Desain dan UX: Beda tapi Berhubungan

Budi Kontak
5 min readDec 21, 2018

--

Tulisan ini adalah bagian dari serial belajar UX di Indonesia. Terdiri dari apa itu Desain, apa itu UX, dan bagaimana mereka bisa beda dan bisa sama.

Apa itu Desain?

Desain adalah proses kreasi yang menghasilkan artefak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artefak berarti benda-benda hasil kecakapan / kecerdasan manusia. Kalau begitu, apakah yang dikerjakan oleh seorang insinyur adalah desain juga? Ya! Coba baca (3 menit) kisah desainer sekaligus insinyur kebanggaan Indonesia.

Lalu apa bedanya desainer dengan insinyur? Design dan Engineering? Sederhananya, desainer mengerjakan hubungan manusia dengan si artefak itu, sedangkan insinyur mengerjakan pembangunan artefak tersebut, termasuk hubungan antar komponen di dalamnya (ilmu teknologi).

Banyak aktivitas desain (ingat-ingat pengalaman anda yang belajar di sekolah desain) yang hasilnya seperti tidak bisa dipakai. Bagi masyarakat pada umumnya, artefak hasil desain sering dianggap sama dengan kesenian, karena tidak jelas maksudnya. Bedanya, jika seniman membuat artefak untuk ekspresi diri, maka desainer membuat artefak untuk ditanggapi oleh orang lain. Dari reaksi manusia yang berbeda-beda itulah si desainer akan belajar.

Oleh karena itu, keterampilan utama seorang desainer adalah refleksi, yaitu untuk memahami interaksi antara manusia dengan si artefak sampai menimbulkan koleksi pelajaran (sensemaking). Kadang pelajarannya berupa manusianya itu sendiri, misalnya budaya suatu kelompok masyarakat dalam menerima suatu konsep baru. Jika desainer bekerja di bidang teknologi, maka pelajarannya adalah untuk mengembangkan si artefak lebih lanjut, dan akhirnya dikerjakan bersama insinyur terkait (mesin, listrik, software, sipil, dll) sehingga menjadi suatu solusi teknologi untuk memecahkan masalah-masalah manusia.

Hubungan Desain dan UX

Ketika desainer terlibat dalam pemecahan masalah manusia, terlihatlah fungsi desainer sebagai pihak yang membawa kemanusiaan ke dalam pengembangan artefak yang digunakan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, pekerjaan desainer sering dianggap mempengaruhi user experience (UX), walaupun pekerjaan insinyur juga menentukan baik / tidaknya UX (dari sisi kualitas teknologinya).

Desain menghasilkan artefak yang bisa dipakai untuk memecahkan masalah manusia. UX tidak bisa didesain, namun bisa diukur. UX yang baik berarti desain yang sukses memecahkan masalah manusia.

Siapapun yang terlibat dalam pengembangan sebuah artefak ikut menentukan baik / tidaknya pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan artefak tersebut. Jika artefak yang dikembangkan adalah sebuah solusi teknologi, insinyur ikut terlibat. Jika artefaknya menjadi suatu produk / layanan, maka bisnis terlibat. Jika artefaknya mempengaruhi budaya, maka pendidik dan pemuka agama terlibat. Jika artefaknya mempengaruhi regulasi sosial, maka pemerintah terlibat. Banyak pihak bisa terlibat.

Tugas kemanusiaan memang bukan tanggung jawab desainer saja, namun desainer menjadi pintu masuknya.

Desainer memperhatikan berbagai macam aspek kemanusiaan, mulai dari budaya (antropologi), sistem sosial (sosiologi), sampai perilaku (psikologi), tapi tidak berarti seorang desainer perlu menjadi ahli ilmu-ilmu tersebut. Mulai banyak ahli ilmu manusia yang berkecimpung di bidang design research untuk ikut memecahkan masalah yang lebih rumit unsur manusianya, sehingga mereka ikut mengembangkan suatu artefak atau bahkan menjadi seorang desainer.

Seorang desainer juga bisa mendalami salah satu ilmu manusia. Psikologi merupakan yang paling populer di kalangan desainer, sehingga banyak desainer di bidang teknologi yang sudah membawa pengaruh pada kemudahan penggunaan (usability) produk-produk teknologi itu.

Bidang UX dikembangkan oleh para ahli teknologi yang melihat betapa tidak manusiawinya teknologi kita. Para guru UX di dunia kebanyakan para insinyur software yang belajar psikologi dan akhirnya mengembangkan cabang ilmu baru HCI (Human-Computer Interaction). Pendahulu mereka adalah insinyur mesin dan ahli manusia yang mengembangkan cabang ilmu Ergonomi (Eropa) atau Human Factors (Amerika).

Peminat UX di Indonesia

Begitu pula di Indonesia, bidang UX diminati oleh para ahli teknologi terutama teknologi informasi. Fenomena ini sangat menggembirakan, karena bisa menyalurkan rasa-rasa kemanusiaan para “anak teknik” di Indonesia yang sebetulnya lebih tertarik mendalami bidang non-eksata tapi apa daya orangtua dan guru-guru mengarahkan mereka masuk IPA di sekolah.

Saya beberapa kali mendengar alasan dari lulusan bidang eksakta, “saya salah jurusan”. Mereka begitu semangat menceritakan keinginannya memperbaiki kehidupan manusia, tapi ternyata menjadi insinyur bukan jalan yang sesuai. Memang pekerjaan insinyur menjadi menarik jika kita sangat menyukai hubungan antar komponen di artefak tersebut maupun bagaimana mengembangkan artefak yang canggih. Sedangkan pekerjaan yang cocok buat anak-anak salah jurusan ini adalah menjadi desainer. Berbekal ilmu teknologinya, mereka bisa memulai dengan mempelajari interaksi manusia dengan artefak teknologi tersebut.

Perkembangan mereka berbeda-beda. Ada 3 jalur yang saya amati:

  1. Teknologi, yaitu mengembangkan artefak. Di industri software, rata-rata mereka ini lulusan Desain Komunikasi Visual (sudah fokus di artefak bidang 2D) dan jurusan teknologi. Mereka menyukai pengembangan artefak dari sisi usability maupun estetika sampai berbentuk prototipe teknologi. Mereka menggunakan titel UX Designer atau UI Designer atau UI/UX Designer. Di Indonesia sudah banyak mentornya. Banyak juga lulusan Desain Produk yang menyukai pembuatan prototipe teknologi, tapi sebagian besar mereka eksis di teknologi selain software, misalnya alat rumah tangga dan industri kecil.
  2. Manusia, yaitu mendalami hubungan manusia dengan artefak. Ada yang lulusan ilmu manusia seperti psikologi / sosiologi / antropologi, namun tidak sedikit lulusan ilmu teknologi yang betah di sini. Mereka menggunakan titel UX Researcher, dan sayangnya kurang mentor. Untuk bidang teknologi konsumen, mereka perlu dikembangkan ke arah Design Researcher (memahami manusia sampai menghasilkan artefak) bukan hanya UX Researcher (mengukur hubungan antara manusia dengan artefak). Untuk pengembangan profesi, UX Researcher yang tidak ingin jadi Design Researcher lebih baik bekerja di bidang teknologi terdepan (misalnya mesin industri berat atau alat transportasi).
  3. Strategi, yaitu mengembangkan kreativitas dan kolaborasi. Rata-rata mereka ini lulusan Desain Produk (sudah dari sananya agnostik teknologi) maupun jurusan Desain lain yang berpengalaman di berbagai macam teknologi. Ada juga yang sudah ambil studi lanjut di luar negeri berupa HCI atau ilmu desain lainnya (Service Design, Interaction Design, dll). Mereka fokus di bagian menterjemahkan pemahaman akan manusia menjadi ide-ide artefak. Orang-orang seperti ini memegang strategi pengembangan artefak, karena bisa menentukan seperti apa proses pemahaman manusia yang diperlukan dan pihak-pihak mana yang diperlukan untuk sintesis hasil sensemaking berlapis-lapis.

Dari ketiga fokus profesi di atas, ada yang mengaku desainer saja maupun ahli UX saja. Desainer lebih mementingkan proses kreasi artefak tersebut, sedangkan ahli UX lebih mementingkan artefak tersebut memecahkan masalah pengguna. Lebih banyak yang mengaku keduanya, karena memang sulit membedakan desainer dan ahli UX jika mereka sama-sama berada di bidang teknologi untuk memecahkan masalah manusia. Industri teknologi di Indonesia memang sedang berkembang pesat.

UX Tanpa Manusia?

Ilmu desain membekali kita untuk membawa kemanusiaan ke dalam berkreasi, dan UX menempatkan kreasi tersebut untuk memecahkan masalah tanpa meninggalkan unsur kemanusiaannya. Namun sayangnya, alasan-alasan berikut ini justru datang dari mereka yang ingin menjadi ahli UX:

  1. Tidak puas dengan yang dipelajari di bangku kuliah, lalu ikut-ikutan tren “ilmu baru yang mantul
  2. Mencari peluang karir yang berpenghasilan tinggi

Alasan pertama membuat UX jadi terkesan sepele (“enggak penting banget”). Ketika fokus di teknologi, mereka tidak memperhatikan usability dan memilih mengekspresikan diri layaknya seniman. Ketika fokus di manusia, mereka mencari opini (misalnya dengan survei) bukan mencari pemahaman perilaku, dan melupakan luasnya cara memahami manusia (ada data dari layanan pelanggan dan tim data, atau langsung menemui di tempat).

Alasan kedua mengacaukan karir UX bagi rekan sejawat maupun industri itu sendiri. Sudah terjadi di negara ekonomi tinggi seperti Amerika (jauh lebih parah daripada Eropa), sehingga sudah terjadi kebingungan kronis antara UI dan UX (karena banyaknya ahli UI yang mengaku ahli UX demi gaji tinggi) dan kecemasan kronis tentang bagaimana mencari desainer yang benar-benar ahli dalam memahami masalah para pelanggan (karena banyaknya pemula yang mengaku senior demi gaji tinggi). Indonesia tak perlu ikutan!

Kedua alasan di atas sangat bertentangan dengan kenapa bidang UX pertama kali digaungkan, yaitu untuk membawa kemanusiaan dalam pengembangan artefak yang selama ini sudah terlupakan oleh teknologi dan bisnis. Mereka menekuni bidang UX bukan karena sadar bahwa menjadi desainer adalah menjadi penghubung antara manusia dan artefak.

Saat ini banyak perusahaan teknologi mencari desainer. Saya percaya bahwa perusahaan-perusahaan ini memang ingin membawa kemanusiaan ke dalam bisnisnya. Tentu saja ada pihak-pihak yang menyepelekan ini menjadi sekedar hitungan bisnis. Padahal, keuntungan adalah efek dari puasnya pelanggan yang merasa dimanusiakan, sama halnya dengan tingginya gaji desainer adalah apresiasi yang diberikan perusahaan atas kepuasan pelanggan.

Mari berbagi tugas. Sebagian dari kita mengedukasi industri. Sebagian dari kita cukup meluruskan niat masing-masing.

--

--

Budi Kontak

interaction designer | industrial design graduate | former teaching assistant & team mentor | writing only in indonesian language