja biar aku ngga ngarep. Biar aku bisa jaga jarak.”

Lalu disana, setelah mendengar kalimat itu dan menatap Apo yang kini sedang menunduk sambil memainkan ujung jemarinya sendiri, Mile merasakan dirinya sendiri kesulitan berpikir jernih.

Ia berpikir tentang apa saja yang akan orang orang katakan tentang Apo jika ia mengakui perasaannya sekarang dan mereka menjadi sepasang kekasih. Bagaimana tanggapan media kalau tahu Apo Nattawin, aktor dan sutradara dari keluarga kaya yang mereka sayangi memilih seseorang sepertinya sebagai pasangan. Ia membayangkan bagaimana penggemar Apo akan bereaksi jika mereka tahu Mile bukan seorang pebisnis atau model ternama seperti yang mereka kira dan hanya bekerja sebagai seorang bodyguard, mereka akan menganggap Apo bodoh, gampangan, seleranya rendahan.

Mile bisa hidup dengan semua itu, tapi ia tidak mau Apo mengalami barang satu saja dari semua yang ia bayangkan.

Namun kemudian ia memandangi Apo sekarang; jemarinya yang bergerak gugup dan kepalanya yang tertunduk takut. Sedang khawatir apakah yang sudah ia katakan dan lakukan membuat Mile tidak nyaman, sedang berpikir apa dia sudah kelewatan, menyalahkan dirinya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa Mile diam diam menyimpan perasaan yang sama.

Mile terbiasa melihat Apo di bawah spotlight. Cantik dan percaya diri. Melihatnya begini rasanya salah.

“Saya juga suka Apo.”

Maka ia lakukan saja apa yang menurutnya bisa membuat Apo menegakkan tubuh dan tahu bahwa dia memang se-indah itu; bahwa Mile menyukainya.

“Saya cuma… nggak tahu harus gimana. Kamu-”

-diluar jangkauan saya. Kamu terlalu sempurna buat saya. Kamu bisa kehilangan banyak hal berharga kalo kamu sama saya. Saya nggak mau denger satu orang pun bicara buruk tentang kamu karena saya.

“-kamu klien saya.”

Kini giliran Mile yang mengalihkan pandangan ke arah lain. Terlalu gugup untuk menatap balik Apo yang kini sedang memandanginya tanpa berkedip.

“Terus kenapa kalo aku klien kamu dan kamu bodyguard aku?” Mile menatap Apo lagi. Lalu menyesal detik itu juga karena yang lebih muda sedang menatapnya dengan kedua mata sedikit berair. Mirip emoji yang sering Apo gunakan di tweet nya.

“Saya cuma ngga mau reputasi kamu rusak.”

“Aku ngga peduli-”

“Saya yang peduli.”

“Terus gimana aku harus pecat kamu dulu gitu? Biar kamunya mau jadi pacar aku beneran?” Mile berusaha mengabaikan fakta bahwa Apo baru saja mengindikasikan bahwa ia ingin jadi pacar Mile karena ekspresi wajah dan kata katanya barusan membuatnya tertawa.

“Saya butuh pekerjaan, Apo.” Dia memberitahu sambil tersenyum. Tangannya bergerak mengusap rambut yang lebih muda dan Apo tersenyum untuk pertama kalinya malam itu. Kedua pipinya bersemu manis. Mile hampir merasakan sesak di dada.

Fuck it. Sudah terlanjur bilang suka. Better keep going now.

“Jokes aside, saya suka Apo beneran. Saya mau jadi pacar kamu. But can we take things slowly?” senyum Apo perlahan mengembang. Mile menarik nafas dalam dalam. He might regret this later. Tapi wajah Apo yang berseri membuatnya tersenyum juga. He can deal with the insecurities tomorrow.

“We can.” Apo menggeser duduknya. Kini menempel dengan Mile yang menatapnya sambil terkekeh.

“Kamu masih kedinginan ngga?” Apo berbisik. Mile menaikkan satu alisnya. Tersenyum jahil. Dia tahu apa yang Apo akan lakukan, jadi meski sudah tidak kedinginan, ia hanya menganggukkan kepala.

Yang selanjutnya terjadi adalah Apo yang merentangkan tangannya lebar lebar dan memeluknya erat. Mile membalas pelukannya sambil tertawa. Masih berpikir tentang banyak hal. Semua yang ia takutkan.

Tapi tubuh Apo lebih hangat dari heater yang menyala di dalam ruangan dan Mile akan melakukan apapun untuk mendapatkan lebih banyak pelukan mulai hari ini meskipun ia harus menghabiskan sisa hidupnya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia pantas.

--

--