TRIAS BAPAK ARGA

odi.
5 min readAug 15, 2020

Ghani

Si lelaki tertua dari keluarga Bapak Arga bernama Ghani. Ghani dengan segudang bakat dan segala kemampuannya yang mumpuni menjadikan sosok lelaki jangkung itu sebagai idaman para gadis di daerah Denpasar. Tidak, itu hanya berlebihan. Ghani hanya menarik beberapa siswi dari tempat dimana ia bersekolah dulu. Sehingga pada akhirnya banyak di antara mereka yang ia jadikan pacar atau sekadar gebetan.

Konklusinya : Ghani adalah playboy.

Namun, Ghani tidak sebrengsek itu sekarang. Walaupun dahulu pacarnya berentet dari kelas X IPS 1 sampai XII MIA 2, kini Ghani menjelma menjadi anak kost yang taubat.

Kehidupan Ibukota menyulap Ghani menjadi sosok yang 180 derajat berbeda dari dirinya ketika masih di Denpasar dulu. Alih-alih menjelma menjadi playboy cap kakap, kini Ghani malah hidup dalam kemelaratan. Dia melarat, tapi tidak sekarat.

Bayangan Ghani akan sosok mahasiswa arsitektur yang keren dan bergaya perlente ternyata tidak semulus itu! Kebalikan dari bayangannya, dia malah harus terseok-seok pada semester awal. Belum lagi Ghani harus mengurus kebutuhan rumah tangganya selama di kos.

Puji syukur sebab Bapak Arga mendidik Ghani bukan sebagai bagian dari penduduk dengan sifat metropolis nan hedonis.

Ada dua pilihan yang diberikan Bapak Arga sebelum mempersilakan si sulung untuk tinggal sendiri dan merantau ke Ibukota.

Pertama, dia tinggal bersama Bapak Arga di apartemen yang serba mewah di bilangan Senopati. Namun memiliki jam malam.

Atau di pilihan kedua, tinggal sendiri dengan biaya hidup minim ala anak kost tetapi semua kebebasan ada di tangan dia.

Maka tanpa ragu yang menyertai anak remaja bau kencur itu, Ghani pun memilih pilihan kedua — hidup terbatas di sebuah kos sederhana tetapi miliki segudang kebebasan.

Pada prinsip idealisnya, dia tidak ingin terkungkung dalam kemewahan yang tidak mengizinkan ia untuk berlaku bebas. Ia ingin menjadi Camar yang bebas di udara ketika mengepakkan sayapnya. Iya, Ghani ingin hidup selayaknya Camar.

Tapi kebebasan Camar tidak seenak yang Ghani bayangkan. Tidak. Sama sekali tidak.

Kevin

Sebagai anak lelaki yang sangat dekat dengan Ayahnya, banyak hal dalam diri sang Ayah yang mempengaruhi setiap langkah Kevin dalam tumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi seperti sekarang ini.

Selayaknya anak kecil di luar sana, Kevin pun memiliki banyak impian-impian yang terkesan wajar apabila dimimpikan oleh anak kecil seusianya.

Pada usia lima tahun, Kevin ingin menjadi dokter. Ketika itu dia menyaksikan bagaimana seorang dokter menjahit tangan adiknya yang terluka karena pada masa lalu Kevin pernah mendorong sang adik sampai permukaan kulit adiknya tergores sangat dalam.

Hingga akhirnya anak kecil itu menghukum dirinya sendiri dengan mengajukan diri sebagai samsak sang adik ketika adiknya menahan rasa nyeri dan ngilu pada saat operasi. Alih-alih melarang, kedua orangtua Kevin mempersilakan si anak tengah untuk melakukan apa pun yang dia inginkan.

Mungkin sebagai wujud rasa tanggung jawab.

Masih di usia anak-anak, Kevin pada usia tujuh tahun merubah cita-citanya. Dia tidak ingin menjadi dokter melainkan menjadi seorang desainer interior seperti Ibunya.

Iya, benar. Desainer interior.

Sebuah impian yang belum terpikirkan oleh anak-anak seusia Kevin pada umumnya yang masih mendewakan profesi berjasa nan keren seperti pilot dan dokter sebagai cita-cita yang telah mereka tetapkan.

Alasan mengapa Kevin ingin menjadi seorang desainer adalah berawal dari kesibukan Ibunya. Sedari dulu keluarga Bapak Arga tidak pernah memakai jasa pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Selagi masih bisa dikerjakan, maka akan mereka kerjakan bersama-sama tanpa bantuan orang luar.

Saat itu, Ibu di keluarga mereka tengah sibuk-sibuknya menggarap suatu proyek sehingga membuat ketiga anaknya — mau tidak mau — dibawa olehnya bekerja. Kevin menjadi satu-satunya anak yang tertarik untuk mengikuti Ibunya ketika bekerja.

Dengan saksama bocah kecil itu memperhatikan bagaimana Ibunya melakukan perancangan pada suatu ruangan.

Menurut bocah berusia tujuh tahun, hal yang dilakukan oleh Ibunya bisa dibilang hebat dan keren. Ibunya memaparkan mengenai rancangan interior di sebuah ruangan kemudian dengan ajaibnya para dewasa yang menjadi kostumer sang Ibu akan menuruti apa yang dikatakan oleh Ibunya.

Kevin tertarik. Dia ingin bermain dengan warna. Mengatur tata letak benda di ruangan itu. Pula mempengaruhi orang untuk ikut jalan mainnya.

Iya, Kevin pada usia tujuh tahun ingin seperti itu.

Yusuf

Ayah, tangan aku luka tadi soalnya didorong sama Kakak.

Suara itu terdengar biasa saja. Intonasi yang tidak mengindikasikan kekhawatiran maupun ketakutan juga kecemasan bersumber pada anak kecil yang tengah memegang lengan tangannya yang berdarah-darah.

Lazim adanya bagi seorang Bapak menanggapi keadaan berikut dengan kekhawatiran yang tidak dapat terbendung. Air muka Bapak Arga yang memancarkan kekhawatiran tingkat tinggi tak dapat ditutupi saat melihat darah merah mengucur dari lengan anak bungsunya.

Amarah Bapak beranak tiga itu tidak sampai meninggi karena Yusuf menyebutkan terlebih dahulu siapa pelaku utamanya. Dalang dibalik kucuran darah segar dari lengan tangannya.

Yusuf kecil hanya tersenyum canggung. Dia tidak tahu haruskah dia menangis atau tetap bertahan menahan sakit dan perih pada lengan tangannya. Sementara sang Ayah terlihat kalang kabut.

Kontan Bapak Arga membawa si bungsu ke rumah sakit. Bersama dengan Kevin, sosok di balik terlukanya tangan Yusuf, yang mengajukan diri untuk ikut bersamaan dengan Ayah dan adiknya.

Pada perjalanan menuju rumah sakit, tiada suara yang terdengar selain deru mobil dan suara keresahan Bapak Arga melihat darah yang semakin lama terlihat mewarnai perban yang membalut lengan bungsunya.

Yusuf?

Yusuf hanya terdiam dalam keresahan sang Ayah dan kakak lelakinya. Dia tidak bersuara karena takut apabila semakin membuat keduanya khawatir.

Dilihatnya baik-baik wajah Kevin yang tengah meniup-niup perban luka yang membalut lengan Yusuf. Kemudian, bergantian Yusuf melihat gerak gerik sang Ayah yang tengah mengendarai mobil dengan gusar.

Bocah 4 tahun itu memang tidak seharusnya bersikap tegar, tetapi kakak lelaki pertamanya pernah berkata begini padanya :

Kalau lelaki itu harus kuat! Gak boleh cengeng. Jangan nangis.

Perkataan itu — entah mengapa — terekam dengan jelas bak rekaman suara dalam benak si bungsu. Bagaimana intonasi Ghani yang menakutkan ketika mengatakan hal itu padanya saat ia terjatuh dari sepeda membuatnya was-was. Padahal tidak seharusnya anak sekecil itu mendapat perkataan demikian. Namun demikianlah lingkungan di sekitar mengajarkan pada mereka.

Tangan yang terkepal dan dihujani air mata itu dipegang dengan erat oleh Yusuf. Bocah empat tahun itu tahu alasan kakaknya menangis tersedu-sedu. Itu pasti karena dia.

Dengan satu tangannya, ia menarik telapak tangan Kevin yang dihujani air mata. Menepuk-nepuk dengan lembut kemudian dia tersenyum dengan teduh.

Aku gak kesakitan kok.

Ujarnya. Bagaikan orang dewasa.

--

--