kayita
6 min readDec 11, 2023

Flashback

Dua bulan lalu

Difa mendapat sebuah telepon dari seseorang yang berkata dirinya adalah pemilik bar dimana Juan kini sedang kehilangan kesadarannya. Mengapa ia yang dihubungi ketika banyak pilihan kontak yang tersimpan di ponsel sahabat dekatnya itu. Jawabannya satu, ya. karena Juan meletakkan nomor kontaknya pada angka 1 panggilan darurat.

Pernah Difa bertanya mengapa bukan keluarga nya yang ia sematkan, Juan pun menjawab ‘gak ada yang tau tentang gue kecuali lo dif’.

Dan kali ini Difa yang harus direpotkan, dirinya sedang menyangga badan besar Juan memapahnya menuju kamar yang letaknya diujung lorong. Difa memang seringkali mendapat panggilan semacam ini, tapi kasusnya bukan Juan yang mabuk berat seperti yang sekarang. Biasanya karena kenakalannya yang membuat Difa harus menjemput di kantor polisi. Alasannya seperti balap liar, tawuran, demo, bahkan mencuri ayam pun pernah. Difa selalu dibuat heran dengan tingkah polah Juansara yang notabene adalah anak konglomerat di kotanya.

“Bentar astagaaaa, lo berat banget sih”, gumamnya seraya memencet kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen yang Juan tinggali.

Difa lantas masuk ke dalam ruangan. Juan bergerak gelisah, mengusap-usap hidungnya pada perpotongan leher seorang yang memampahnya. Difa berusaha menjauhkan diri. Separuh hatinya senang mendapat perlakuan itu sedang separuhnya lagi sadar akan apa yang terjadi bukanlah berdasar pada Juan yang menginginkannya, tapi sahabatnya itu hanya sedang berada dibawah pengaruh alkohol.

Sesampainya di ruang kamar, Difa berniat membaringkan Juan diatas kasur namun ia dibuat terkejut atas apa yang Juan kini lakukan padanya. Juan memeluknya erat, membiarkan Difa terjatuh diatas tubuhnya.

Sesaat setelahnya Juan membuka mata, sudut bibirnya menyeringai. Difa merasakan bagaimana tatapan lapar yang Juan berikan padanya kini. Dalam hitungan detik dirinya telah dibalik posisi, terkungkung oleh lengan dan tubuh berotot itu. Juan mengikis jarak diantara mereka, menciumi setiap sisi wajah Difa sebelum melabuhkan bibirnya pada dua belah bibir ranum didepannya. Mencumbu dengan kasar, menghisap dan melumat setiap sisi.

“Umppphhh, Juan mpph.. stop”, Difa mencoba menghentikan aksi sahabatnya itu.

“Juan sadar, gue difa. Gue temen lo difa”

“Difa??”, suara Juan terdengar serak dan dalam.

Difa menganggukkan kepalanya memberi jawab atas pertanyaan yang Juan tuturkan.

“Difa-nya gue yang cantik”, Juan mencium dahinya. “Matanya…hidungnya…pipinya..”

Juan mendaratkan ciuman pada setiap yang disebutnya.

“Dan ini yang paling cantik”, ucap Juan dengan ibu jarinya yang mengusap belah bibir bawah Difa. Sebelum kemudian mengangkat sedikit dagu itu dan kembali menciumnya.

Keduanya bercumbu, membiarkan lidah saling menyapa. Suara lumatan dan kecapan bibir yang bertumbuk memenuhi sudut ruang kamar.

Difa menyerah. Dirinya tak lagi mencoba lari dan menghindar. Juan menguarkan feromon yang cukup kuat, membuatnya kini seperti lumpuh. Ia tak ada tenaga untuk bangkit, sekedar mengangkat kakinya saja ia kesulitan. Dalam batinnya Difa mengucap ‘Apapun yang terjadi setelah ini, hanya akan menjadi bagian dari memori’

Menit berlalu kini Juan sudah berada pada aksinya. Helai kain yang menyelimuti tubuh keduanya sudah lucut, terbuang di lantai kamar.

Difa melenguh saat merasakan ruas jari Juan yang melewati lubangnya, bergerak memutar membawa lubricant itu terbagi rata didalam. Juan tak ambil diam, ia pun mengecap setiap sisi leher Difa menghisap sekuatnya hingga bekas kemerahan tertinggal menghiasi kulit putih seorang dibawahnya itu.

“Juannhh..”, desahan tak lagi mampu Difa tahan saat Juan kini telah menambah jumlah jari yang ia masukkan dibawah sana. Bergerak keluar dan masuk dengan ritme yang semakin intens, ditambah jemarinya yang lain memainkan milik Difa bergerak naik turun.

“Juan, please stop udah jangan..ughhh uhukk ”, Difa tersedak air liurnya sendiri saat dirinya dimasuki dalam satu kali hentakan. Tanpa aba-aba. Rasa sakitnya menjalar seperti lubangnya telah dikoyak sedemikian rupa, air matanya mengalir begitu saja turun melewati pelipis.

Juan seperti kesetanan, tak membiarkan jeda menguasai ia lantas melanjutkan pergerakannya. Membiarkan lubang sempit hangat itu mengapit sempurna miliknya. Bergerak dengan pace yang ia atur.

Suara decit ranjang dan kulit yang saling bersentuhan menjadi musik yang menghiasi setiap sudut ruangan.

Juan mengangkat sebelah kaki Difa menumpukannya pada pundak, membuka akses lebih leluasa baginya untuk bergerak. Menunduk mendekatkan wajahnya pada Difa kembali mengulum bibir tebal itu dan memainkan lidahnya disana. Tangannya yang tak dibiarkan menganggur, meraba dimana letak puting cantik itu berada memilin memutar disana memberi rangsangan lebih pada seorang yang dikungkungnya.

Difa tak lagi bisa berfikir jernih, suara desahan yang awalnya ia tahan kini dibiarkan keluar begitu saja. Decit ranjang yang terdengar semakin sering menandakan pergerakan dibawah sana semakin cepat ritmenya.

Difa tak kuasa, tangannya meraih lengan Juan meremasnya kuat menjadikan pegangan, ia mendorong Juan untuk menjauh melepas pagutan dan mendesah dengan leluasa. Juan yang melihat itu sebagai tanda, semakin mempercepat geraknya hingga Difa membusungkan dada dan mencapai puncaknya.

Juan menyeringai. belum sempat mengatur nafas, Difa dibuat gila lagi dengan Juan yang menggerakkan kejantanannya dengan brutal. Difa dibuat lemas, tenaganya seperti terserap bumi kini hanya mampu meremat bantal disampingnya. Hingga dirinya sampai pada kedua kali saat Juan mendapat pelepasan yang pertama. Membiarkan cairannya meluber didalam lubang anal cantiknya itu.

Juan menjatuhkan tubuhnya, membawa Difa dalam dekapan dadanya. Keduanya mencoba mengatur nafas yang masih memburu. Difa membuka mata, menengadah memandang wajah orang yang dicintanya.

Dalam hati ia berdoa,

“Tuhan, jika esok hari dia melupakan semua ini maka berikan aku hal yang sama. Kumohon hilangkan segala ingatan yang kusimpan malam ini”

Pada kenyataanya, doanya tak terkabul. Benar Juan melupakan segala yang terjadi, tapi tidak dengan dirinya. Difa ingat, setiap detail kejadian malam itu dia mengingatnya dengan jelas tanpa terkecuali.

-end of flashback-

Juan berlari menuju gedung direktorat saat ia mendengar kabar yang mencengangkan. Dari semua orang, mengapa justru dirinya yang menjadi orang terakhir yang mengetahui kabar ini.

“DIFA!!!”, Teriaknya saat melihat seseorang yang ia kenal dekat itu tengah berjalan keluar dari gedung.

“Difa lo udah gila?!, Lo ngapain hah?”, Dengan nafas yang masih memburu Juan mencerca Difa dengan pertanyaannya.

“Ju, gue minta maaf”, ucap Difa sambil memandang sahabat didepannya.

“Kenapa lo gak cerita ke gue? Kenapa gue malah tau dari orang lain? Dan kenapa lo milih buat drop out kayak gini?”

“Juan, gue minta maaf karena semua ini mendadak. Gue harus pergi”, Difa mencoba memberi penjelasan.

“Pergi kemana? Gak ada. Lo gak boleh pergi. Lo tetep disini”, Juan tak membiarkan Difa bicara ia melanjutkan tuturnya

“Lo pernah bilang ke gue kalo kita bakal raih cita-cita kita nanti. Kita bakalan lulus bareng sukses bareng. Lo bilang kita akan selalu jalan berdampingan buat support satu sama lain. Gue gak tau se-stress apa lo sama persoalan kuliah ini tapi lo harus inget lo punya gue dif, lo bisa minta tolong ke gue”

Difa menghela nafasnya pelan, memandang tepat pada kedua bola mata sahabatnya itu.

“Juan, semua yang terjadi diluar kuasa gue. Dengan segala pertimbangan gue udah mutusin buat keluar. Itu jalan satu-satunya”

“Pertimbangan apa difa? Lo bahkan gak tanya pendapat gue kan? Udahlah lo cuma stress sementara doang. Mana sini berkasnya, gue anterin ngurus lagi. Kita cabut pengajuan drop-out lo”

Juan menggandeng Difa kembali menuju kearah gedung. Bermaksud untuk membatalkan segala rencana yang telah Difa susun.

“Gue gak bisa Ju”, Difa terdengar merengek.

“Bisa. Lo bisa. Ada gue”, jawab Juan.

“Gue beneran harus pergi”

“Gak ada, kita selesain ini dulu baru...”

Gue hamil

Dua kata itu mampu membuat Juan membungkam dan berhenti melangkah. Juan mematung, menoleh kearah seorang dibelakangnya dan menatap intens.

What?”, Ucapnya terkejut. “What did you say?”

Difa hanya terdiam. Ia tahu Juan mendengar dengan jelas pernyataan nya.

“Siapa dif?”, Kali ini Juan kembali bertanya.

“Siapa alpha kurang ajar itu hah?”

Bukannya menjawab Difa hanya mengulas senyum.

“Jawab gue difa”, ucap Juan menuntut jawaban.

“Ada. Gak penting juga”

“Gak penting lo bilang? Dia yang udah bikin lo kayak gini, lo gak minta pertanggung jawaban ke dia?”

“Gak akan ada bedanya gue minta tanggung jawab atau nggak. Keputusan gue udah bulat”

“Dimana rumahnya biar gue samperin”

“Gak bisa, Ju”

“Gak bisa kenapa? Biar aja kasih tau gue biar gue habisin sekalian”, Juan menggebu membiarkan emosi menguasai dirinya.

“Lo gak akan pernah bisa ketemu sama dia”

“Kenapa? Emang dia dimana?”

“Bukan masalah dimana, tapi lo gak akan pernah bisa nemuin dia. Diantara semua orang, cuma lo yang gak bisa ketemu langsung sama dia. Mungkin lo bisa melihat secara gak langsung, tapi lo gak bakal bisa ketemu face to face sama dia. Sampai kapanpun”

Juan memicingkan kedua matanya, alisnya mengerut. Sebegitu cintakah Difa pada orang itu hingga dirinya tak diperbolehkan untuk bertemu. Kiranya itu yang sedang menyelimuti fikirannya.

“Secinta itu lo sama dia?”, Juan menyuarakan apa yang ada dibenaknya.

Difa terdiam, menunduk cukup lama dan menjawab dengan suara yang sangat lirih.

“Iya”, jawabnya.

“Yaudah lo pergi sana sama alpha lo itu. Lo gak perlu lagi buat ketemu sama gue karena lo udah ada pendamping sekarang. Makasih buat selama ini dif, semoga lo bahagia”

Selepas kalimat itu keluar dari mulut Juan, sang tuan berbalik berjalan menjauh dari Difa.

Hari itu, menjadi kali terakhir keduanya bertemu.