lildaisy
7 min readFeb 2, 2024

“Yang itu kan?”
“Kok gue baru nyadar kalo wajahnya emang agak mirip ibunya”
“Masih berani masuk kuliah dia seudah berita soal ibunya rame?”
“Duit ukt-nya aman gak tuh? Kan cowok ibunya udah ditangkap sekarang”
“Aman lah, kan masih ada cowok yang lain”

Hari ini adalah hari pertama Jenar kembali masuk kuliah setelah satu minggu ia mengunci diri di kamar kost lantaran sakit, dan hal pertama yang menyambutnya adalah desas desus dari tiap mahasiswa yang ia lewati. Kabar kembalinya ia ke bangku kuliah menjadi trending topic di sosial media, bahkan kini beberapa potretnya sudah menyebar. Kini ia berada di perpustakaan pusat, tadinya ia berniat mencari beberapa referensi untuk tugas. Namun tiap bilik meja di perpustakaan itu kini mulai membicarakannya.

Jenar gemetar, tangannya sibuk membuka ponsel, berkali-kali memasukkan password ponselnya yang tak kunjung terbuka karena tangannya yang terlalu gemetar. Sistem ponsel bahkan tak bisa mengenali sidik jarinya karena tangannya terlalu basah oleh keringat. Ketika berhasil membuka ponsel, aplikasi pertama yang ia cari adalah aplikasi musik, mencari musik paling berisik supaya bisik-bisik tiap orang yang ia lewati tak terdengar. Jenar memasang earphone dan menaikkan volumenya hingga maksimal, berusaha menulikan telinganya dari suara di sekitar.

Awalnya ia tak peduli, atau mungkin mencoba tak peduli. Ia hanya harus memikirkan soal kuliahnya. Namun ketika memasuki gerbang kampus, seluruh keberanian yang sudah ia susun runtuh seketika. Ia kira ia bisa tahan, namun ketika semua orang mulai membicarakan ibu kandungnya, Jenar gemetar. Ia ketakutan karena orang-orang seakan ikut mencemooh dan menuduhnya bersalah.

Kakinya kini kembali keluar dari ruangan perpus yang terasa menyesakkan, menuruni tangga dengan kepala tertunduk. Kakinya hampir kehilangan keseimbangan ketika seseorang menarik tangannya, mulutnya bahkan dibungkam. Jenar panik, mencoba melepaskan diri. Namun sosok itu menariknya ke lorong lantai dua yang sudah gelap di sore itu.

Jenar semakin memberontak, berusaha membalikkan badannya untuk melihat siapa yang menariknya. Ia berhasil melepaskan diri.

“Kakak!” Suaranya jelas terdengar panik sekaligus bingung, mendapati sosok Arka yang tampak sama paniknya.

Arka menempelkan jari telunjuknya ke depan mulut, meminta Jenar untuk tenang. Kepalanya melongok ke area tangga, maka Jenar mengikutinya. Mendapati seorang perempuan dan seorang lelaki dengan setelan seperti mahasiswa tampak sedang menunggu seseorang diujung tangga.

“Wartawan,” ucap Arka.

Jenar mengerutkan kening karena tak paham. Ia kemudian kembali melongok untuk memperhatikan dua orang tadi, keduanya tak tampak seperti wartawan.

“Mereka nyari kamu,” melihat Jenar yang tampak kebingungan, Arka kembali menjelaskan. Ia sempat mencuri dengar pembicaraan dua orang yang sedang menyamar itu ketika hendak melewati gedung perpustakaan pusat. Entah bagaimana kedua orang itu mengetahui keberadaan Jenar di luasnya kampus mereka itu, yang pasti, ketika nama Jenar disebut dalam pembicaraan mereka, Arka segera masuk ke dalam gedung perpustakaan.

Lantas apa yang mereka cari dari Jenar? Tentu saja status Jenar yang selama dua puluh satu tahun tak pernah tercium keberadaannya. Terkuaknya identitas Jenar tentu menjadi berita hangat yang kini ramai diperbincangkan, dan semua orang di negeri ini kini penasaran dengan sosok Jenar.

“Kakak gak seharusnya disini,” Jenar berucap lirih, mengingat bahwa mungkin saja nama Arka akan ikut terseret bila ia bersama Jenar sekarang. Para wartawan mengincarnya, dan akan jadi hal paling menguntungkan kalau mereka menemukan Jenar bersama Arka.

Namun Arka memilih abai. Arka tahu maksud Jenar adalah untuk menyelamatkan namanya, namun lelaki itu tak mau peduli. Ia beralih merogoh ponsel di saku, kemudian sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya entah sejak kapan sudah bertaut dengan milik Jenar.

“Halo, Ju, dimana?”

Arka memilih berbicara dengan Juan melalui telepon, sambil sesekali melirik ke arah dimana dua wartawan tadi.

“Lo bawa mobil kan? Tuker kunci mobil dong, gue dikejar wartawan, mobil gue di depan gedung FEB, kejauhan kalo gue ambil dulu,”

Jenar hanya bisa diam selama Arka berbicara dengan Juan, sesekali menatap tautan tangannya dan Arka.

“Gue di perpus ini, gue tunggu di gerbang belakang, ya? Thanks Ju”

Arka menutup telepon, kemudian kembali menarik Jenar untuk menghadapnya, ia lepas hoodie miliknya dan ia pakaikan pada Jenar untuk menutupi kepalanya.

“Kita pergi sekarang”

“Kak”

Arka berbalik, menatap Jenar yang masih geming.

“Aku gak mau nama kamu keseret di masalah aku,”

“Terus kamu mau gimana? Diem di sini sampe semua wartawan pulang? Mereka gak mungkin cuma berdua, mungkin ada beberapa orang lagi yang udah nyebar di kampus,”

Jenar tak mampu menjawab, Arka benar, para wartawan itu mungkin sudah menyebar dan terlalu beresiko bila ia nekat pulang sendiri. Ia tak dapat mengenali yang mana yang merupakan wartawan dan yang mana yang bukan, sementara Arka mengenal beberapa diantara mereka karena statusnya sebagai seorang Haribawa. Tak ada jalan lain, kecuali jika ia mau menghadapi para wartawan itu. Tak mendapat jawaban lain dari Jenar, Arka akhirnya kembali menautkan jemarinya pada jemari Jenar, membawanya berlari ketika dua wartawan tadi mulai berjalan menjauh.

Mereka berlari kecil menuju gerbang belakang, beruntung jarak perpustakaan pusat dengan gerbang belakang tak terlalu jauh. Arka menghela nafas lega ketika matanya mengenali mobil Juan yang sudah terparkir beberapa meter dari gerbang belakang.

“Kok bisa lo berdua di kejar wartawan?” tanya Juan ketika keduanya mendekat.

“Panjang ceritanya, nanti aja, gue buru-buru”

Juan mengangguk paham, ia kemudian keluar dari mobilnya, “Lo berdua cepet naik!”

Arka mengangguk, ia bawa Jenar ke sisi pintu penumpang, membukakan pintu itu dan memastikan Jenar duduk nyaman, sebelum akhirnya ia kembali berputar ke kursi pengemudi, menggantikan posisi Juan.

“Gue parkir depan gedung FEB, di pintu selatan,” ucap Arka ketika menyerahkan kunci mobil miliknya.

“Oke, lo hati-hati nyetirnya”

Arka mengangguk, kemudian mulai melajukan mobil milik Juan setelah ucapkan kata terimakasih. Matanya melirik Jenar yang kini menundukkan kepala, kedua tangannya saling meremas, mencoba menenangkan diri, kedua bahunya bahkan gemetar. Maka Arka meraih tautan jemari Jenar, memberi lelaki yang lebih muda kekuatan tanpa banyak bicara. Jenar tampak terkejut, ia dongakkan kepalanya untuk menatap Arka yang kini fokus menjalankan mobil tanpa melepas genggamannya. Ibu jari lelaki itu bergerak lembut di punggung tangan Jenar, hantarkan ketenangan pada dada Jenar.

Keduanya sampai di salah satu taman, masih duduk berdampingan di dalam mobil. Niatnya, Arka hendak membawa lelaki di sampingnya untuk pulang ke kosannya. Namun ketika mereka sampai, beberapa wartawan sudah menunggu di pelataran kost yang ditempati Jenar. Maka Arka kembali membawa Jenar pergi, kemana saja yang terpenting mereka terhindar dari wartawan. Hingga mereka berhenti di taman ini.

Sudah sekitar lima belas menit, namun tak ada yang mau bicara. Jenar sibuk menenangkan diri dengan meremas botol air mineral yang tadi Arka belikan. Sementara Arka hanya duduk diam menatap lurus ke depan. Jenar merasa sedikit tak nyaman, kecanggungan diantara mereka terasa benar-benar mengganggunya.

“Berita soal Ayunda Hani itu ibu kandung kamu, bener?” Suara Arka memecah hening yang sudah lama menguasai mereka. Ia tak mau lebih lama lagi memendam dan bertanya-tanya sendiri. Ia harus memastikan kalau berita yang tersebar itu benar atau tidak.

Jenar mengangguk, hatinya benar-benar serasa diremas kuat. Berat sekali mengakui fakta kalau Ayunda Hani adalah ibu kandungnya, namun Arka harus tahu.

Rasanya tenggorokkan Arka tercekat, seluruh kalimat yang hendak ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Rasanya seluruh tanya yang sudah ia persiapkan tak bisa terucap sama sekali. Jenar mengangguk, itu berarti selama dua tahun ini, ia mencintai anak dari seseorang yang sudah menghancurkan keluarganya, menghancurkan mami-nya.

“Did you know about what happened between your mom and my dad before?”

Kali ini Jenar menggeleng, “Aku juga baru tau, di hari ulang tahun kamu,”

Hari ulang tahunnya berarti satu minggu sebelum keberangkatannya untuk magang di luar kota. Ia ingat hari itu ia menangis haru di depan Jenar, setelah melihat mami dan papi yang merayakan ulang tahunnya. Malam itu Jenar juga hadir, ikut bergabung dalam perayaan kecil yang keluarga mereka adakan. Malam itu Arka bercerita soal bagaimana bahagianya ia melihat keluarganya kembali utuh, soal alasan kenapa mami dan papi yang Jenar ketahui memiliki kepribadian hangat itu tampak jarang duduk bersama dan baru kali ini keduanya terlihat lebih mesra. Dan tanpa sadar, Arka menyebut Ayunda Hani dalam ceritanya malam itu. Kini bayangan senyum haru Jenar yang memudar selama ia menceritakan tentang aib keluarganya kembali ke ingatannya. Setelah malam itu, Jenar tampak lebih murung dan terkesan menjauhinya.

“Jadi itu alesan kamu mutusin aku seminggu setelahnya?”

Jenar semakin menundukkan kepalanya, ia tak bisa berbohong lagi, maka ia hanya anggukkan kepala dengan lemah. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.

“Maaf” hanya satu kata lirih yang keluar dari mulutnya, namun satu kata itu mewakili seluruh perasaannya selama ini.

Ia ingin meminta maaf, pada Arka yang ia bohongi, pada mami yang hidupnya harus hancur karena ibu kandungnya, juga maaf karena telah jatuh cinta pada Arka.

Kata maaf yang akhirnya keluar dari mulutnya itu menghancurkan pertahanannya, titik air mata mulai keluar dari ujung matanya.

Arka menutup erat kedua matanya, menyandarkan tubuhnya di kursi pengemudi. Hatinya sama sakitnya, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia mencintai Jenar, sangat. Hingga rasanya ia bisa memberikan seluruh hidupnya hanya untuk Jenar. Ia benar-benar mencintai Jenar hingga rasanya seperti tercekik ketika mendengar fakta ini.

Ia benar-benar mencintai Jenar, namun mami tetap cinta pertamanya.

Mana bisa ia tetap mencintai Jenar, ketika mami bahkan baru kembali memulai bahagianya. Ketika mami mulai menerima semuanya.

Ia tak mau menyalahkan Jenar, sebab ia sendirilah yang jatuh pada Jenar. Lantas siapa yang harus ia salahkan? Apa lagi yang harus ia lakukan setelah ini?

Ia seakan kehilangan arah. Tetap mencintai Jenar hanya akan melukai mami, sedangkan melepas Jenar adalah pilihan yang tak pernah ia bayangkan.

Maka baik ia dan Jenar kembali diam, sibuk dengan hati dan otak mereka masing-masing yang terasa berisik. Meratapi hubungan mereka yang bahkan entah harus dibuat seperti apa.

lildaisy

젠런 맠젠 맠잼 jangan di follow, ini akun iseng doang 😭🙏🏻