Kinanti-kim
5 min readApr 18, 2022

,1970

"Mbah"

Itu adalah Sanggit, cucu pertama saya hasil dari pernikahan putri sulung saya dengan suaminya. Tengah mendudukan diri disamping tubuh renta saya, ia begitu sibuk membolak-balik halaman buku tebal yang saya yakini adalah buku cerita fiksi anak muda, disebuah rumah bernuansa jawa kuno dengan kayu jati sebagai pondasinya.

"Ngopo le?" (Kenapa nak?).

"Kata buk e mbah itu paling suka kalo dikasih hadiah buku, entah itu jurnal, novel fiksi, atau buku-buku sastra puisi gitu ya?"

"Woiiya le, dulu ibu mu sama mbah tuh hobinya plek ketiplek. Paling suka kalo baca buku atau koleksi buku-buku gitu, makanya ibu mu sering nabung buat beliin mbah buku tiap hari ulang tahun mbah, uniknya lagi, biasanya ibumu bakal beliin mbah buku yang sama kaya yang ibumu baca. Tujuannya, supaya kalo mbah selesai baca, ibumu bisa ajak mbah diskusi perihal buku itu. Lucu ibumu tuh, terus nggak sangka hobi itu bakal nurun ke kamu juga, le"

Tuturku panjang lebar, di penuhi debaran antusias yang membuncah.

"Terus sejauh ini, selama puluhan tahun mbah punya hobi itu, siapa penulis yang jadi favoritnya mbah ?"

Tanya Sanggit yang sepertinya haus akan keingintahuannya, dan harusnya, pertanyaan itu sanggup saya jawab sama lugasnya dengan pertanyaan yang sebelumnya Sanggit ajukan. Sebab, mendiskusikan perihal buku-buku atau penulis yang saya gemari bersama anak dan cucu saya adalah impian saya kala masih menjadi mahasiswi tingkat dua.

Namun, mengingat kesukaan saya sama seperti sosok pemuda yang saya temui 50 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1970, rasanya lidah saya begitu kelu. Seakan pertanyaan Sanggit mampu menarik saya kembali ke masa itu, ke masa dimana saya dan sosok itu kali pertama bertemu di sepetak kontrakan terpencil di Gilirejo Baru. Kala itu, saya tanpa sengaja menjumpai sosoknya duduk di bangku panjang yang keseluruhannya berbahan bilah bambu (kami orang jawa sering menyebutnya sebagai lincak) tengah menyusun halaman-halaman kertas yang saya yakini adalah hasil penggandaan sebuah buku, sebab banyak sekali corak hitam tak beraturan di setiap sudutnya. Dan tanpa ragu saya bertanya,

"Buku apa itu yang kamu gandakan?"

"Ini bukan buku sih, tapi esai"

Saya dengar kalimatnya sedikit ada nada menggantung, pertanda ia belum rampung dengan kalimat itu. Saya geming diantara jeda kalimatnya, bermaksud membiarkan ia menuntaskan kalimat yang telah tersusun rapi diujung lidahnya.

"Sastra Revolusioner"

Lanjutnya, dengan volume yang tadinya lantang, berubah menjadi sedikit mendesis. Saya kontan membelalak, tidak pernah saya sangka, pemuda itu begitu berani 'menjemput sial'. Hingga pada akhirnya, 'penjemput sial' itulah yang semakin membuat kami dekat, sebab selain saya memang gemar akan membaca, pemuda itu juga mampu menghipnotis saya dengan segala monolog yang ia udarakan perihal buku-buku yang ia baca. Kami, (termasuk saya) semakin gemar terjerumus dalam 'lubang buaya' dengan mengoleksi buku cetak ganda ilegal, dan sebagian besarnya adalah buku beraliran kiri seperti karya Pram, yang saat itu bak menjadi bom waktu yang akan menjebak kami dalam bahaya.

Hingga suatu malam, kedekatan kami juga menjerumuskan kami ke dalam lingkaran setan yang lain. Kami, memang tengah di landa asmara kala itu.

"Setelah ini, kita nggak akan pernah tau apa yang terjadi. Kalau bisa, aku akan bawa kamu ke hadapan bapak (bapak saya) untuk aku nikahi. Tapi kalau enggak bisa, kamu bisa gugurkan benih ini nanti."

Katanya, sebelum akhirnya membawa saya melayang bersama lenguhan nikmat saya yang mengudara diantara tubuhnya yang menaungi, bahkan mengapit tubuh saya erat diatas saya. Tentu saja, candu yang ia alirkan dari setiap deru nafasnya diatas lekuk tubuh saya nan tak tertutup oleh sehelai kain pun menjadi surga sesaat yang menjadi saksi, bahwa perasaan kami tengah meletup-letup diantara dentum nyenyat nya malam.

"Tidur disini aja malam ini, Kamu bisa balik sebelum subuh"

Pinta saya yang masih tergolek di atas dipan tempat kami baru saja menanam dosa, menatapnya begitu terburu-buru mengenakan pakaian yang tadinya ia lempar ke sembarang arah.

"Enggak bisa, aku enggak bisa bawa kamu dalam bahaya. Nanti, kalau kalau ada orang nyari aku, terus aku lagi ada sama kamu disini. Imbasnya kamu bisa kena juga."

Ucapnya seakan-akan sudah mengetahui skenario hidup yang akan digariskan untuk dirinya dan kami.
Dan benar saja, setelah malam itu, saya tak mampu menemukan lagi jejaknya. Ia menghilang bak ditelan bumi, tak ada satupun orang yang tau atau mau memberitahu saya perihal kemana ia pergi. Satu-satunya yang saya jumpai kala menilik kamar kontrakannya yang berada persis disebelah kontrakan saya hanyalah secarik kertas yang tertutup oleh sehelai taplak meja yang bahkan sudah tak beraturan letaknya, kamar itu sungguh kacau layaknya badai baru saja meniup segala isi yang ada disana. Termasuk fotokopian buku-buku kiri milik kami─ia memang menyarankan saya untuk menyimpan cetakan ganda buku milik saya ke kontrakan miliknya, ia berdalih saat itu agar saya mudah mencarinya, sebab ia menyusunnya berdasarkan kategori tertentu─. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya seusai malam itu, sebab rasa lelah yang menyergap membawa saya lelap ke alam mimpi sebelum akhirnya saya membaca isi dari secarik kertas yang tergeletak disana.

‘Dianugraheni, wanita cantik yang semena-mena menanyai saya perihal cetak ganda buku yang tengah saya susun petang itu, izinkan saya beritahu kamu, kalau surat ini nanti ada ditangan kamu. Itu artinya, kamu sudah tak temukan keberadaan saya. Yang entah, saya pun tak tahu saya akan dimana saat itu. Tapi, sinyal bahaya yang saya dapat, mengharuskan saya menulis barang kali secarik pesan untuk kamu. Heni, beberapa teman aktivis saya telah ditangkap oleh para rezim, yang artinya saya tinggal menunggu giliran untuk itu apabila mereka berhasil menemukan keberadaan saya. Kamu pun tahu, hal ini juga berkaitan dengan buku-buku Pram yang kita cetak gandakan. Sebab rasa bersalah saya yang menjerumuskan mu lah, pada akhirnya saya memintamu untuk menyimpan seluruh cetak ganda buku Pram milikmu didalam petak kamar saya. Heni, apabila kamu telah membaca isi dari surat ini, maka izinkan saya meminta padamu, kamu hanya boleh mengagumi sosok Pramoedya Ananta Toer dalam hatimu, atau hanya boleh menggumamkan seluruh bait puisi Wiji Thukul dalam otakmu. Sebab jika tidak, kamu akan berakhir sama seperti saya, yang tak tahu arah, dan dihantui oleh seluruh ketakutan. Ingat, Pram, hanya boleh tergumam di hatimu alih-alih lisanmu. Saya lakukan ini bukan semata-mata saya merasa berdosa padamu, melainkan sebab rasa yang tumbuh tersemai diantara rentang waktu yang mempertemukan saya dan kamu. Heni, saya izin undur diri dari hadapanmu, sosok wanita cantik yang saya cintai. Semoga dikehidupan selanjutnya kita dipertemukan kembali dan bukan ditengah tragedi, tertanda Bahtera Januari.’

Seminggu, dua minggu berlalu saya gugurkan benih miliknya yang tertanam dalam tubuh saya, hingga simpang siur saya dengar kabar bahwa ia telah di tembak mati oleh para kaki tangan rezim yang menangkapnya malam itu. Dan semenjak saya mendapati surat itulah, saya tak pernah sekalipun menggaungkan kembali nama Pram dihadapan seseorang.

Maka, kala Sanggit bertanya perihal siapa penulis yang saya sukai, ingin sekali rasanya saya memekik keras, namun saya tak kuasa. Meski situasi saat ini sudah tak akan lagi menggiring saya dalam bahaya karena satu nama, namun gejolak lain yang meremas dada saya, berhasil membungkam suara saya rapat-rapat. Gejolak itu adalah berasal dari sosok Bahtera Januari, pemuda berusia 20 tahun yang saya temui bersama cetakan ganda dari esai terlarang karya Sitor Situmorang. Sebelum akhirnya lenyap, akibat dosa yang ia (atau lebih tepatnya kami) tuai. Sebuah rasa syukur juga elegi yang saya rasakan secara bersamaan mana kala mengetahui fakta bahwa, saya masih menjalani hidup hingga senja karenanya.

─ Bahtera Januari, 1970