Reality is here

ninakafei
6 min readNov 22, 2022

--

Mile meletakkan berbagai macam hadiah dan buket bunga di ruang tamu apartemen Apo dibantu dua bodyguard lain. Sedikit kesulitan ketika sebuah buket bunga berbentuk kucing raksasa yg sedikit lebih besar dari pintu ruangan harus pelan pelan ia masukkan sendiri karena kedua kawannya yg lain sudah pamit pulang. Apo buru buru membantunya dan keduanya saling melempar senyum setelah berhasil memposisikan benda itu dengan aman.

“Ini surat suratnya.” Mile menyodorkan sebuah paper bag besar pada Apo dan yang yg lebih muda mengangguk kecil.

Dia terlihat gugup selama beberapa detik. Menatap ke segala arah kecuali Mile.

“Boleh minta tolong nggak?” Apo mencicit. Dibalas anggukan kelewat semangat oleh si bodyguard.

“Bantu unboxing kado kado yg kecil. Sama surat suratnya.”

“Okay.” Mile memberinya satu senyum kecil sebelum kemudian mendudukkan diri di sofa mengikuti Apo yg kini sudah duduk dengan setumpuk kado di atas meja.

“Saya aja yg bukain kado kadonya, Apo tinggal beresin.” Mile menawarkan dengan suaranya yang kelewat lembut. Apo mengangguk kecil. Berusaha untuk tidak gemetar mendengar Mile memanggilnya dengan nama dan bukan dengan kamu seperti biasanya.

Lalu mereka hanyut dalam keheningan yang tenang. Cuma terdengar suara kertas kado yang di robek atau berbagai macam paper bag yang dibuka, lalu suara suara kaget yg datang dari Apo setiap kali lelaki itu mendapatkan sesuatu yang menurutnya lucu.

Apo tahu Mile diam diam meliriknya sambil tertawa beberapa kali, dia hanya pura pura tidak tahu. Terlalu grorgi untuk sekedar menoleh.

“Lo udah liat yg rame di twitter tadi, belum?” Ia bertanya sesaat setelah mereka selesai membuka seluruh hadiah dan kini berpindah fokus pada ratusan lembar amplop dan kartu di atas meja. Mile membuka perlahan dan menyerahkannya pada Apo untuk dibaca satu persatu.

“Udah. Tadi banya yg mention saya mau nggak mau harus buka twitter.” Dia menjawab dengan cengiran kecil. Apo menghela nafas pelan.

“Maafin-

“No. Apo. Saya udah bilang kan? Ini bukan salah kamu. This bound to happen, saya tau.”

“Tapi tetep aja… gw ngga enak sendiri.”

Mile lagi lagi tersenyum. Tangannya yg besar benar benar bergerak sangat hati hati membuka setiap amplop disana, sama sekali tidak ingin benda benda yg berharga untuk Apo itu rusak barang sedikit saja.

“Reputasi lo jadi ancur gitu. Padahal kemaren semuanya baik baik aja.” Apo melanjutkan. Kali ini sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Ia mendengar Mile terkekeh disampingnya beberapa saat kemudian.

“Saya nggak peduli sama reputasi saya, Apo. Ngga penting. Mau mereka bilang saya cuma numpang famous, saya morotin kamu, kenyataannya saya bukan orang yg seperti itu. Kenyataannya saya kerja untuk jaga kamu dan saya ngga peduli orang lain tahu atau nggak. It really doesn’t matter.

Kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatap Apo lama. Mau tak mau yg lebih muda harus membalas tatapan itu dan ia bisa merasakan jantungnya sendiri berdegup keras.

“Yang saya khawatirkan adalah penggemar kamu bakal mikir kamu orangnya gampangan, kamu mau aja dibegoin cowo, and i know this is all just a set up, tapi saya tetep ngga mau mereka mikir begitu tentang kamu, because it’s not the truth. Dan saya ngga suka.”

Apo tiba tiba ingin menangis.

“Makanya tiga hari lalu saya minta izin ke Bible buat sesekali nggak muncul di publik sebagai pacar kamu. Saya tahu kamu baca pesan saya. Saya takut kamu nyalahin diri sendiri tapi saya berusaha mikir positif aja. Tapi hari ini thread itu muncul di Twitter dan kamu minta maaf. So yeah.. saya harus jelasin ini.”

Sekarang Apo terdiam lama. Menatap dalam kedua mata Mile dan berusaha mencari sedikit saja kebohongan disana. Lalu kedua pipinya menghangat ketika yg ia temukan hanya tulus, ditambah Mile yg kini tersenyum lebar lagi. Apo buru buru membuang wajah.

“By the way,” ia lanjut membaca beberapa surat karena Mile juga kini melanjutkan apa yg tadi ia kerjakan. “Emang itu bener temen sekelas kamu pas SMA?”

Ia sedikit terkejut pada ucapannya sendiri. “Kamu? Udah aku-kamu nih sekarang?” Otaknya berputar keras. Malu bukan main. Tapi Mile terlihat tidak menyadari itu. Bagus deh.

“Ngga tahu juga. Akun nya aja akun bodong.” Dia mengendikkan bahu. “Tapi kalo di liat dari tweetnya, dia tahu banget kondisi keuangan saya waktu SMA dulu, kayanya sih iya.”

Apo menghembuskan nafas lagi. Merasa bersalah lagi mengingat apa saja yg user itu ketikkan tentang Mile. Tapi sebelum ia bahkan sempat membuka mulut untuk meminta maaf, Mile sudah mendahului.

“No more sorry, okay?” Lelaki itu tersenyum lembut. “Lagi pula semua yg dia bilang bener. Dan saya nggak merasa sedih atau apapun. It was a long time ago. Sekarang hidup saya udah berubah dan saya bahagia. Apo ngga perlu khawatir.”

Ada sedikit kerling jahil di nada suaranya tapi Apo menolak untuk memikirkannya lebih jauh. Ia hanya membuang muka. Sadar betul ia sedang merona. Tapi ia jadi penasaran akan sesuatu setelah mendengar jawaban itu.

“Aku boleh nanya ngga?”

Mile mengangguk kecil. Apo pelan pelan memikirkan kata-kata yg pantas ia ucapkan supaya Mile tidak tersinggung.

“Was it always your dream? Jadi bodyguard profesional? Maksud aku… tadi kan kamu bilang yg di thread tadi bener. Dulu kamu- agak kesulitan. Tapi pekerjaan ini gajinya lebih besar dari orang kebanyakan.” Ia tidak sadar kedua tangannya berkeringat di atas pangkuan. Gugup. Takut pertanyaannya terdengar tidak sopan.

Tapi Mile disampingnya malah terkekeh lagi. Kali ini satu tangannya bergerak mengusap pucuk kepala Apo sekilas. Membuat yg lebih muda mematung di tempat selama sepersekian detik.

“Anak kecil normal mana yang mikir jadi security detail orang lain itu termasuk mimpi? Of course it wasn’t my dream job.” Dia tersenyum lebar. “Saya dulu pengen jadi dokter, pengen jadi pemain sepak bola, pengen jadi model, pengen jadi penyanyi. Saya banyak mimpinya. Tapi untuk jadi dokter, saya butuh biaya pendidikan yang sangat banyak, kalo mau jadi pemain bola, temen temen saya saranin saya untuk masuk sekola sepak bola tapi saya nggak mampu, jadi model dan penyanyi pun saya harus siapin uang untuk bayar agensi agensi besar biar saya bisa dipromosikan.”

“Jadi bodyguard… saya cuma perlu skill berantem. You don’t need any particular school to know how to fight. Mereka juga ngga mintain saya uang.”

Apo terdiam lama. Sedikit merasa buruk mendengar semua itu. Dia tidak tahu harus membalas bagaimana. Mile terlihat agak murung dan Apo tidak suka.

“Jadi jawabannya adalah nggak. It’s not my dream job.” Lelaki itu tersenyum. Apo membalasnya dengan anggukan kecil.

“At the end of the day, we do what we need to do to survive. Anak kecil yang dulu mikir bisa jadi ini itu, sekarang udah besar dan harus mikir realistis. No more dream job. It’s just a job.

Mile terkekeh sendiri. Membuka beberapa amplop terakhir perlahan. Apo masih diam disampingnya. Tiba tiba tidak tahu apa yg harus ia lakukan karena perasaannya penuh.

“And you’re doing a good job.” Tanpa berpikir panjang, mulutnya berbicara. Mile terkesiap dan kini menatapnya lama. “Aku ikut seneng dengernya.”

Lalu ia buru buru menunduk. Pura pura sibuk membaca surat surat yang Mile letakkan di depannya. Berusaha mengabaikan suara kekehan Mile yang meski pelan tetap bisa ia dengar.

Mile pamit pulang setelah semua surat selesai ia buka dan siap untuk dibaca. Apo tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya tapi ia berjalan mengekori lelaki itu ke ambang pintu.

“Makasih udah bantuin.” Katanya dengan tangan di bahu kanan Mile, main-main memukulnya pelan disana. Yang lebih tinggi hanya membalasnya dengan anggukan kepala dan tawa.

“Aku boleh tanya lagi ngga?” Ia mendadak bicara tanpa punya waktu untuk memikirkannya.

“Tanya apa?”

“Kamu punya pacar ngga?”

Disana, Mile tertegun untuk beberapa saat. Matanya menatap Apo lama. Tapi kemudian ia memaksakan diri untuk memberi jawaban.

“N-ngga punya.” Senyumnya canggung. Apo mengangguk dan mendekat.

“Sama. G-gue juga ngga punya.” Lalu dalam hitungan detik, Apo mengakhiri kalimatnya dengan mendaratkan satu kecupan kilat di pipi kiri Mile.

Kemudian masuk dan menutup pintu dengan bantingan keras dengan wajah yg sekarang ia yakini sudah Semerah tomat.

Dalam hati merutuki diri sendiri atas apa yg baru saja ia lakukan, tapi juga diam diam berharap Mile mengerti apa yg ia maksud dengan pertanyaan itu.

--

--