Lilylilacc
11 min readSep 6, 2022

— Tentang Taehyung.

tw // kecelakaan, accident, minor character death.

Jeongguk menghela napas kemudian membuka matanya seraya menatap langit-langit kamar kos yang telah ditempatinya sejak menjadi mahasiswa baru sampai sekarang menempuh semester enam. Jeongguk memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena badannya yang lengket dan penuh keringat, tidak sepenuhnya berbohong pada Yoongi karena rasanya agak tidak sopan jika bertemu Yoongi dalam keadaan lusuh, ia tidak ingin membuat kesan pertama yang buruk dengan kakak Taehyung itu. Jeongguk menyugar rambutnya ke belakang, menghela napas. Pikirannya menggantung pada pesan yang dikirimkan Yoongi beberapa saat lalu.

‘Ini semua hanya tentang Taehyung.’

Jeongguk berdecak pelan lalu bangun, menegakkan tubuhnya untuk duduk dengan kaki menjuntai, menyentuh lantai keramik. Dia mendesah karena dinginnya keramik yang menyengat karena hujan yang tadi mengamuk diluar dan baru berhenti saat ia sampai di kos-kosan, menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Tetesan air hujan masih ada walau tidak sehebat tadi. Jeongguk melirik jam weker diatas nakas yang tepat berada disebelah tempat tidurnya, kemudian bergegas untuk berdiri, memakai jaket dan bersiap untuk menemui kakak sepupunya Taehyung, Yoongi.

Seumur hidupnya, Jeongguk jarang merasakan perasaan seperti ini, dia gelisah dengan bayangan-bayangan yang menghantuinya. Sejak awal mengenal Taehyung, Jeongguk sudah agak curiga dengan kehidupan Taehyung tapi dia tidak terlalu memikirkannya, justru berbanding terbalik dengan sekarang. Semenjak mengenal Taehyung lebih jauh, Jeongguk merasa ada suatu tarikan dari dalam dirinya untuk selalu memastikan Taehyung aman dan baik-baik saja, ia gelisah untuk beberapa saat dan Jeongguk membencinya, membenci perasaan yang membuatnya tidak fokus belakangan ini. Kakinya beranjak membuka pintu kos dan berjalan keluar kamarnya dengan perasaan berkecamuk, berharap tidak akan terjadi apapun pada Taehyung, berharap Yoongi akan menyampaikan hal yang akan membuat perasaannya lega dan sedikit mengangkat beban didadanya.

*

Jeongguk merapatkan jaket kulit berwarna hitam yang dipakainya dan berjalan perlahan, melangkah ke dalam cafe dengan pandangan menelisik, menyipitkan matanya, mengabsen keseluruhan isi cafe. Yoongi memberitahunya bahwa dia duduk di arah jam dua dari pintu masuk cafe, berada disudut dekat jendela.

Jeongguk menemukannya.

Yoongi dengan rambut cokelat pekat, dia pucat, kulitnya seputih susu dan Jeongguk agak terkejut ketika melihatnya. Matanya kecil, tajam nan menawan seperti kucing. Dia agak nampak dingin dan menyembunyikan wajah kagetnya saat mendengar Jeongguk berdehem didepannya.

“Yoongi?" Sapa Jeongguk menyapa, ia agak kikuk.

Yoongi berdehem, mengangguk singkat, menggidikkan dagunya pada kursi didepannya.

“Duduk.” Balasnya dan Jeongguk bergegas duduk, mengambil kursi tepat didepannya. Ada segelas americano dan juga gelas lain yang berisikan kopi? Jeongguk tidak terlalu yakin.

“Gue pesenin coffe latte, gue ngga tau lo suka atau ngga.” Jeongguk berdehem dan mengangguk. “Gue suka kok, thanks.” Sahutnya canggung, menggaruk tengkuknya, agak merasakan sensasi yang membuatnya tidak nyaman seketika.

Yoongi menyesap americano dengan cepat dan matanya memicing menatap Jeongguk. “Jadi lo, mas gguk… yang sering diceritain Taehyung?”

Jeongguk terasa seperti berada dalam ujian lisan bersama dosen killer yang jika salah berucap, ia akan mendapatkan nilai C dimata kuliahnya. Ia menelan ludahnya, bertambah gugup seketika.

Jeongguk berdehem, agak aneh mendengar sapaan khas yang dia tujukan pada Taehyung itu. “Iya, gue setahun lebih tua dari Tae.” Balasnya dan Yoongi mengangguk. “Taehyung akhir-akhir ini sering cerita ke gue.” Ucap Yoongi agak rileks namun mata tajamnya tetap mengintimidasi Jeongguk.

“Oh ya?” Kata Jeongguk agak merasakan suasananya sedikit mulai mencair. “Cerita tentang apa?”

“Dia punya temen baik yang nemenin dia ngobrol kalo gue ngga ada. Namanya mas Gguk.

Ganteng kak Yoon, Tae suka.” Kekeh Yoongi diakhir kalimatnya, ia menyeringai, menirukan bagaimana Taehyung berucap dan Jeongguk merona mendengarnya. Pipinya terasa panas dan hatinya menghangat tiba-tiba saat Taehyung bercerita tentang dirinya pada saudara terdekatnya.

“Sebelumnya gue mau bilang makasih karena udah jadi temennya Taehyung. Gue bersyukur dia kenal sama lo dan kalo dipikir-pikir gue emang ngga bisa ada buat Taehyung akhir-akhir ini karena gue sibuk mau ngelarin skripsi sama ngurus beberapa hal lain yang dititipin keluarga Taehyung.” Jeongguk mengangguk paham, banyak pertanyaan dikepalanya yang ingin ia lontarkan pada Yoongi saat ini. Semuanya terlalu mendesak ingin keluar sampai ia bingung harus mengeluarkan yang mana dahulu untuk ditanyakan pada Yoongi, alih-alih begitu, Jeongguk hanya diam, membisu tidak menggerakkan mulutnya sama sekali.

Diam-diam ia mengutuk dalam hati.

“Gapapa, gue yang mau karena gue..” Jeongguk terdiam, berpikir sejenak untuk melanjutkan kalimatnya.

Yoongi mengangkat sebelah alisnya. “Ya?”

“Mungkin perasaan gue belum sebesar itu, tapi gue sayang sama Taehyung.” Ujar Jeongguk dengan mantap. “Walaupun kadang gue masih ngerasa…. penasaran?

Kayak, Taehyung itu kenapa? Ada yang salah.. bukan, bukan salah. Ada yang janggal, ada yang bikin gue ngga yakin kalo dia baik-baik aja. Dia sebenarnya kenapa?”

Yoongi mengangguk agak menegakkan duduknya dan menatap Jeongguk. “Kata Tae, lo bakalan ngajak dia pergi?” Yoongi bertanya hal lain, memilih mengabaikan pertanyaan Jeongguk.

Jeongguk mengangguk. “Bener, gue mau ngajak dia tapi dia belum yakin. Dia takut lo ngga ngizinin.”

“Emang gue ngga ngizinin.” Kata Yoongi membalas, Jeongguk terkejut lagi mendengarnya, ini akan sedikit sulit. Sama seperti percakapan mereka, Yoongi masih kekeuh dengan perkataannya tempo lalu.

Jeongguk mengerinyitkan dahinya. “Kenapa? Lo ngga bisa ngekang Taehyung. Dia kesepian, dia ngga mungkin sendirian terus-terusan dan ngga tau dunia luar. Lo ngga bisa egois ninggalin Taehyung sendiri sedangkan lo bahkan ngga 24/7 sama dia.”

Yoongi menggeleng, “Lo ngga ngerti.”

“Kalo gitu buat gue ngerti.” Yoongi menatapnya lama, Jeongguk balas menatapnya, piercing dibibirnya bergetar karena lidah Jeongguk memainkannya.

“Tolong kasih tau gue, Taehyung kenapa. Dia pernah kecelakaan kan? Abis itu dia kenapa? Dia bilang kadang masih suka pusing, dia oke kan?”

Yoongi menatap dengan mata membulat kearah Jeongguk, ia tampak terganggu. “Lo tau… sejauh apa?”

“Gue nanya ke Taehyung, dia bilang pernah tapi dia ngga inget.” Balas Jeongguk. “Yoongi gue tau lo pengen ngejagain Taehyung, takut Taehyung kenapa-napa.

Sama, gue juga gitu. Gue juga pengen ngejagain Taehyung, gue pengen mastiin Taehyung ngga kesepian lagi, gue pengen ngeliat Taehyung lebih bahagia lagi kedepannya. Gue pengen ajak Taehyung kemanapun gue pergi, gue pengen Taehyung ngga ngerasa sendirian lagi.” Jeongguk berujar dengan napas tercekat. “Gue.. gue pengen tangan Taehyung selalu ada dalam genggaman gue, mastiin dia hangat, ngga kedinginan.” Lanjutnya sambil menatap keluar jendela, membayangkan senyum Taehyung yang selama ini ia lihat difoto yang dikirimkan Taehyung. Hatinya berdesir dengan menyenangkan, menghangat mengingat senyuman Taehyung.

“Tolong kasih tau gue, gue harus ngapain? Please Yoongi, sekali aja pikirin juga gimana Taehyung, lo ngga mungkin ngekang dan biarin dia sendirian terus menerus. Mau sampai kapan?” Yoongi terdiam seketika, Jeongguk mendesah, rasa nyeri menyelinap didadanya.

“Bahkan alamat rumah aja dia ngga tau? Itu ngga wajar untuk seumuran Taehyung Yoon. Dia baik-baik aja kan?” Jeongguk berujar gusar dan mendesak Yoongi yang hanya terdiam membatu, tidak menyangkal dan juga tidak menyela perkataan Jeongguk.

Yoongi mengatupkan bibirnya, menatap keluar jendela dan Jeongguk menghela napas berat, diam-diam mengutuk lagi dalam hati, ingin mengumpat seperti pesan-pesan yang pernah dikirimkannya pada Yoongi.

“Jeongguk.. Taehyung pernah kecelakaan.” Setelah berdiam beberapa saat, Yoongi menatapnya sebentar dan menunduk, memejamkan matanya seraya menghela napas. “Dia sekeluarga kecelakaan, semuanya ngga ada yang selamat kecuali Taehyung.

Lo tau deadline berita yang mobil masuk jurang?”

Jeongguk memicingkan matanya, mengingat kembali berita tentang kecelakaan yang terjadi akhir-akhir ini. Ia menggeleng, “Gue ngga tau, gue cuma tau yang setahun belakangan? Atau dua tahun ya?” Ujarnya ragu, tidak begitu yakin.

“Iya yang itu, mobil yang isinya sekeluarga masuk jurang dan ya.. itu mobil keluarganya Taehyung.” Jeongguk tersentak, pegangan tangannya pada kursi bergetar, rasa tidak nyaman menggerogoti Jeongguk dan itu menyebar keseluruh pembuluh darahnya, dadanya sesak seketika.

“Jadi itu… itu keluarga Taehyung?” Ujarnya dengan suara tercekat. Kepingan-kepingan puzzle diotaknya perlahan-lahan mulai menyatu. Menjadi jawaban yang terangkai perlahan-lahan, menjawab pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya, hal yang sudah Jeongguk duga tapi tidak menyangka kalau sampai separah itu.

Yoongi mengangguk. “Semuanya ngga ada yang selamat kecuali Taehyung. Taehyung.. itu juga udah nyaris ngga bisa ditolong, tapi bokapnya saat itu donorin darahnya buat Taehyung, milih buat selamatin Taehyung dulu.”

Jeongguk tercekat, tidak menemukan suaranya. Yoongi menatapnya lagi, “Lo kalau emang deket sama Taehyung akhir-akhir ini pasti sadar kalau dia emang berbeda dari yang lain. Efek kecelakaannya separah itu buat Taehyung.”

“Dia sering bilang kepalanya kadang pusing, dia sering lupa. Itu kenapa? Taehyung ngga ada sakit kan?” Jeongguk memburunya, suaranya bergetar dan Yoongi menatapnya dengan mata yang mulai memerah.

“Lo tau ngga.. gue udah bareng Taehyung dari kecil.. gue sayang banget sama dia, kita sama-sama anak tunggal. Gue hancur banget ngeliat dia saat itu.” Yoongi menggeleng-gelengkan kepalanya, menutup mulut dengan kepalan tangannya. Bernapas lewat mulut dan Jeongguk membayangkan jika dirinya berada diposisi Yoongi saat itu.

Itu menyakitkan, Jeongguk tidak bisa membayangkannya. Ia tidak mau mengalami hal seperti itu juga, tidak akan sanggup juga, pikirnya.

“Taehyung nyaris ngga bisa selamat, dia juga koma hampir setahun. Ngga ada hari tanpa ngeliat Taehyung yang makin lama makin kurus, ngeliat alat-alat banyak nempel ditubuhnya Taehyung, gue ngerasa hancur banget ngeliatnya.”

“Se..tahun?” Jeongguk menyahut dengan suaranya yang melirih, nyaris seperti bisikan.

“Taehyung koma, detak jantungnya lemah tapi ada, samar-samar. Keluarga udah bilang buat ikhlasin Taehyung, biar copot semua alat-alatnya, tapi gue yakin Taehyung bakalan sadar suatu hari ini.

Suatu hari yang ngga tau kapan.” Yoongi tertawa serak, terdengar pilu dan tepat menghantam dada Jeongguk.

Taehyung anak baik, manis, penuh perhatian, lembut dan menuruti perkataan Jeongguk, apapun yang Jeongguk minta ia sambut dengan senang hati. Siapa sangka kalau ia pernah mengalami hal berat seperti ini?

“Sampai akhirnya Taehyung sadar, dia buka matanya. Itu pas banget abis adzan subuh, gue nangis banget sih waktu itu. Kayak.. doa gue selama ini terjawab. Lo tau gue seneng banget sampe nangis ngga berenti-berenti. Pas sholat pun gue nangis. Kejaiban Tuhan memang ada dan gue bersyukur banget saat itu, sampai sekarang juga." Yoongi mendongakkan kepalanya ke atas, diiringi dengan kekehan paraunya.

“Lo tau ngga Jeongguk.. Taehyung itu orang yang paling kuat yang pernah gue kenal. Abis dia sadar, dia ngga nanya apapun. Pandangan matanya emang sayu, ngeliat langit-langit kamarnya, air matanya ngalir terus tapi dia tetep senyum. Suster maupun dokter yang dateng seneng ngeliat perkembangan Taehyung. Dia kuat, the strongest person I've known.” Jeongguk mengangguk, teringat dengan pesan-pesan Taehyung.

‘Mas gguk tenang saja, tae ini kan kuat!’

‘Tidak apa-apa kok, tae kuat!’

“Abis itu dia mulai coba terapi buat jalan, lo tau pasti orang koma dalam jangka waktu lama pasti tubuhnya butuh adaptasi lagi pelan-pelan.” Jeongguk mengangguk, “Tae.. sekarang.. udah bisa jalan kan?”

Yoongi mengangguk dan tawanya menyusul setelah itu. “Dia bisa, dia kuat, ingat? Dia cepet belajar, gue bangga banget sama Taehyung. Sampai dia mulai ngeh, nyokap bokapnya ngga pernah ngeliat dia dari dia sadar sampe sekarang.”

Jeongguk merasakan sesak menyebar didadanya lagi. Berandai-andai jika saja ia mengenal Taehyung lebih cepat. “Taehyung… gimana?”

“Nyokap gue ngejelasin pelan-pelan dan saat itu Taehyung nangis. Nangisnya ngga kenceng, ngga teriak-teriak, dia cuma nangis dan minta dianterin ke makam. Dia tegar banget, gue salut sama dia. Bagi gue, dia masih adik kecil gue dan akan selamanya begitu. Ngeliat dia berusaha nyembunyiin sakitnya gue ngga bisa. Gue bujuk Taehyung buat cerita apapun yang dia rasain, gue bilang dia ngga akan sendirian karena ada gue, Taehyung harus manja sama gue, karena dia cuma punya gue sama keluarga.” Suara Yoongi nyaris berbisik.

“Terus kenapa dia masih sendirian? Lo tinggal ngga sama dia? Orang tua lo?”

“Perusahaan bokapnya yang diluar diurus bokap gue, orang tua gue ngga disini. Jadi otomatis gue bolak-balik ngeliat Taehyung sama ngejalanin bisnis juga yang disini. Semuanya kacau, tapi kita bisa perlahan-lahan buat bangkit lagi.

Gue emang ngerasa bersalah banget kadang cuma ninggalin Taehyung sama Bibi dan Paman dirumah. Tapi gue juga takut kalo ada orang baru, bikin Taehyung kenapa-napa nanti.” Kata Yoongi.

“Tae pernah bilang kalau dia ngga keluar rumah nyaris delapan bulan. Itu kapan?”

“Bukan delapan bulan tapi tujuh belas bulan karena diitung dari masa dia koma dan buat dia berobat lagi. Kadang masih kontrol sama dokter gue temenin. Tapi akhir-akhir ini, gue lebih sering datengin dokter ke rumah buat ngecek perkembangan Taehyung.” Yoongi mengangkat bahunya. “Semuanya berjalan lama banget, butuh waktu dan untungnya kita udah diposisi sekarang karena Taehyung ngga gampang nyerah. Gue ngga tau lagi harus bilang apa, tapi dia beneran sekuat itu.”

“Jadi dia sering lupa itu masih efek dari koma?”

Yoongi mengangguk untuk kesekian kalinya. “Iya, kata dokter daya ingatnya emang agak mengalami penurunan karena abis tidur dalam jangka waktu yang lama. Seperti yang gue bilang, semuanya butuh waktu. Syukurnya Taehyung mau berjuang.”

Jeongguk seperti disiram oleh air dingin, lega membuncah didadanya dan rasa prihatin sekaligus ketika mendengarnya. Taehyung hebat, dia benar-benar kuat seperti yang ia bilang, seperti yang ia janjikan padanya.

‘Tae berjanji kalau tae akan selalu kuat mas Gguk.’

“Tapi lo ngga mungkin ngurung dia sendirian. Dia perlu tahu dunia luar Yoongi. Dia harus nerusin masa depannya.” Kata Jeongguk menuntut. “Lo jangan egois.”

Yoongi berdecih, tersenyum miring menatap Jeongguk. “Lo tau apa sih? Gue lebih tau Taehyung, dia adek gue.”

“Gue emang ngga kenal Taehyung lama, tapi gue mau selama mungkin bareng Taehyung untuk kedepannya. Gue mau nemenin Taehyung dan ngeliat perkembangan dia juga. Lo ngga boleh egois ngurung Taehyung kayak gitu, dia harus ngelanjutin kuliahnya juga. Jangan bikin Taehyung ngerasa sendirian Yoon.

Seperti yang lo bilang, dia ngga pernah ngeluh. Tapi lo tau ngga sih? Dia kesepian, dia sendirian, dia ngga tau apa-apa. Dia butuh ngeliat dunia luar lagi Yoongi. Dia butuh teman.”

“Tapi gue ngga bisa Jeongguk, gue ngga mau Taehyung kenapa-kenapa.” Balasnya tajam, menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan Jeongguk.

“Ada gue. Gue ada buat Taehyung. Mungkin ini kayak omong kosong doang buat lo, tapi izinin gue..

Yoongi izinin gue buat ngasih tau Taehyung dunia luar, gue bakalan bawa Taehyung kemanapun gue pergi, gue ngga janji tapi gue bakalan usahain bikin Taehyung aman sama gue. I want to be his safe place.”

Yoongi menatapnya lama dan Jeongguk balik menatapnya. “I’m a man and you know, a man will keep his words.” Kata Jeongguk lagi.

Yoongi mendesah, bunyi dentingan jam dan lalu lalang orang yang silih berganti masuk dan keluar dicafe yang semakin ramai dijam ini. Yoongi menghela napas kemudian melirik jam yang melingkar ditangan kirinya. Sudah pukul delapan malam, ia teringat Taehyung dan mengumpat begitu saja.

“Gue harus pergi.”

Jeongguk menyentaknya untuk duduk kembali. “Jawab gue dulu Yoongi. Please give me a chance to prove it.”

Yoongi mendesah, menggeram tertahan. “Gue ngga bisa kasih jawaban sekarang, gue pikirin dulu. Sekarang gue mau pergi.”

“Gue ikut.” Kata Jeongguk bersiap-siap juga.

“Ngapain?”

Jeongguk mengangkat alisnya. “Buat ketemu Taehyung? I want to see him in person.”

Yoongi berdecak dan mengelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ide Jeongguk. “Lo ngga bakalan ikut.”

Jeongguk mengeringai, “Kalo gitu pilih, lo iyain tawaran gue atau gue bakalan ikutin lo malem ini.”

“Lo bajingan sinting.” Sahut Yoongi berdecak sinis, merotasikan bola matanya.

Jeongguk menusuk pipi dalamnya dengan lidah, “And If I am?” Balasnya menantang dengan seringaiannya.

“Gue kirim pesan buat lo nanti.” Kata Yoongi setelah itu. Jeongguk menggeleng. “Gue ngga bisa pegang kata-kata lo.”

Yoongi terdiam untuk beberapa saat, menatap Jeongguk tajam seperti akan menghunuskan pedang runcing pada lehernya.

“Fine, lo boleh. Nanti gue bilangin sama Taehyung. Sekarang bisa lepasin gue? Gue udah janji sama Taehyung.”

Jeongguk mengangguk dan tersenyum senang. “Gue boleh ngajak Taehyung pergi?”

Yoongi mengangguk. “Gue pegang kata-kata lo, kalo sampe Taehyung kenapa-kenapa, Taehyung ngadu ke gue kalo lo macem-macem, siap-siap leher lo gue patahin.”

Jeongguk terkekeh, “Oke, I will. Lo tenang aja, gue bakal jagain Taehyung, he’s my baby, you know?”

“But Yoongi…” Yoongi yang sudah akan berdiri menatap Jeongguk dengan satu alis terangkat.

“Ini, gue titipin sesuatu buat Taehyung.” Jeongguk meletakkan kepalan tangannya pada tangan Yoongi yang ia jangkau barusan.

“Hah?” Balas Yoongi tidak mengerti.

This is my heart. Gue titip sampai gue ketemu langsung sama Taehyung.”

Yoongi mendelik, agak geli mendengar pernyataan Jeongguk. Ia menggeleng diikuti kekehannya. “Omongan lo buaya banget.” Komentarnya dan Jeongguk tergelak, sudah sering kali mendengar kalimat itu.

“Gue sayang Taehyung, cuma Taehyung. Titip ya? Tolong dijaga baik-baik, bilangin gitu.”

Yoongi merotasikan bola matanya namun tetap mengangguk. “Nanti gue sampein. Udah kan? Gue mau pulang.”

“Yep, hati-hati. Make sure Taehyung will happy to night, okay?”

“Lo ngomong apaan sih? Gue ini kakaknya.”

Jeongguk tergelak. “Gue soon to be pacarnya.”

Yoongi meliriknya sinis. “Mimpi lo ketinggian kayaknya.”

“Apapun tentang Taehyung gue bakal wujudin jadi kenyataan, so, be ready ya kak Yoongi?” Kata Jeongguk dengan kedipan dimatanya.

Yoongi hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengatakan apapun dan berjalan duluan keluar cafe, meninggalkan Jeongguk sendirian.

Jeongguk mendesah, memikirkan ingin melihat Taehyung dan menghadiahkannya sebuah pelukan yang hangat. Melontarkan kalimat-kalimat pujian karena sudah bertahan sejauh ini. Karena demi apapun, Jeongguk tidak seniat ini untuk memiliki seseorang didalam hidupnya.

Sampai ia bertemu Taehyung.

Jeongguk akan memastikan Taehyung aman bersamanya, didalam rengkuhannya. Jeongguk akan berusaha, setidaknya Taehyung akan memiliki salah satu kenangan terindah dan itu harus bersama dirinya, bersama Jeongguk.

Jeongguk akan memberikannya, pada Taehyung.

Apapun itu, asal Taehyung bahagia, Jeongguk akan mengusahakannya.