Queensubak
3 min readAug 4, 2023

Aya

Seharian ini Rafael benar-benar menghabiskan waktunya bersama Aya. Setelah berkeliling jauh, Rafael sempatkan untuk mengajak Aya makan siang karena ia tahu Aya pasti lelah sebab terus berbicara untuk menjelaskan tentang tempat yang ia kunjungi tadi.

Rafael menatap Aya diam-diam, gadis berkulit putih pucat itu makan dengan sangat pelan. Entah mengapa, Rafael suka melihat wajahnya yang teduh. Ia bahkan lupa bahwa ia baru saja dikecewakan oleh perempuan. Tapi entah mengapa, Rafael suka diam-diam melihat wajah Aya.

"Rafael, maaf ya ngga abis. Aya kenyang banget." ujar gadis itu memecah lamunannya.

"Bener udah kenyang? Itu masih banyak. Jangan khawatir, ini saya yang bayar." tukas Rafael.

Aya mengangguk. "Beneran."

"Yaudah." Rafael ikut menganggukkan kepalanya. "Saya bayar dulu." ujarnya lalu beranjak ke meja kasir. Baru setelah itu mereka berdua pergi dan memutuskan untuk lanjut berjalan-jalan.

"Rafael, biasa dipanggil apa? Kayaknya ribet manggil Rafael." ujar Aya tiba-tiba.

"Mas." balasnya cepat.

"Mas?" Aya mendelik.

"Oh, maksudnya saya biasa dipanggil Mas sama adik-adik saya. Kalo Rafael terlalu panjang, panggil Ael aja." jelas Rafael dan Aya mengangguk paham.

"Ael punya adik berapa?" tanya Aya lagi. "Maaf ya Aya kepo. Soalnya sebelumnya Aya sama sekali ngga kenal sama Rafael." ia terkekeh.

"Ada dua. Laki-laki dan perempuan." jawabnya. "Kalo yang perempuan yang terakhir, dia penyanyi juga. Sama seperti saya."

"Kalo yang laki-laki... Dia udah meninggal hampir setahun yang lalu." Rafael tersenyum masam.

Aya membungkam mulutnya. "Maaf Ael, Aya ngga bermaks-"

"Ngga papa." selangnya.

"Kamu sendiri? Kenapa tinggal sama eyang kamu?" Rafael balik bertanya.

"Aya anak semata wayang. Tapi papa sama Mama aku udah pisah, dan Aya ikut mama. Tapi tinggal sama mama itu capek, Ael. Tiap Aya pulang kerja, mama selalu mintain uang padahal kan Aya juga gajian sebulan sekali. Makanya semalem Aya tidur di rumah eyang, karena Aya kan abis dipecat, jadi Aya ngga punya uang." jelas Aya.

"Maaf ya Aya jadi curhat." Aya terkekeh.

"Ngga papa." tukas Rafael. "Sekarang udah sore, hari ini udah dulu. Ayo saya anter pulang." ajaknya dan Aya langsung mengangguk.

"Besok Ael masih butuh Aya?" tanyanya dan Rafael menganggukkan kepalanya.

Rafael akhirnya pulang, dan mengantar Aya terlebih dahulu. Dalam perjalanan pulang, mereka hanya diam, terlebih Aya. Rafael juga tidak tahu kenapa, padahal beberapa saat yang lalu Aya banyak bicara.

"Kenapa, Aya?" tanya Rafael.

Aya menggeleng. "Kepala Aya agak pusing, badan Aya ngga enak tiba-tiba." tuturnya.

Rafael langsung membantunya untuk menurunkan kursi agar Aya bisa lebih rileks karena perjalanan masih lumayan jauh.

Rafael menatapnya sekali lagi. Wajah Aya sangat pucat bahkan ia melihat darah mengalir dari hidung Aya. Buru-buru Aya langsung mengambil tisu dan mengusapnya.

"Masih kuat? Atau mau mampir dulu ke klinik?" tanyanya dan Aya menggeleng.

"Kuat. Ngga papa langsung pulang aja." ujarnya.

Rafael menaikkan laju mobilnya dan setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, ia tiba di depan rumah eyang. Buru-buru Rafael turun untuk membukakan pintu mobil dan membantu Aya untuk keluar.

"Kuat jalan? Mau saya gendong aja?" tawar Rafael. Tentu karena ia melihat wajahnya begitu pucat dan nampak tak bertenaga.

"Kuat kok. Aya izin pegang tangannya ya." Aya berjalan sembari memegang lengan Rafael agar ia bisa menopang tubuhnya. Namun di langkah ketiga, Aya tiba-tiba tak sadarkan diri.