June
4 min readJul 26, 2023

“Zevanya…”

aku menoleh dan seketika mendapati sosok Enggar di ambang pintu bersama paper bag di tangan kanannya, sementara tangan satunya ia selipkan pada saku jeans hitam yang ia kenakan.

Tak membutuhkan jawaban, Enggar berlenggang masuk dan duduk pada sofa di belakangku, sedangkan aku masih sibuk menyisir bulu-bulu Vanilla — maltese yang baru kuadopsi tiga bulan yang lalu.

Detik selanjutnya, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam paper bagnya, menaruh sebotol milk tea dan sebotol kopi dingin — yang kuasumsikan bila itu untuknya sendiri di atas meja.

“Vanilla beres mandi, yang punya udah mandi belum?”

aku tahu bila pertanyaan itu ia lontarkan untuk memecah keheningan.

“belum” jawabku singkat dan masih melanjutkan kegiatanku tanpa ingin menoleh padanya.

Helaan napas berat darinya begitu terdengar, aku terus menerus fokus pada anjing yang abang belikan untukku sebagai teman saat dirinya tengah bepergian seperti sekarang. Katanya, selain Enggar, harus ada pihak ketiga yang memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Tangan Enggar terulur mengambil botol minuman kesukaanku, membuka tutupnya dalam satu gerakan dan menyodorkannya padaku.

thanks

anytime” sahutnya, ia lantas menyamakan posisi dengan duduk di atas lantai bersamaku.

Tatapan kami berdua sama-sama tertuju pada Vanilla, sebelum akhirnya ia kembali mengeluarkan suara

“masih marah?”

“gue nggak marah sama lo”

“maksud gue, lo masih marah sama Abang?”

Aku mengangguk samar, “Abang sering lupa kalau gue ini adiknya”

Enggar terkekeh mendengar jawabanku, mungkin baginya ucapanku barusan terlalu konyol, tapi itulah yang aku rasakan setiap Abang meninggalkanku seorang diri tanpa memberitahu tujuan kepergiannya selain pada lelaki di sampingku.

“bukan Abang yang lupa, tapi lo yang sering lupa”

“kenapa jadi gue?”

Ia menenggak kopi miliknya, menoleh padaku bersama mata legamnya yang menatapku lamat.

“lo sering lupa kalau lo punya Abang, lo sering lupa kalau ada orang yang sayang banget sama lo”

aku mengernyit, “oh, jadi maksud lo gue yang salah, gitu?”

“kita lagi nggak cari siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi apa yang Abang lakuin itu bukan buat dirinya sendiri. Coba sekarang lo pikir lagi, apa yang udah lo lakuin buat Abang?”

Aku terdiam sejenak dan benar yang Enggar bilang, akulah yang lebih sering tak memperdulikan Abang.

sorry kalau gue harus bilang ini. Tapi dari yang gue liat, lo terlalu sibuk di luar rumah. Main kesana-kemari sama Bian sampe Abang pernah ngeluh ke gue kalau lo sekarang susah diatur, nggak bisa dikasih tau.

Lo bukan lagi adik perempuannya yang nurut kayak dulu. Lo ikutin kemauan lo sendiri, lo sering pulang malem, sering ninggalin Abang kalau weekend. Padahal dia bela-belain pulang kantor lebih cepet demi lo tapi lo-nya sendiri malah belum pulang. Dia nggak pernah lembur biar lo ada temen tiap malem. Dia jarang ketemu Kak Audrey karena dia tau lo paling benci ditinggal keluar kota and you’re busy spending time with your boyfriend tho, Zevanya”

Bibirku kelu, enggan menjawab sebab aku pun menyadarinya. Aku bahkan tak menaruh nama Abang pada daftar prioritasku.

“Gar…”

kini aku yang mulai bersuara, sama sekali tak berniat untuk membela diri.

“hm?”

“gue terlalu egois, ya?”

Enggar mengangkat kedua bahunya, “The answer is up to you…”

“lo mau dibilang begitu atau nggak” lanjutnya.

Aku menundukan pandangan, merasa bersalah karena aku bisa-bisanya malah menyalahkan Abang saat aku justru lebih mementingkan orang lain ketimbang pria yang bersusah payah membesarkan dan merawatku.

“dunia nggak selalu tentang Bian, Zevanya. Masih banyak orang yang sayang sama lo selain dia dan takarannya pasti lebih besar dari pada dia. Semisal lo putus sama Bian, ke siapa lo bakal balik kalau bukan ke Abang?”

Aku meraih Vanilla, menaruh tubuh kecilnya di atas pangkuanku guna mendistraksi rasa sesalku pada Abang.

“gue tau kalian pacaran udah dua tahun. tapi yang namanya hubungan, apalagi cinta monyet seusia kita itu pasti sering ribut, masih jauh buat sampe ke titik yang kita rencanain. God could reverse your destiny and you would be forced to lose him, we never know. Jangan serius-serius lah, masih dua puluh satu”

Mataku memicing pada Enggar, “siapa juga yang serius? gue pacaran ya pacaran aja, nggak pernah mikir ke arah sana”

“ya bagus, lebih baik jangan”

“Barangkali, kedepannya lo nikah sama gue kan kita nggak ada yang tau, Zevanya” tambahnya lagi.

satu pukulan keras dariku mendarat di lengannya, “In your dream!

“seenggaknya gue punya mimpi yang harus gue kejar”

Entah kenapa wajahku sedikit memanas mendengar ucapannya, tapi kuabaikan.

Dari sudut mata aku melihat Enggar terus menerus menatap dan menelisik wajahku yang masih lanjut mengusap-usap Vanilla yang kini tertidur di pangkuanku.

“boleh elus, nggak?”

aku mengangguk, “boleh” jawabku.

Dengan cepat tangannya pun menyentuh puncak kepalaku, aku terdiam, ternyata perkiraanku atas perkataan Enggar salah. Alih-alih memberikan sentuhan pada Vanilla, ia kini malah sibuk mengelus suraiku lembut, terlampau lembut sampai-sampai aku terpaku dan menghentikan segala pergerakanku seketika.

I’m not good at describing it.

Satu hal yang pasti, aku mampu mendengar degupan jantungku sendiri, sensasi panas lagi-lagi menjalar di kulit wajah-bukan, bukan hanya kulit wajah, tapi di sekujur tubuhku. Aku juga merasakan sengatan listrik bervoltase tinggi meradang ke setiap rongga tubuh bersamaan dengan sensasi menggelitik di perutku.

Unfamiliar.

Aku bahkan tak pernah merasakan ini ketika Bian melakukan hal sama seperti yang sedang Enggar lakukan.

Aku segera meraih tangan Enggar, “Apaan sih lo, gue kira lo mau elus-elus Vanilla. Kok malah gue yang dielusin?”

“tapi lo betah tuh barusan”

Daripada melayani ucapannya, aku lebih memilih untuk bangkit dan mengayunkan kaki menuju kamarku.

“Zevanya!” panggilnya.

“minta maaf ke Abang!”

“iya, bawel” balasku.

belum sempat aku melanjutkan langkah, panggilan darinya pun kembali terdengar, “Zevanya!”

Aku berdecak seraya memutar tubuh menghadapnya, “Apa lagi sih?”

“kalau putus sama Bian, nggak usah balik ke Abang!”

“terus kemana?”

“ke gue!”