Kosong Dua Delapan Belas.

odi.
4 min readAug 15, 2020

--

Kosong dua delapan belas. Kosong dua delapan belas.

Bagaikan mantra, rentetan angka itu aku rapalkan berulang kali. Orang menatapku mengadili. Seolah-olah aku adalah manusia aneh atau jangan bilang mereka mengiraku sebagai pengikut aliran sesat yang mendewakan rentetan angka?

Gila. Mengapa fantasiku selalu melanglang entah kemana.

Rentet angka yang ku sebut berulang itu adalah angka-angka terakhir dari nomer telepon seseorang. Ah, mungkin sudah tertebak juga ya siapa “seseorang” yang aku maksud ini.

Dia adalah . . .

Sebentar. Aku bingung menjelaskannya bagaimana karena sulit sekali untuk ku jabarkan.

Tapi intinya, dia adalah “seseorang”.

Kali ini aku harus lebih berhati-hati terhadap apa yang aku lakukan sekarang. Bisa saja tindak tanduk yang ku lakukan nanti akan menguatkan indikasi penumpang yang tadi menatapku penuh kecurigaaan. Aku takut ada orang iseng yang merekamku dan menyebarkan video itu di internet. Dan, kemungkinan terburuknya adalah “seseorang” yang aku maksud tadi akan melihatnya bahkan dia akan mewaspadaiku sebelum kami sempat berinteraksi.

Seiring roda Transjakarta yang berputar, suara klakson bus yang berbunyi di lampu merah Manggarai, dan suara beberapa penumpang yang berbicara pada penumpang lain yang notabene ialah temannya sendiri, aku pun menghanyutkan pikiranku pada kata-kata yang akan aku ucapkan pada sosok pemilik nomer telepon dengan akhiran “nol dua delapan belas” yang sedari tadi aku rapalkan berulang ketika nanti sambungan telepon terhubung ke nomernya.

Dalam sembilan belas tahun aku hidup di dunia, tidak pernah sedikit pun aku berurusan dan melibatkan diriku pada hubungan yang mengarah pada percintaan.

Ini kali pertamanya. Serius.

Kata mereka, wajahku mendukung untuk menjadi sosok karismatik yang dikerubungi banyak wanita. Sebagaimana orang-orang di lingkunganku selalu meromantisisasi sosok lelaki berwajah oriental yang identik dengan wajah tampan dan sudah pasti dikelilingi banyak wanita.

Aku bukannya sok ingin menjadi sosok yang berbeda. Bukan.

Tetapi, aku memang hanya tidak pandai dekat dengan perempuan. Dekat dengan lawan jenis. Sulit sekali.

Mungkin ada hubungannya dengan Mama yang selalu memantauku ketika usia sekolah dulu. Beliau selalu memantau kegiatanku. Harus belajar dan tidak boleh berpacaran sampai sukses mendapatkan universitas yang sedari dulu Mama incar.

Dan sekarang adalah kali pertamanya aku mengalami rasanya jatuh cinta pada sosok perempuan.

Telat sekali pubernya, Vernon.

Eh… tapi aku tidak tahu apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Benar begitu?

Aku pernah bertanya pada kawanku, namanya Sena, tentang bagaimana rasanya jatuh cinta. Dan tahu apa jawabannya?

Katanya sih kayak lagi di taman berbunga gitu. Mungkin lo harus ke Taman Bogor dulu supaya tahu rasanya jatuh cinta.

Aneh.

Memang harus sampai segitunya, ya?

Kemudian dia kembali berceloteh padaku. Yang kali ini celotehannya dapat ku setujui karena agak sedikit valid.

Kalo lo sampe simpen nomernya, terus lo chat dia artinya lo mau ngegebet dia.

Aku memang menyimpan nomernya dalam note pada ponselku. Aku pun mengakui jika ada keinginan untuk memulai obrolan singkat dengannya. Akan tetapi… aku pula yang belum berniatan untuk mendekati “seorang” itu dalam artian “menggebet” seperti kata Sena.

Inginku sederhana. Ingin bisa dekat dengannya dan menghapal nomer teleponnya.

Ya, siapa tahu di lain hari tiba-tiba saja sistem ponselku akan ter-set ulang dan otomatis nomer telepon “seorang” itu akan terhapus pula dari ponselku. Sebagai jaga-jaga saja aku akan menghapal nomernya yang delapan nomer terdepan persis seperti nomer ponsel milik adik perempuanku, Shofia.

Ku harap tidak membutuhkan waktu yang lama hanya untuk sekadar menghapal nomer seseorang.

Kini Transjakarta yang membawaku telah tiba di halte Tosari, artinya aku harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus lain untuk mencapai tempat tujuan dimana Bang Ghani, Bang Dhika, Mas Arkan, Chandra, dan Sena berkumpul. Hari ini rencananya kami ingin sekadar mencuci mata sekaligus mencicip makanan di sebuah restoran yang berada di dalam sebuah mall di bilangan Senayan — kebetulan Mas Arkan mendapat gaji pertamanya hari ini.

Bisik-bisik yang ku dengar dari teman satu kelasku yang mengatakan jika bus yang mengarah ke arah Senayan selalu padat di jam-jam sore sepertinya memang benar adanya.

Dari jauh aku dapat melihat bagaimana padatnya bus yang tengah melaju menuju halte tempat ku menunggu.

Ketika halte mulai mendekat, manusia-manusia itu saling berdesakan untuk masuk ke dalam bus. Saking kagetnya dengan pemandangan ini, hapalan ku akan (nol dua delapan belas) hampir buyar.

Iya, aku masih merapalkan mantra itu!

Beruntung orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan tidak peduli denganku yang tengah merapalkan angka.

Kembali lagi pada keramaian halte Tosari di sore hari, aku kembali pada duniaku. Merapalkan mantra sembari melihat keselilingku untuk memperhatikan para kaum urban dengan kesibukan masing-masing. Namun kali ini mantranya hanya ku rapal dalam hati.

Sorot mataku kini tertuju pada sosok yang tak asing. Aku menghapal sosok itu sebagaimana aku menghapal rentetan angka yang terkoneksi dengan sosok ini.

Dia. Dia ada di sana. Berdiri menghadap ke arah jalanan Dukuh Atas dengan earphone yang terpasang pada dua telinganya.

Kosong dua delapan belas. Kosong dua delapan belas.

Aku belum berhenti merapalkannya. Aku masih mengulang-ulang rentetan angka itu. Masih.

Tidak kuasa ku mendekat sebab nyali yang aku miliki begitu kecil. Aku memang tidak seberani itu!

Argh! Bagaimana ketika nanti menghubunginya secara langsung? Bertemu saja sudah gugup setengah mampus begini.

Dan kalian tahu apa akhir dari cerita ini.

Dia masuk ke dalam bus yang tujuannya sama dengan tujuanku, akan tetapi aku memilih tetap diam di tempatku sembari kembali merapalkan rentetan angka tadi.

Kosong dua delapan belas.

--

--