Resensi Buku : Burung-burung Manyar
Tepat sebelum mengakhiri bulan Mei ini, saya ingin memulai perjalanan menulis saya melalui sebuah resensi buku yang selesai saya baca beberapa hari yang lalu. Sebuah buku karya Y.B. Mangunwijaya, atau mungkin yang biasa disapa dengan Romo Mangun. Buku tersebut berjudul Burung-burung Manyar, terbitan pertamanya oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1981, tetapi untuk versi yang saya baca pribadi adalah cetakan kedelapan, yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dengan total jumlah 405 halaman.
Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi 3 babak periodisasi, yaitu Bagian I dengan rentang waktu 1934–1944, kemudian Bagian II dengan rentang waktu 1945–1950, dan terakhir Bagian III dengan rentang waktu 1968–1978. Buku ini menceritakan kisah roman dengan latar belakang pra hingga pasca kemerdekaan dari seorang bernama Setadewa dan larasati.
Teto, nama panggilan dari Setadewa, merupakan seorang anak dari Kapitein Brajabasuki dan Marice, seorang keturunan ningrat Mangkunegaran dan Jawa-Belanda. Kapitein Brajabasuki adalah seorang letnan kelas satu dari KNIL — Tentara Hindia Belanda — yang bertugas di wilayah Magelang, dan istrinya yang bernama Marice, adalah seorang keturunan Indo. Sebagai seorang sinyo dan juga anak dari seorang perwira kelas satu, masa kecil Teto sungguh mendapatkan keistimewaan, salah satunya adalah bisa bersekolah di sekolah dasar kaum eropa. Larasati atau Atik — panggilan dari Larasati — sendiri juga seorang keturunan nigrat Jawa dan seorang Belanda totok. Ibunya yang seorang keturunan nigrat, memiliki kedekatan langsung dengan kakak tirinya di salah satu keraton di Jawa Tengah, dan ayahnya merupakan seorang Belanda totok yang menjadi pegawai di Dinas Kebun Raya Bogor.
Diawal, kita akan disuguhkan bagaimana kehidupan pra kemerdekaan melalui sisi dari seorang Indo — sebutan untuk keturunan pribumi dan Belanda totok — dan keluarganya pada masa ketika orang-orang Belanda masih berkuasa di Hindia Belanda. Kemudian cerita akan mulai menegangkan ketika peralihan pendudukan Jepang terhadap Belanda, dimana pada saat itu, Jepang sangat kejam terhadap pribumi dan sisa-sisa orang Belanda yang masih tinggal di Hindia Belanda. Romo Mangun bercerita bahwa pada masa peralihan itu banyak sekali tentara-tentara eks-KNIL yang ditangkap dan disiksa, dan istri-istri mereka dijadikan pekerja seksual untuk memenuhi nafsu para tentara Jepang, termasuk Kapitein Brajabasuki dan Marice. Di dalam buku tersebut, diceritakan sisi Jepang yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan, membawa pembaca pada suasana anti-Jepang dan pro-Belanda. Teto yang kemudian menjadi seorang yatim karena papi dan maminya menjadi korban kekejaman Jepang, akhirnya hidup bersama keluarga Atik, sebelum akhirnya ia memilih untuk kabur dan bergabung bersama KNIL melalui Verbruggen, seorang perwira KNIL yang ternyata dahulunya pernah menyukai Marice, ibu dari Teto. Pada bagian akhir, diceritakan Teto yang akhirnya menjadi seorang profesor komputer hebat dan kemudian bertemu dengan Atik yang menjadi seorang doktor di bidang biologi dan telah memiliki seorang suami bernama Janakatamsi.
Cerita yang disuguhkan Romo Mangun pada buku ini sangat menarik, bagaimana Romo Mangun membangun karakter Atik yang ngunggah-nggunggahi, secara tidak langsung menjadi dobrakan terhadap tradisi feodal pada masa itu. Bagian yang paling berkesan bagi saya dalam buku ini adalah ketika Prof. Thomson McKenzie, memberi pesan kepada Teto,
“…Sebab, manusia dan makhluk-makhluk hidup sebenarnya komputer juga, yang mampu menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak faktor darn variabel. Komputer bertanggung jawab kepada yang memberi perintah dan memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung jawab kepada sang Pemberi Model yang Mahaarif.” (Burung-burung Manyar hal. 266–267)
Peralihan babak antara satu bagian dengan bagian yang lain dalam buku ini pun dikemas secara epik, dengan tata bahasa yang tidak njelimet, buku ini cocok dibaca oleh siapapun yang ingin membaca buku bergenre roman-sejarah. Secara keseluruhan, buku ini memiliki rasa dalam setiap ceritanya, siapapun yang membacanya akan dibuat tersentuh dan berimajinasi dalam setiap paduan katanya.