The Millennial Antihero

Darien Theodric
6 min readDec 30, 2017

--

Sumber: Pexels

Adik berumur sekitar 6–7 tahun itu menatap layar hp android-nya dengan serius, kedua jari jempolnya menekan berbagai lokasi di depan layar tersebut sambil menyiratkan: “Aku harus menang!”. Di waktu yang lalu, sepupu kecil saya yang baru saja masuk sekolah SD memamerkan hp tab yang dia punyai kepada saya ketika kami bertemu di depan sebuah kedai.

Sepupu: ‘Itu hape apa, ko?’ ujarnya dengan tatapan penuh ingin tahu.
Saya:’
ohh, ini tab.’
Sepupu: ‘
aku juga punya yang besar banget, tapi ga ku bawa.’
Saya: ‘
wahh iya ya, kenapa ga di bawa?’
Sepupu: ‘
batrenya abis!ujarnya cemberut

Selanjutnya perbincangan kami berlanjut ke arah memperagakan gaya matrix (ala slow motion gitu) hingga lelah. Hem.

Well, di jaman milenial ini teknologi sudah banyak berkembang pesat. Dalam sepuluh tahun ke belakang, perkembangan teknologi bisa dibilang naik secara eksponensial. Perusahaan raksasa seperti samsung dan apple berkompetisi dalam membuat teknologi smartphone mutakhir, disusul dengan merk lain yang menawarkan gadget dengan harga bersaing untuk kalangan menengah ke bawah. Kalau belasan tahun lalu handphone merupakan barang mewah, sekarang malahan jadi mainan untuk anak kecil!

Gadget yang semakin mudah diperoleh membuat orang-orang mudah membeli sebuah gadget, baik untuk keperluan komunikasi atau sekadar bermain game saja. Alhasil, kepemilikan sebuah gadget tersebut sudah merambah ke anak-anak kecil, bahkan balita. Yes, balita. Anak berisik lalu ingin membuat dia anteng? berikan saja gadget. Anak bosan dan merengek terus mau main? Berikan saja gadget. Anak lapar? ya kasih makan, lah (haha). Solusi bermain gadget menjadi seperti sihir untuk membuat seseorang sibuk selama waktu tertentu.

Gadget sendiri bukan merupakan masalah utama yang muncul dalam kehidupan kita, seperti internet bukan kambing hitam dari kerusuhan yang terjadi di dunia maya dan nyata. Tapi sepertinya dunia gadget ini seakan punya misteri sendiri, seperti black hole yang menyerap setiap cahaya yang berada di sekitarnya. Perlahan. Tapi pasti.

Salah satu concern utama saya, terutama pada kita anak Tuhan adalah bagaimana kita bersentuhan dengan gadget kita sehari-hari, terutama internet, serta media sosial. Memang dalam Galatia 2:20 dituliskan bahwa hidup kita bukan kita lagi, tetapi Yesus yang hidup di dalam kita, namun tidak bisa dipungkiri lagi kalau kita berada dalam dunia yang sedang berkembang secara terus-menerus. Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan saat pelayanan pun, kita sudah melibatkan teknologi yang sangat membantu jalannya acara. Berikutnya saya ingin membahas dua aspek besar utama yang berkaitan dengan teknologi, yang menurut saya banyak bergesekan, aspek konsumsi, dan media sosial sebagai aspek produksi.

Aspek Konsumsi

Siapa yang tidak tahu Youtube? Website ini membantu kita mendengarkan banyak video musik dari musisi rohani ternama mulai dari Kent Henry hingga Hillsong YnF. Dalam Youtube juga kita temukan video-video khotbah dari Billy Graham sampai Steven Furtick. Dalam Youtube, saya menemukan suatu Roh Konsumsi yang begitu melekat, jika tidak kita gunakan dengan benar.

Ketika saya memilih tempat dengan wifi yang kencang, hal pertama yang akan saya lakukan adalah membuka Youtube untuk mendengarkan kompilasi lagu rohani. Di Youtube sekarang ada autoplay, sehingga saya hanya perlu memainkan satu video lalu biarkan saja Youtube memainkan video berikutnya tanpa harus saya klik. Yang jadi masalah adalah ketika saya iseng untuk membuka satu video lucu (bukan video kucing, saya kurang suka itu). Meskipun tiap video lucu tersebut berdurasi 2–5 menit, tetapi entah mengapa saya terus melanjutkan menonton video lain hingga 1 jam, 2 jam, 3 jam terlewati. Entah mengapa ada rasa puas ketika saya membuka video tersebut, sampai akhirnya saya menyadari bahwa waktu saya terbuang begitu banyak tanpa mengerjakan sesuatu secara produktif.

Ambillah contoh Instagram, di mana kita bisa melihat begitu banyak foto/video pendek dibagikan oleh orang banyak. Pada awalnya, kita melihat begitu banyak momen manis maupun sedih yang dibagikan oleh teman-teman Instagram, namun lama-kelamaan dalam hati kita tersirat sebuah rasa ingin untuk membagikan juga momen yang kita punya.

Aspek Produksi

Membagikan sesuatu bukanlah hal yang buruk, karena itulah natur kita, untuk membagikan sesuatu yang kita anggap indah ke orang di sekitar kita. Ketika kita senang dengan makanan yang kita beli di suatu tempat, pasti kita akan secara natural membagikan info itu ke orang terdekat. Membagikan menjadi hal yang kurang baik, ketika kita menjadi terkonsumsi dengan ‘membagikan’.

Ketika kita membagikan sesuatu, terutama di media sosial seperti Timeline LINE, Instagram (feed/stories), status facebook, dan lainnya, setidaknya tiga yang dapat muncul dalam diri kita:

  1. Ekspektasi
    Membagikan sesuatu di media sosial tidak memberikan kita kemudahan untuk melihat reaksi orang-orang yang melihatnya. Bagi beberapa orang, mereka berekspektasi suatu hal ketika suatu hal mereka bagikan. Contohnya yang dapat menjadi perenungan kita juga adalah ketika kita membagikan tulisan baik itu tentang firman Tuhan, maupun gambar tentang aktivitas kita. Apa yang sebenarnya kita harapkan ketika kita membagikan post itu? Reaksi setelah kita membagikan sesuatu di media sosial bisa menjadi salah satu indikator sebenarnya ke mana mata kita tertuju sekarang, apakah kepada Salib-Nya atau kepada kita sendiri?
  2. Rekognisi
    Ekspektasi yang tinggi terhadap apa yang kita bagikan di media sosial seringkali berawal dari keinginan untuk diakui/diperhatikan. Rekognisi menjadi hal yang penting kadang, karena ada pikiran ‘untuk apa dibagikan kalau tidak ada yang lihat?’ Saya tidak berbicara tentang strategi multimedia dalam menyebarkan firman Tuhan dengan efektif, tetapi maksud saya adalah ketika kita membagikan sesuatu, apakah kita sendiri mengharapkan agar orang memberikan pujian? Seakan kita membagikan sesuatu itu agar kita diterima oleh orang lain sebagai orang gaul ataupun up to date. Apakah ini yang terpenting?
  3. Pengikisan Gambar Diri
    Pernahkan anda melihat Instagram Stories seseorang, di mana jumlah stories-nya begitu banyak seperti bintang di laut, eh langit? Ya kalau orang tersebut membagikan info yang penting, kalau ternyata yang dibagikan adalah seluruh foto selfie-nya, apa kata dunia? Sebenarnya tidak ada rule of thumb apa yang boleh dan tidak kita bagikan dalam media sosial, tetapi saya ingat perkataan seorang kakak di pelayanan yang berkata saat kita telah lahir baru, bukan lagi perkara boleh/tidak boleh, tapi perkara apakah ini berkenan pada Tuhan.

    Pencarian rekognisi terhadap diri kita adalah tanda bahwa gambar diri kita sedang terkikis semakin rusak. Mencari perhatian tidaklah buruk, kita memiliki cara kita sendiri untuk berhubungan dengan orang terdekat kita, tetapi ketika semua yang kita lakukan adalah mencari kesenangan dan perhatian di media sosial, apakah itu sudah baik? Mari kita renungkan, seberapa banyak anda membaca ayat untuk melihat Indahnya Tuhan, dibandingkan dengan jumlah feed Instagram yang kalian lihat?

Semua Itu Terhubung

Saya sendiri percaya bahwa suatu dosa atau kebiasaan buruk pasti berawal dari hal kecil yang ada dalam hidup kita. Perasaan tidak kudus kepada orang lain bisa saja berawal dari kita melihat sebuah post di facebook, perkataan tidak membangun mungkin saja didasari oleh sebuah aksi di dalam Youtube, dan perasaan yang bimbang dapat disebabkan oleh musik yang kita dengar. Semua dosa ada akarnya, termasuk bagaimana media sosial dalam gadget dapat menjadi awal dari aktivitas kita bermain di lumpur dosa.

Lantas apakah gadget/media sosial itu membawa buruk saja? Saya pecaya tidak. Perkembangan teknologi adalah suatu anugrah Tuhan yang besar bagi saya. Begitu banyak pekerjaan manusia yang terbantu oleh berkembangnya teknologi di dunia. Daripada memberikan banyak teori, berikut beberapa pekerjaan Tuhan yang telah dilakukan oleh pelayanan saya via teknologi:

  1. Membuat grup diskusi tentang topik tertentu. Seminggu ke belakang, saya baru saja join ke sebuah grup whatsapp di mana diadakan diskusi tentang dunia bisnis oleh narasumber yang begitu giat dalam pekerjaan Tuhan dan diberkati dalam bidang bisnis. Bukankah hal ini merupakan terobosan baik? Anak-Anak Tuhan yang terpanggil dalam dunia entrepreneur bisa berdiskusi dengan para expert via dua jari jempol saja! Sebelumnya mungkin orang-orang hanya belajar sendiri atau bertanya kepada teman-teman yang sudah alumni. Grup diskusi online memungkinkan Anak-Anak Tuhan dari seluruh bagian dunia berbicara dalam satu grup dan membahas tentang topik tertentu, yang pastinya membantu mereka!
  2. Membagikan Firman Tuhan dengan jangkauan dunia baru via media sosial. Jika media sosial kita gunakan dengan baik dan cukup, maka media ini bisa kita gunakan sebagai alat untuk membagikan Firman Tuhan dengan lebih efektif lagi. Kalau sebelumnya orang-orang Kristen/Katolik saja yang mendengar/membaca firman Tuhan via ibadah, sekarang melalui media sosial bahkan semua orang bisa bersentuhan dengan firman Tuhan. Menguatkan saudara seiman satu sama lain juga dilakukan lebih mudah via media sosial, meskipun bertatap muka tetap memberikan rasa tertentu yang tidak dapat diberikan oleh media sosial. Tapi tetap saja, kemudahan menyebarkan informasi menjadi kemudahan tersendiri, senjata yang begitu mumpuni.

Seberapa jauh kita dapat menggunakan teknologi? Tentunya yang bijak menentukan adalah Roh Kudus sendiri melalui hikmat yang Dia berikan kepada kita. Teknologi ada untuk memberkati juga, jadi baiknya kita sebagai Anak Tuhan juga dapat memanfaatkan sumber daya teknologi yang tersedia sebaik mungkin, agar firman-Nya bisa sampai ke suku-suku bangsa. Anyway, apa yang saya tulis di sini bisa saja tidak sepenuhnya relevan/benar bagi kalian, jadi baiknya kalian tanya sendiri ke Tuhan apa dampak teknologi bagi diri kalian sendiri. All for His Glory, right?

Tulis di kolom komentar apa pendapat kalian, saya ingin tahu pendapat pribadi kalian!

Cheers.

--

--