And We Meet Again

Kugiemarleon
4 min readApr 10, 2022

--

Chapter 2

Bel pulang sekolah berbunyi lantang. Membuat semua warga sekolah dapat bernapas lega. Tidak terkecuali bagi penghuni 11 IPA 1. Mereka yang sejak tadi diam akhirnya grasak-grusuk. Setelah sekian lama berkutat dengan angka, akhirnya mereka bebas juga.

Genta yang tengah memasukkan buku ke dalam tas tampak sibuk sendiri. Berbeda dengan Ilyaz, teman Genta.

“Eh, lo tau nggak, geng Raka nantangin lagi?” Ilyaz yang memang duduk di sebelah Genta bersuara, memberikan informasi.

“Si rambut merah norak itu?” tanya Genta memastikan. Ilyaz langsung mengangguk mengiyakan. “Tuh orang nggak ada kapok-kapoknya, ya. Udah tau badan lempeng kayak sedotan masih aja sok nantangin.”

“Jadi gimana? Kita kesana?” Tanpa pikir panjang Genta mengangguk. Dengan cepat lelaki itu menyelesaikan sisa barang-barangnya. Sedangkan Ilyaz tengah menunduk dengan jemari yang lihai bergerak pada layar ponsel.

Setelah beres semuanya, Ilyaz berdiri lebih dulu. “Yok, cabut,” ujar Ilyaz sambil menepuk bahu Genta.

Genta menyusul dengan menyamakan langkah Ilyaz. Tangan Genta dengan segera mengambil ponsel dan menekan lama tombolnya berniat menyalakan benda itu yang sejak tadi mati. Sambil menunggu ponselnya selesai, Genta bersuara pada Ilyaz.

“Dimana emangnya?” tanya Genta sambil sesekali mengangguk samar pada banyaknya teman-teman yang menyapa.

“Gudang gede itu, yang waktu pertama kali Raka ngajakin berantem.”

“Itu tempatnya punya dia, emang? Kenapa suka bener ngajakin berantem di sana.”

Ilyaz mengedikkan bahu, “Gak tau. Sewa kali?”

“Tau, dah.” Genta beralih pada ponselnya, menatap pada daya baterai. 98%. Masih sangat banyak. Dengan cepat, Genta mencari kontak sang Mama.

To: Mama

Abi pulang telat, ma.

Sudah. Hanya itu saja. Setelahnya, Genta kembali mematikan ponsel, walau tidak mati total seperti sebelumnya. Bermasuk agar ketika Mamanya menelpon, ia masih bisa mengangkat.

“GENTA!” Suara teriakan menggema di sepanjang koridor. Gizza berlari ke arah dua lelaki yang kini tengah berbalik badan ke arahnya. “Lo pulang?! Kan kita mesti diskusiin materi biologi, Ta.”

“Apaan?” Ilyaz menyahut bingung, dahinya berkerut sebab berpikir.

“Genta nggak bilang sama lo? Kan gue sama Genta bakal ikutan lomba senin depan.”

“Gak bisa, Giz,” ujar Genta tenang. “Gue ada urusan mendadak.”

“Yaudah, sana! Lo kan udah biasa sendirian,” usir Ilyaz.

“Heh!” Teriak Gizza pada Ilyaz. Walaupun ucapan Ilyaz tadi menjentik hatinya sedikit, tapi Gizza tetap berusaaha terlihat biasa. Ia kembali menatap Genta, memberikan tatapan memohon. “Ayolah, Ta, masa tega gue sendirian.”

“Buat hari ini nggak bisa, Giz. Lo kirimin aja materinya lewat chat, nanti gue belajar sendiri.” Genta berbalik, begitupun dengan Ilyaz meninggalkan Gizza sendirian.

Dalam diam, Gizza menahan diri dan mengeluarkan tawa remehnya. Kapan, sih, gue nggak ditinggal sendirian? batin Gizza dengan mata masih menatap lurus pada punggung Genta. Berharap lelaki itu berbalik, walau akhirnya tetap pergi.

~

“Iya, Bu. Nanti saya sampein ke Genta. Saya pulang dulu, Bu.” Gizza keluar kelas setelah mengucapkan salam. Kakinya melangkah pasti di sepanjang koridor dengan kedua tangan memeluk beberapa buah buku.

Ah, dia hampir lupa untuk mengirimkan materi pada Genta. Pun dia harus segera pulang karena memang sudah sangat sore. Kebiasaannya untuk pergi ke tempat dimana ia keap menyendiri dan menghabiskan waktu, diurungkan terlebih dahulu.

Angkutan umum yang sulit didapati, membuat Gizza terpaksa berjalan kaki menuju halte. Ponselnya lowbatt, sebab sejak tadi Gizza terus memainkannya. Padahal, Gizza sangat ingin meminta sang Papa menjemputnya.

Sekitar sepuluh menit, akhirnya bus datang. Gizza segera bersiap-siap naik. Jantungnya berdetak lebih cepat sebab kaget dengan isi bus yang memang sangat padat. Kursi pun sudah terisi semua. Alhasil, tidak ada pilihan lain selain berdiri dengan satu tangan memeluk buku dan satunya berpegangan pada pegangan bus.

Gizza menahan helaan napasnya. Dulu, ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan seperti ini. Memang benar, Tuhan selalu mudah menjungkarbalikkan kehidupan hamba-Nya. Termasuk kehidupan Gizza. Kehidupan sempurnanya yang dulu telah berubah, hancur dengan mudahnya.

Seorang yang meminta uang bayaran bus mendekat pada Gizza. Tangannya bergerak menuju saku rok. Dan kesialan sepertinya memang sedang menempeli Gizza, karena uangnya tidak ada.

Bodoh. Dia lupa bahwa tadi sore uangnya sudah ia pakai untuk membeli roti karena lapar.

“Gimana, Neng?”

“Eh, anu, Bang, dompet saya ketinggalan di loker sekolah.” Harapan Gizza agar lelaki itu kasihan padanya tidak terkabul. Sebaliknya, lelaki itu berteriak keras meminta bus berhenti. Dan setelahnya, Gizza diminta turun.

Dia malu. Tidak bisa berkata apa-apa karena memang dia tidak akan bisa membayar. Berusaha menahan sesak di dada, Gizza turun dari bus. Dia mendesah kelelahan, sedangkan rumahnya masih cukup jauh.

Lo bisa, Giz, batin Gizza menyemangati dirinya sendiri.

Gizza menggelengkan kepala, memilih lanjut berjalan. Berusaha membuang segala rasa lelah di punggungnya. Napasnya putus-putus diikuti keringat yang mengucur.

Pikirannya berkelana menuju Mama. Tiap langkah yang Gizza ambil seperti membuatnya kian fokus memikirkan mamanya. Kenapa mamanya pergi? Kenapa mamanya meninggalkan Gizza dalam kesendirian yang sulit Gizza terima? Kenapa mamanya percaya bahwa meninggalkan banyak harta akan cukup untuk membuat Gizza bahagia?

“Apaansih, lemah!” hardiknya cukup kuat walau dirinya sendiri turut bergetar.

Gizza sesekali berlari, kakinya serasa ingin lepas. Ya Tuhan, entah sudah berapa lama Gizza berjalan, dan hari juga kian gelap.

Perlahan, gedung SMP mulai terlihat. Gizza menghela napas lega. Semangatnya kembali timbul untuk segera pulang.

Sepuluh menit kemudian, Gizza sudah terkapar di beranda rumahnya. Benar-benar kelelahan. Kakinya mati rasa. Air mata yang jatuh membuat Gizza dengan segera menghapusnya. Dia tidak mau terlihat lemah. Gizza ingin mamanya tahu, bahwa ia tetap bahagia walaupun sang Mama tidak ada.

Gizza mencari kantung kecil dari tasnya, mencari kunci rumah. Setelah mendapatkan benda tersebut, Gizza langsung membuka pintunya. Akhirnya, batin perempuan itu senang.

Gizza buru-buru naik ke kamar, segera mencari kabel untuk mengisi daya ponselnya. Tangannya menjangkau remot televisi dan segera menekan tombol agar televisi menyala.

Badan Gizza membeku. Ketika sosok yang begitu ia benci, tengah tertawa penuh sukacita di dalam layar.

Model cantik Sarah Arina akan segera meresmikan hubungan spesialnya dengan Andra Taksoko!

Pertahanan Gizza hancur seketika. Sebagaimanapun mamanya pergi meninggalkan Gizza dan papanya, Mama masih sah sebagai istrinya Papa. Ya Tuhan, bagaimana bisa Gizza tidak membenci ibunya sendiri?

--

--