Indonesia Butuh Banyak Ahli IA…

Budi Kontak
5 min readAug 18, 2019

--

portfoliomu

…dan banyak orang Indonesia yang ingin jadi ahli IA (information architecture). Tidak percaya? Tanya saja pada mereka yang selama ini bercerita ke saya bahwa mereka gemar membuat wireframe, sampai portfolionya yang berlembar-lembar itu berisi wireframe dalam berbagai rangkaian dan bentuk. Mirip dengan portfolio seorang arsitek bangunan. Sama-sama arsitek, bukan? Jika kamu gemar wireframe, selamat! Kamu berarti berbakat jadi ahli IA.

Mari kita bahas sedikit perbedaan ahli IA dan IxD (interaction design). Ahli IA dan IxD sama-sama perlu punya kemampuan berpikir analitis dan keduanya juga perlu sangat memahami pengguna (empati dalam-dalam). Keduanya juga bisa disebut IxD, tapi IA tidak komplit. IA tidak menjawab kebutuhan produk seperti yang dilakukan oleh IxD, melainkan fokus menjawab spesifikasi produk. Penggiat IA kebanyakan dari informatika atau sistem informasi (sub-bidang HCI — human computer interaction), tapi di Amerika Serikat banyak penggiatnya dari ilmu perpustakaan (library science).

Ngomong-ngomong, tahun 2015 sudah ada mahasiswa ilmu perpustakaan Universitas Indonesia yang berpartisipasi dalam World IA Day, lho! Coba yang ahli informatika atau sistem informasi main-main ke fakultas ilmu budaya untuk bertemu teman-teman bidang perpustakaan (Universitas Yarsi sudah menggabungkan kedua jurusan tersebut dalam satu fakultas sehingga perpustakaan bukan lagi ranahnya ilmu budaya tapi ilmu digital).

Karena seorang IA punya tugas utama menjawab spesifikasi produk, maka jelas lah wireframe adalah tanggung jawabnya. Bagi seorang IxD seperti saya, wireframe lebih berfungsi sebagai alat komunikasi antar stakeholder saat pengembangan produk. Produk-produk yang dikerjakan oleh seorang IA memang biasanya produk informasi digital, bukan produk layanan digital. Bedakan produk informasi (untuk membantu pengguna mendapatkan informasi seperti cara membayar pajak, cara membuat SIM, cara mengajukan klaim asuransi, cara mengurus izin usaha, dll) dengan produk layanan (untuk membantu pengguna melakukan sesuatu dengan lebih efisien seperti berbelanja, membeli tiket, memanggil pemijat, membayar tanpa rekening bank, dll).

Berikut ini contoh sebuah masalah IA yang ditangani oleh seorang desainer grafis. Sang desainer berbangga bahwa boarding pass bentuk umum telah ia desain ulang sehingga menjadi mudah dipahami. Apakah benar klaimnya?

Sebagai penumpang pesawat yang cukup berpengalaman, saya malah bingung dengan hasil desain ulang itu. Pertama, nama kota asal dan tujuan tidak ditulis penuh, tapi hanya dengan kode bandara tiga huruf. Simbol gate malah seperti pagar dan simbol seat seperti peluru? Lalu ada informasi yang hilang seperti jam mendarat dan kode-kode lain yang diperlukan oleh pekerja bandara dan penerbangan.

Dengan bantuan seorang IA, maka hasil desain ulang tidak akan seperti itu, melainkan:

  • Para penumpang pesawat diwawancara terlebih dahulu tentang kebutuhan informasi melalui boarding pass.
  • Para pekerja bandara dan penerbangan diwawancara terlebih dahulu tentang informasi yang mereka butuhkan dari penumpang.
  • Setelah diketahui kebutuhan informasinya, para penumpang pesawat diajak melakukan Card Sorting supaya dipahami informasi mana saja yang lebih penting dan mana saja yang terhubung. Misalnya, setiap mencari jam boarding, penumpang pasti ingin tahu nomor gate juga.
  • Tidak perlu jago desain grafis, karena untuk mendesain informasi di lahan visual terbatas cukup dengan mengatur layout yang baik dan disesuaikan dengan pengelompokan informasi dan besar-kecilnya huruf. Jika lahan informasinya ada ratusan layar (tidak hanya selembar seperti boarding pass), maka perlu juga mendesain hubungan antar layar (kalau dalam pembuatan situs web disebut site map).
  • Prototipe dites dengan para pengguna dan didesain ulang sampai terus mendapatkan perbaikan.
  • Tidak akan bermain-main dengan ikon baru yang belum jelas maknanya secara umum bagi penumpang pesawat.

Seorang desainer grafis akan memecahkan masalah di atas dengan mencoba memasukkan informasi ke dalam bentuk grafis alias visualisasi (seperti contoh di atas). Seorang IxD akan memecahkan masalah di atas dengan terlebih dahulu mencari tahu apakah selembar boarding pass itu sebetulnya membantu atau menyulitkan, dan apakah ada alternatif lain dari selembar kertas itu?

Sampai di sini, mungkin kita sudah bisa membedakan secara sederhana perbedaan seorang desainer grafis, seorang IxD, dan seorang IA, ya? Kalau tertarik jadi IA, coba pelajari Card Sorting, misalnya dengan video di bawah ini.

IA dan IxD sama-sama mempengaruhi berkembangnya profesi UX, namun IxD cenderung kalah dan disalahkaprahi tugasnya. Banyak startup bidang digital yang seharusnya butuh IxD (menjawab kebutuhan) tapi malah dipegang oleh mereka yang memiliki mindset IA (menjawab spesifikasi) maupun mindset grafis (menjawab visualisasi).

Sementara itu, proyek-proyek pemerintahan, digitalisasi layanan-layanan umum, berbagai sistem informasi ini dan itu yang membutuhkan IA justru banyak sekali. Mereka masih buta kebutuhan IA, dan sering kali cuma dengar tentang UX tapi tidak tahu siapa yang perlu mereka pekerjakan. Mempekerjakan IxD kadang jadi boros, karena untuk menjawab kebutuhan sudah dilakukan oleh konsultan sistem informasi. Mempekerjakan desainer grafis kadang jadi kacau (seperti contoh boarding pass di atas), karena informasi langsung keluar dalam bentuk visualisasi layar tapi tak berstruktur membingungkan.

Ada yang pernah melihat UX Honeycomb oleh Peter Morville? Lihat gambar di bawah ini. Seorang IxD akan mengernyitkan dahi melihat representasi UX di bawah ini. Namun, seorang IA akan “a-ha!” merasa sangat cocok dengan gambar honeycomb (bentuk sarang lebah) ini.

Mengapa demikian? Perbedaan IA dan IxD ada di 3 hal yang dilingkari, yaitu findable (mudah ditemukan), accessible (mudah diakses), dan credible (dapat dipercaya). Pekerjaan seorang IA sangat tanggung jawab di penyajian informasi. Sedangkan 4 hal lain di diagram itu (usable, useful, desirable, valuable) merupakan tanggung jawab siapapun yang bergerak di bidang UX yaitu mudah, berguna, dibutuhkan, dan bernilai.

Peter Morville dan Louis Rosenfeld (om yang satu ini baik banget orangnya), menulis buku Information Architecture for the WWW pada tahun 2006. Tidak direkomendasikan karena cukup kompleks isi bukunya. Lebih baik baca tulisan sederhana ini.

Jika kamu seorang UI designer (UID) untuk situs web/app, pertimbangkan juga menjadi seorang IA. “IA informs UI”, alias IA membentuk struktur UI. Jangan dibalik, ya! Tanpa pemahaman akan hirarki dan hubungan antar informasi, bagaimana mungkin kita bisa memproduksi UI yang sesuai?

Jika kamu merasa kurang kreatif menciptakan konsep untuk menjawab kebutuhan pengguna, jangan memaksakan diri jadi IxD. Jika kamu tidak betah bikin prototipe layar-layar digital, jangan memaksakan diri jadi UID. Cobalah jalur IA. Jalur yang masih sepi di Indonesia.

Selamatkan situs-situs di bawah ini. Jangan sampai grafis mengalahkan IA!

--

--

Budi Kontak

interaction designer | industrial design graduate | former teaching assistant & team mentor | writing only in indonesian language