Ideologi Cicak

Ksatriya Ananta
3 min readMar 20, 2024

--

Sebuah cerita pendek tentang membangun kebiasaan beradaptasi.

Jadi pemain di sebuah posisi yang tidak seharusnya seolah-olah sudah menjadi kebiasaan untuk saya. Mungkin karena memang nature saya yang selalu eksploratif, atau karena memang kekurangan, entahlah.

Tapi dari dulu, saya selalu ada di posisi yang aneh, yang tidak seharusnya.

Bayangkan, di sebuah organisasi di fakultas perminyakan, saya memilih untuk menjabat di posisi “creative, publishing, and marketing”. Harusnya, posisi-posisi seperti “sponsorship department” atau “industrial relation” bisa membuka peluang yang lebih baik untuk bisa beramah mesra dengan recruiter dari perusahaan minyak.

Ketika lulus, saya memilih untuk membuat startup di bidang kesehatan. Padahal saya bukan lulusan biomedis, apalagi kedokteran. Lihat darah sedikit saja sudah merinding rasanya.

Saya juga gabisa pitching ke investor dengan opening “I own a clinic myself, so I know the problem faced by the doctor”. Apalagi pitching product ke dokter dengan bilang bahwa saya faham benar dunia medis.

Tentu saja tidak.

Tapi, setelah beberapa minggu dicelupkan ke posisi aneh tersebut, saya bisa beradaptasi. Malah, suatu masa dahulu di 2020, kalau sebuah grup rumah sakit atau yayasan klinik berbicara tentang integrasi data medis, Ksatriya yang anak perminyakan ini pernah menjadi “top of mind” nya pihak komunitas kesehatan.

Mungkin karena lagi perjalanan dinas ke Medan, jadi teringat suatu masa dahulu saya pernah jalan jalan ke Samosir, hadiah dari Duta Besar KBRI Kuala Lumpur karena saya adalah anggota Paskibra zaman SMA dulu (engga kok, dulu ga segendut ini).

Ukiran rumah adat di Samosir

Di Samosir, di setiap rumah adatnya selalu ada dua ukiran wajib; seekor cicak, dan (maaf) payudara perempuan. Karena saya penasaran, saya bertanya kepada pemandu tour. Katanya, payudara perempuan itu melambangkan kesuburan, manakala cicak adalah ideologi orang Batak, katanya, mau dilepas di persekitaran seperti apapun, orang Batak pasti bisa survive.

Benar atau tidak itu alasannya, saya tidak tahu.

Tapi, menurut saya ideologi cicak ini sesuatu yang admirable. Dari situ saya punya mentalitas, mau diletakkan di posisi apapun, di situasi apapun, Ksatriya harus bisa adaptasi. Harus bisa survive dan menyesuaikan diri. Mau di kantor di atas bukit di Bandung, mau di depan manajemen Rumah Sakit, mau di kolam di Kakinada di India sana, value proposition saya adalah adaptibility. Setelah beradaptasi, PR berikutnya adalah membangun kredibilitas. Untuk itu, Ksatriya harus berani memposisikan dirinya di situasi yang membuat dirinya tidak nyaman.

Di dalam posisi yang tidak nyaman, saya akan terdorong untuk belajar agar saya bisa beradaptasi untuk ada di situasi tersebut. Ketika di India, misalnya, saya akan berusaha memperhatikan accent teman-teman India, dan belajar susunan grammar bahasa inggris mereka yang agak unik, sehingga saya bisa bercakap-cakap dalam frekuensi yang sama. Saya akan belajar memahami kebiasaan, cita rasa, dan selera orang Kakinada agar saya tidak memiliki masalah untuk makan satu meja dan satu menu dengan teman-teman India.

Ketika sudah bisa menyamakan frekuensi, Ksatriya yang “tidak nyaman” menjadi Ksatriya yang bisa dengan nyamannya menyampaikan pendapat untuk mempercepat teknologi yang saya coba selipkan ke sana.

Hal ini membuat saya terbiasa dengan beradaptasi di tempat-tempat yang pelik, agar saya bisa berkembang. Kalau terlalu nyaman, rasanya sumpek dan gelisah.

Tapi, sebelum teman-teman berasumsi, mau klarifikasi aja, saya bukan cicak, saya juga bukan orang Batak, saya orang Jawa murtad — Sunda Mualaf. Tulen darah Jawa yang ga ngerti bahasa jawa, bisanya ngomong bahasa Sunda.

Medan, 20 Maret 2024, Jam 23:59.

--

--

Ksatriya Ananta

Two roads diverged in a wood, and I — I took the one less traveled by, and that has made all the difference.