RCTI Tidak Oke

Leony
3 min readAug 29, 2020

--

Ilustrasi seorang anak yang menonton film yang sudah dipilih dengan selektif oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di siaran TV RCTI

Dahulu, slogan “RCTI Oke” sering muncul di layar kaca kita. Sekarang, apa kabar dengan RCTI?

Akhir-akhir ini, terdengar berita yang cukup panas. Siaran yang biasa menempatkan dirinya di angka 6 di TV, RCTI, dan iNews menggugat UU №32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam gugatan tersebut, Dua perusahaan media tersebut menginginkan perubahan definisi penyiaran yang mencakup layanan yang berbasis internet atau Over The Top (OTT) seperti YouTube, Netflix, Facebook, Twitch, dan lain-lain. Hal ini disetujui oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), karena sesuai dengan tugas mereka, yaitu untuk “mengatur dan mengawasi penyiaran”, agar konten yang dikeluarkan akan sesuai dengan aturan yang ada di Indonesia dan menjaga moral penduduk Indonesia.

Tentunya, gugatan tersebut terdengar sangat mulia, air mata menetes ketika mendengar seberapa pedulinya KPI terhadap kualitas media Indonesia, juga tentang seberapa pedulinya pihak yang menggugat terhadap kondisi penyiaran media Indonesia hingga saat ini. Bahkan, hal ini sangat perlu diapresiasi, karena sudah adanya insentif dari KPI sendiri untuk menjadi adaptif dalam mengikuti teknologi penyiaran yang semakin maju. Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis, yang kerap disapa sebagai Andre, berpendapat bahwa memang perusahaan OTT ini perlu untuk dikawal keberjalanannya, seperti media konvensional yang muncul di layar kaca pada umumnya.

Sayangnya, hal ini tidak disambut dengan baik oleh masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa ini adalah jalur SNMPTN menuju sistem penyensoran yang opresif. Jika penggugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka hal ini akan mencemari kebebasan warga daring untuk berinovasi dan menyatakan pendapatnya, dikarenakan dengan adanya pengawasan yang lebih, maka bisa saja perusahaan OTT yang tidak meminta izin penyiaran terpaksa harus hengkang dari Indonesia. Selain itu, ucapkan selamat tinggal kepada Instagram Live untuk panjat sosial ataupun TikTok-an saat bosan, bahkan Video Call LINE yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman, maupun untuk mengerjakan tugas wawancara ospek jurusan.

Menurut pengamat media sosial, Enda Nasution, hal tersebut terjadi karena adanya pendefinisian dalam penggugatan oleh RCTI dan iNews yang menyinggung penyiaran dalam konteks internet, yang berarti semua hal yang bersifat penyiaran (Live) dan menggunakan media di internet akan sangat dibatasi. Masalahnya tidak hanya berhenti sampai kebebasan dalam berekspresi, melainkan juga merambat ke aspek komunikasi, khususnya pada keadaan pandemi saat ini yang harus bergantung kepada internet untuk berkomunikasi.

Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan media konvensional tersebut sepertinya susah untuk move on dari masa kejayaannya dan kurang adaptif dalam menghadapi perubahan zaman yang menjadi serba digital ini. Kejadian ini bisa diibaratkan dengan keadaan di antara supir angkot dan driver ojek online pada masanya. Dikarenakan supir angkutan kota (angkot) tidak bisa beradaptasi dengan zaman yang serba online ini, penggunanya tentu saja berkurang secara signifikan dikarenakan mayoritas masyarakat yang lebih suka menggunakan ojek online.

Sebenarnya, hal ini bisa saja diatasi dengan baik tanpa adanya konflik. Contohnya, pemerintah bisa saja mengubah sistem agar angkot menjadi lebih sistematis sehingga masyarakat bisa lebih nyaman dalam penggunaannya. Untuk kasus ini, sebenarnya kembali lagi ke konten yang ditayangkan oleh media konvensional tersebut. Mereka perlu introspeksi ulang mengenai konten yang mereka suguhkan dan kepada siapakah target audience mereka. Akhir kata, untuk saat ini, permasalahan ini perlu kita kawal bersama-sama sebagai masyarakat Indonesia.

--

--