(source: pinterest)

Decision

Briel Crystal
3 min readDec 19, 2022

--

Matahari sore hari itu mulai menunjukkan warna jingga. Tak terasa sudah sekitar 1 jam lebih Joelene menunggu kedatangan sahabatnya, Griffin. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sehingga dirinya belum datang hingga saat ini.

Joelene menghela napasnya lelah, jika bukan karena ingin membicarakan tentang kepindahannya mungkin dirinya akan memilih untuk pulang saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.15 sore dan pada akhirnya sosok yang ditunggu menampakkan wujudnya.

“Duh Joe sorry gue telat. Tadi gue mampir dulu ke rumahnya Eveline, gak enak nolak soalnya disuruh sama nyokapnya.” Kata Griffin yang baru sampai itu.

“Lo mikir gak berapa lama gue nunggu di sini kayak orang bego?” Tanya Joelene kesal.

“Iya-iya maaf ya, janji deh gak kayak gitu lagi.” Ucap Griffin memohon.

Joelene menghela napasnya malas, “Serah lo deh.”

“Jangan marahlah Joe, gue minta maaf.” Griffin memohon dengan wajah memelasnya.

“Ck iya-iya, udah deh ganti topik.” Kata Joelene.

“Oh iya tumben lo ngajakin gue ke pantai, mau ngomongin apa sih? Gue udah kepo dari kemarin.” Ucap Griffin.

Joelene yang mendengar itu terdiam, ia berusaha untuk menguatkan diri agar mampu mengatakan hal yang mengganggu pikirannya sejak kemarin.

“Menurut lo kalo gue pindah gimana?” Tanya Joelene.

Mendengar pertanyaan dari Joelene, Griffin mengerutkan dahinya bingung.

“Pindah? Maksud lo?”

“Fin, sebenarnya gue mau pindah ke Canada.” Ucap Joelene.

Griffin terdiam. Laki-laki itu berusaha untuk mencerna ucapan Joelene yang mendadak itu. Ucapan Joelene barusan tidak pernah terlintas di pikiran Griffin.

“Lo bercandakan?” Tanya Griffin.

“Gue serius. Oma gue yang di Canada lagi sakit dan opa gue gak bisa ngurusin oma gue sendirian makanya orang tua gue pengen pindah ke Canada, terus pas banget perusahaan bokap gue bakal ada proyek di sana jadi keluarga gue bakal pindah semua termasuk gue.” Jelas Joelene.

“Lo gila? Jadi lo mau ninggalin gue di sini gitu?” Tanya Griffin yang mulai kesal.

“Gak gitu fin, tapi ini emang udah jadi keputusan orang tua gue dan gue gak bisa nolak.” Joelene berusaha untuk memberikan pengertian kepada sahabatnya itu.

“Emang gak bisa kalo orang tua lo aja yang ke sana terus lo stay di sini?” Tanya Griffin yang berusaha untuk membujuk sahabatnya itu.

Joelene menggelengkan kepalanya dan hal itu membuat Griffin menatapnya nanar. Griffin membuang napasnya pelan, laki -laki itu merasa frustasi dengan apa yang dihadapinya sekarang.

“Lo berangkat kapan?” Tanya Griffin.

Dengan sendu Joelene menjawab, “Besok.”

Griffin terkekeh pelan mendengar itu, ia merasa ada batu besar yang menghimpit dadanya hingga terasa sesak mendengar perkataan Joelene.

“Oke kalo gitu. Kalo itu udah jadi keputusan lo gue bisa apa emang?”

Griffin tidak bisa berbuat apa-apa, nyatanya walaupun ia adalah sahabat Joelene tapi ia tidak mempunyai hak lebih untuk melarang apapun yang dilakukan Joelene.

Tak lama setelah itu Griffin merasakan sebuah tangan mendekapnya hangat. Joelene memeluk Griffin dengan erat dan dibalas tak kalah erat oleh Griffin. Kedua sahabat itu berpelukan di bawah matahari yang mulai tenggelam.

I’m sorry fin kalo keputusan gue membuat lo kecewa. Tapi ini jalan yang harus gue tempuh dan harus kita tempuh.Jelas Joelene.

Griffin menggeleng, “Gak. Lo gak salah, seharusnya gue yang minta maaf karena egois pengen nahan lo di sini.”

Joelene melepaskan pelukan mereka. Gadis itu menatap Griffin sendu. Berusaha untuk tegar Joelene tersenyum tipis.

“Lagian kalo gue pergi lo gak akan kesepian fin, lo punya Eveline sekarang.”

Griffin terkekeh pelan mendengar itu, “Lo dan Eveline gak bisa disamain, jelas kalian beda. Lo sahabat gue dan Eveline adalah pacar gue.”

Tanpa sengaja perkataan Griffin itu membuat sorot mata Joelene menjadi lebih sendu. Gadis itu benar-benar ditampar fakta.

Tidak ingin berlalut-lalut dalam suasana yang semakin menyedihkan, Joelene pun tersenyum lebar.

“Yaudah mumpung besok gue udah berangkat, lo maukan temenin gue di sisa hari ini?” Tanya Joelene.

Griffin mengangguk, “Ayo gue temenin.”

Joelene tersenyum dan pada akhirnya sepasang sahabat itu menghabiskan sisa hari itu dengan penuh canda tawa seakan-akan kesedihan tadi tidak pernah ada.

Di bawah matahari yang mulai terbenam sampai bulan menjemput keduanya tertawa bebas. Mereka bahagia, untuk saat ini.

--

--