1. Lilin Malam

flos🧚🏼‍♀️
4 min readMay 12, 2023

--

Pertemuan mereka yang pertama kali terjadi kala bau lilin malam yang menyengat indera penciumannya itu mengusik acara baca bukunya disore hari. Kudapan bersama dengan teh hangat yang masih mengepul di sebelahnya ia abaikan memilih mendekati suara tawa ringan yang sudah ia hafal siapa pemiliknya, sang anak raja memilih berdiri sambil menutup bukunya lumayan keras, acara bacanya itu terganggu.

"Kinanthi...cah wedok ora oleh ngguyu banter-banter." [Kinanthi...anak perempuan nggak boleh tertawa kencang-kencang.] Nasihatnya pada sang adik perempuan yang umurnya lebih muda dua tahun darinya.

"Injih, Kangmas." [Iya, Kangmas.]

Adiknya yang kala itu masih berumur 16 tahun sedang asik melukis dengan lilin malam di atas kain mori yang sedang ia pegang. Namun, pandangannya teralihkan pada anak laki-laki yang duduk di samping adiknya, menunduk seperti takut dengan keberadaannya yang berdiri seolah-olah sedang menunjukkan kuasa tanpa disadari.

"Kinanthi, kamu juga tidak boleh bertemu dengan laki-laki lain selain saudara kandungmu sendiri."

Sang putra raja jelas sedang berbicara dengan adik kesayangannya, tetapi netra tajamnya itu tidak berhenti-henti mengamati lelaki yang sekarang makin tunduk pandangannya, tidak berani menatapnya sama sekali.

Yang bernama Kinanthi itu melirik iba pada teman karib satu-satunya itu, bahkan tangannya sekarang tidak lagi sedang memegang canting yang tadinya bergerak-gerak luwes di atas kain morinya yang sudah separuh jadi dengan gambar daun dan bunga-bunga yang saling berhubungan. Berbeda dengan miliknya yang kainnya saja masih belepotan dengan lilin malam karena sulit sekali tangannya bergerak lihai di atas kain putih polos itu.

"Kangmas Surya, dia ini temanku. Ibu sendiri yang mengutus Thiti supaya menemaniku belajar membatik."

Sang Raden tidak salah dengar kan kalau lelaki di hadapannya ini memang pandai membatik, bahkan Ibunya sendiri mempercayakan Kinanthi untuk belajar dengannya.

"Oh...Kangmas pasti tahu Mbok Laksmi kan? Nah, dia ini anaknya." Adiknya itu kini malah menjelaskan silsilah keluarga lelaki berkulit putih pucat itu.

"Berarti kamu cucunya Mbah Darma?"

"Injih, Raden." [Betul, Raden.]

Kala itu Raden Surya dibiarkan mendengar suaranya untuk yang pertama kali, terlampau lirih hingga sepertinya suaranya terdengar menyatu dengan suara angin sore kala itu. Dibandingkan mengenal Mbok Laksmi yang menjadi kepala keparak gusti di ndalem, Raden Surya lebih mengenal lelaki tua bernama Darma yang juga sudah mengabdi pada susuhunan sejak dahulu, pria tua yang masih terlihat kukuh diusianya itu sering mengajari Sang Raden tentang tata krama sejak ia masih kecil dan teman bermain panahan karena kepiawaian membidiknya yang tidak perlu diragukan lagi.

Kerling malu dari netranya yang tunduk itu lagi-lagi bertemu dengan legam yang menjeratnya, rasa-rasanya mau kabur saat itu juga tetapi entah kenapa kedua kakinya tidak bisa diajak bersepakat.

"Sopo jenengmu mau?" [Siapa namamu tadi?”]

"Thiti, Raden. Thitiwulan..."

Satu hal yang Raden Surya ingat, ia tidak sadar menggumam kata cantik kala netra bening itu berani menantap netra legam pekatnya, wajahnya tidak lagi tunduk namun memilih mendaratkan pandangannya pada netra Sang Raden. Namun, ia tidak dibiarkan menatap keindahan itu lama-lama, batinnya ingin mengelak kala mata cantik itu kembali tunduk lantas memilih mengatupkan kedua tangannya di bawah hidung tanda memberi hormat kepadanya.

"Sebaiknya saya pergi sekarang, Rara."

Kinanthi melirik Kangmasnya yang masih berdiri seperti tidak ada tanda-tanda untuk pergi dari sana, ia kesal kala Thiti—teman karibnya itu kembali memanggilnya dengan embel-embel nama gelarnya, pasti karena keberadaan kakak laki-lakinya itu sehingga Thiti tidak bisa terlihat akrab seperti tadi, padahal meyakinkan anak itu untuk memanggilnya hanya dengan sebutan Kinanthi adalah perkara yang susah sekali.

"Kangmas Surya kenapa masih berdiri di situ?"

"Kamu berani mengusir Kangmas mu sendiri Kinanthi?"

Thiti jelas merasa tidak enak sekali saat dua bersaudara itu terlihat sedang bertengkar kecil di hadapannya, ia mau cepat-cepat kabur dari sana rasa-rasanya.

"Rara...sebaiknya saya saja yang pergi."

"Tidak, kamu tetap di situ temani Kinanthi membatik, tetapi tetap akan aku awasi kalian berdua."

Saat itu Kinanthi tidak tahu kalau Kangmasnya itu hanya beralasan menunggunya membatik sambil duduk di kursi kayu yang tidak jauh dari sana, padahal jelas kakak laki-lakinya itu tidak suka bau lilin malam. Buku yang ia pegang itu sama sekali tidak dibalik lembarannya, netra legamnya tidak lagi menelisik satu per satu tulisan jawa kawi yang tadinya ia baca. Namun, lebih tertarik mencuri pandang pada Thitiwulan yang kembali bergelung dengan canting dan aroma lilin malam.

Kala itu sandyakala seperti merayu, mewarna jingga juga ungu diterbangi semilir angin sore itu. Sepasang matanya hanya mampu mencuri lirik, mengamati tangan si cantik yang piawai dalam membatik. Suryabhumi tidak tahu kalau pertemuan mereka yang pertama kali itu akan menghadirkan pertemuan-pertemuan dilain waktu.

"Thitiwulan...seindah apa parasmu saat malam datang?"

--

--