185.

ishuayou
4 min readNov 27, 2022

--

Suara pintu terbuka bersamaan dengan Mikha yang muncul dan tersenyum kecil. Dia membuka sepatunya kemudian menghampiri gue di meja makan.

“Hai.” sapanya, gue membalas dengan senyuman.

“Kamar mandi dimana?”

“Tuh.” kata gue nunjuk ke sebelah kiri. Dia mengangguk terus berjalan kesana.

Hah. Gue menghela nafas kasar, kenapa gue jadi gugup gini? Di pikiran gue sekarang gimana caranya gue bisa ngejelasin soal ‘thank you’ di personal chat semalam. Gue gak tenang.

Setelah menata makanan yang udah gue masak, gue duduk nunggu Mikha sambil mikirin topik obrolan untuk ngilangin kecanggungan yang gue rasakan.

“Nin?”

Gue mendongkak begitu suara Mikha menginterupsi. Dia kemudian duduk di depan gue.

“Kenapa ngelamun?”

Gue terkekeh. “Gapapa, lagi nunggu lo.”

“Laper ya?”

Gue cuma balas dengan senyuman.

“Ini lo semua yang masak?”

“Iya.” kata gue tersenyum memamerkan gigi.

“Thank you, loh. Gue kalo disini di kasih makan mulu.” Mikha ketawa yang bikin gue otomatis senyum.

Lega banget gue liat Mikha kaya gini. Seolah-olah kalimat gue semalam bukan apa-apa buat dia, meski gue menyesalinya sendiri.

“Iya, makan sepuasnya ya. Haha.”

Selama makan gue nggak bicara apa-apa, lihat Mikha makan dengan lahap bikin gue senang. Apalagi dia tadi muji masakan gue yang enak. Dari dulu gue nggak terlalu terbiasa makan sambil bicara juga sih, jadi kita fokus makan pun nggak masalah buat gue. Begitu selesai makan, pas banget adzan magrib berkumandang. Gue nyuruh Mikha buat sholat duluan sementara gue nyuci piring.

“Gue bantu dulu ya?”

“Gak usah Mik, gapapa. Gue nggak capek kok.” kata gue senyum. “Sholat aja duluan. Nanti kamarnya dibuka aja.”

“Beneran gapapa?”

“Iya, eh. Kalem aja.”

“Yaudah, gue izin masuk kamar ya.”

Gue mengangguk kemudian lihat Mikha yang berjalan menuju kamar gue. Setelah mastiin Mikha masuk, gue segera beres-beres setelah itu nyuci piring dan ngambil wudhu.

Satu hal yang nggak pernah gue lewatin ketika berdoa adalah memintandiberi kekuatan. Gue minta untuk selalu dikuatkan dalam menghadapi semua yang Tuhan berikan di kehidupan gue. Tanpa kekuatan dari Tuhan, gue nggak akan berani ambil langkah sebesar ini, ambil keputusan seberat ini, ambil semua hal yang menurut gue terbaik untuk diri gue. Termasuk keputusan gue untuk kembali membuka hati buat Mikha. Gue selalu minta untuk di kuatkan, di sabarkan dan di luaskan hatinya untuk menerima kembali laki-laki dalam hidup gue, berharap semoga dia nggak ngecewain gue untuk kedua kalinya.

Seperti yang gue katakan sebelumnya, gue bersyukur Mikha kembali ke hidup gue. Gue merasa bahwa gue harus melangkah lebih jauh bersama Mikha. Setiap gue lihat Mikha, gue merasa gue harus melakukan hal yang lebih menyenangkan lagi.

“Masih kerja?” kata gue duduk di sebelah Mikha yang lagi baca sesuatu di ponselnya.

Mikha kemudian menutup halaman itu dan menaruh ponselnya di meja. “Enggak. Lagi baca-baca aja.” katanya seraya mengelus kepala gue lembut.

Gue senyum. “Gimana Mik, lebih enak di apart yang mana?”

Mikha mendesis berpikir. “Dua-duanya nyaman. Tapi mungkin karena belum keisi penuh, disini agak dingin ya Nin? Apa gara-gara hujan juga?”

Gue ketawa. Pada kenyataannya, apart yang ini lebih nyaman dan lebih kecil. “Iya bener, kayanya gara-gara ujan juga. Soalnya sebelumnya nggak sedingin ini.”

“Terus rencana pindahnya kapan, Nin?”

“Secepatnya.”

Mikha natap gue. “Emangnya kenapa pindah?”

Gue menghela nafas, menaikan kedua kaki dan memeluknya seraya menatap ke jendela yang kini basah karena percikan hujan. “Biar nggak ada utang.”

“Maksudnya?”

“Apartemen itu bukan punya gue, Mik. Itu punya Mada. Gue sempet dikasih, dulu rencananya juga mau ganti kepemilikan gitu. Tapi nggak sempet, jadi mau gue balikin. Lagian, gue udah punya apartemen sendiri.”

Mikha mengangguk pelan sambil natap gue. “Terus? Mau dibalikinnya gimana?”

Gue kembali menghela nafas kemudian mengubah arah duduk menghadap Mikha. “Itu yang lagi gue pikirin. Sementara pindahan dulu sih kata Eisa, soal balikinnya bisa diurusin kalo apartemennya udah kosong. Tapi tetep aja, gue kepikiran.”

“Lo mau ketemu Mada?”

Gue menggeleng keras. “Gue bisa, tapi gue milih nggak ketemu.”

“Pelan-pelan aja. Kalo sembunyi terus juga nggak baik, kan?”

“Menurut lo gitu, Mik?”

Dia mengangguk. “Gue tau perasaan laki-laki sama perempuan beda. Tapi kalo gue jadi lo, gue milih buat hadapin dia, buktiin ke dia kalo i’m okay without you.”

“Jangan jadiin omongan gue sebagai tolak ukur juga Nin, kalo emang lo nggak mau ketemu ya gapapa. Nanti bisa di chat kan?”

“Gue udah ngehapus semua kontaknya, akun sosial medianya juga udah gue blokir semua.”

“Separah itu?”

Gue senyum mengangguk. “Iya.”

Mikha ikut menghela nafasnya pelan. Tangannya kembali terulur, kini dia mengelus pelan pipi gue lantas menjauh. “It’s okay. Gue bantu kalo lo perlu.”

“Sorry ya, Mik. Gue selalu ngerepotin lo.”

“Nggak apa-apa, gue nggak ngerasa direpotin juga.”

Gue senyum seraya menyenderkan kepala ke badan sofa. Masih natap Mikha yang juga natap gue lembut.

“Ada yang mau diomongin, Nin?”

“Gak tau.”

Mikha terkekeh. “Kenapa ngeliatin gue terus sih?”

“Katanya lo kangen.”

Mikha menaikan kedua alisnya. “Haha, kata siapa? Narsis banget.”

Gue terkekeh. “Yaudah kalo nggak kangen.”

Mikha masih ketawa kecil. Gue menepuk pundak Mikha biar dia sadar lagi. Gemes banget kalo ketawa.

“Kenapa, Anin?”

“Udah ketawanya.”

Dia nurut dan berhenti ketawa. Matanya kini natap gue lagi. Gue ngerasa hangat seketika.

“Gue mau peluk Mik.”

“Boleh.”

Gue senyum puas, kemudian memeluk Mikha. Dalam sekejap aroma parfumnya yang khas menyapa gue lembut. Gue terus membenamkan wajah gue di tengkuk leher Mikha. Malu.

“Kayanya lo yang kangen.”

Gue kembali terkekeh. Beberapa detik kemudian gue melepas pelukannya pelan, gue kembali menatap wajah Mikha dalam jarak yang dekat, dekat sekali sampai jantung gue rasanya mau keluar.

“Sorry.”

Mikha memiringkan kepalanya. “Sorry? Buat apa?”

Gue menahan diri dan berpikir keras sampai akhirnya mata gue berhenti menatap di hidungnya, di bibir indah milik Mikha. Gila, jantung gue kayanya mau meledak apalagi setelah gue putuskan untuk terus mendekat dan..

cup!

“Buat ini.”

Gue buru-buru menjauh dan masuk ke kamar ninggalin Mikha yang terkejut setengah mati dengan aksi ciuman singkat itu.

--

--