Seputar Keimanan: Sejak Kapan Anda Beriman?

Tomanurung
14 min readMay 13, 2020

--

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, agar kamu bersyukur.

(QS. An-Nahl 16:78)

Sahabatku…

Sejak kanak-kanak hingga umur dewasa, penulis seringkali mendengar dari para guru agama islam dan juru dakwah yang mengatakan, bahwa manusia sesungguhnya sudah mengenal Allah, Sang Pencipta manusia, sejak manusia masih berupa janin dalam Rahim ibunya. Hal ini ditandai dengan adanya dialog antara Allah dengan sang janin (calon manusia) di dalam Rahim. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Dialog tersebut merujuk pada firman Allah dalam surat Al-A’raf (7) ayat 172. Ayat ini dijadikan dalil bahwa sejak dalam kandungan, manusia sudah menyadari keesaan Allah sebagai dasar keberimanan seseorang, sehingga tidak ada alasan bagi manusia ketika dia hidup di dunia untuk mensyarikati Allah, meskipun keluarga dan lingkungannya adalah orang-orang kafir-musyrik. Pada dasarnya manusia sudah mengenal Allah dan sudah menyadari keesaaan Allah sejak dalam kandungan dan sudah menjadi fitrah manusia mengenal siapa Sang Penciptanya. Demikian doktrin spiritual yang dipahami oleh mayoritas umat Islam di dunia secara turun temurun.

Doktrin tersebut juga bersemayam sekian lama dalam diri penulis, puluhan tahun lamanya, hingga akhirnya penulis mulai merenung, terus berfikir, dan memberanikan diri untuk mendobrak doktrin agamis tersebut. Penulis hanya mulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana yang menggelitik akal kesadaran penulis. Bagaimana mungkin sebuah janin yang belum sempurna proses penciptaannya dapat berdialog dengan Allah di dalam perus ibunya? Bukankah si janin masih sangat bergantung pada ibunya? Sebab janin dapat mendengar suara dengan bantuan pendengaran ibunya, lalu bagaimana mungkin terjadi dialog yang tidak di sadari oleh sang ibu ? Bukankah seseorang dapat mengetahui atau mengenal sesuatu karena adanya proses “belajar” bukan sesuatu yang tiba-tiba ada dalam kesadaran seseorang?

Secara spiritual, Allah Yang Maha Mengetahui tidak mungkin (mustahil) menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya yang saling bertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Kalaupun secara tekstual ada beberapa ayat yang terkesan berbeda, sesungguhnya ayat itu bukanlah hal berbeda dan bertentangan. Justru di sinilah letak rahasia dan dan keindahan ayat-ayat Allah. Dia bukanlah Tuhan yang pelupa, tetapi Dia menurunkan firman-Nya secara berangsur-angsur sesuai kondisi sosial yang melingkupinya. Hal ini dilakukan demi kepentingan orang-orang beriman, karena setiap ayat yang diwahyukan harus dapat dipahami dengan benar dan dilaksanakan pula dengan benar. Jika firman Allah diturunkan sekaligus, dapat dibayangkan betapa berat dan susahnya orang-orang beriman memahami dan menjalani firman-firman-Nya. Ayat-ayat yang terkesan bertentangan, sesungguhnya adalah ayat-ayat yang saling menguatkan. Terpulang kepada kemampuan manusia apakah dapat mengurai dan mencari titik temu dari ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya merupakan rangkaian cerita yang tersusun indah menjadi satu bacaan scenario dari Sang Sutradara kehidupan alam semesta, sehingga satu cerita dengan cerita lainnya merupakan episode yang berkelanjutan hingga akhir.

Demikian halnya jika kita ingin mencerdasi dan melakukan kritik atas pemahaman agamis dari ayat 172 surat Al-A’raf (7) tersebut. Pemahaman ayat ini tidaklah mungkin berbeda dan bertentangan dengan pemahaman ayat-ayat lainnya, tetapi sejatinya harus saling munguatkan. Jika terjadi kesalahpahaman atas ayat-ayat tersebut, maka yang salah bukanlah firman-firmannya (ayat-ayat) Allah, tetapi kesalahan ada pada pemahaman dan penafsiran manusia. Ini adalah lansadan pertama.

Kedua, manusia adalah makhluk yang berfikir. Oleh karenanya Allah selalu menyuruh orang-orang beriman untuk berfikir, merenung dan mengkaji segala yang ada dalam kehidupan ini. Allah sangat senang dengan orang-orang yang ingin memaksimalkan sarana berfikir yang telah Dia berikan secara khusus kepada manusia. Sebaliknya, Allah sangat murka kepada orang-orang yang tidak mau menggunakan akal pikirannya. Al-Qur’an adalah Kitab Petunjuk bagi orang-orang berakal, yakni orang-orang yang ingin memaksimalkan akal pikirannya untuk dapat memahami apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah untuk dirinya dan alam sosial manusia. Sangatlah benar jika Allah berfirman dalam surah Yunus (10) ayat 99–100 berikut ini:

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ

النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ

Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Menjadi orang beriman adalah sesuatu yang tidak boleh dipaksakan apalagi diwariskan kepada siapa pun, karena iman itu adalah anugerah Tuhan. Salah satu syarat untuk mendapat anugerah-Nya tersebut adalah dengan menggunakan akal. Sehingga untuk menjadi manusia beriman harus harus menggunakan akal, bukan karena warisan atau hanya perasaan subyektif.

Sahabatku …

Penulis hanya ingin menegaskan bahwa dalam prinsip wahyu Allah, tidak ada ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang saling bertentangan dan tidak ada pula ayat-ayat Allah yang kontra dengan nalar (akal pikiran) manusia. Semua ayat-ayat Al-Qur’an bersifat ilmiah dan alamiah. Lalu apa hubungannya dengan doktrin agamis tersebut ?

Untuk lebih jelasnya, mari renungkan kembali surah Al-A’raf (7) ayat 172–173 berikut ini :

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

اَوْ تَقُوْلُوْٓا اِنَّمَآ اَشْرَكَ اٰبَاۤؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّنْۢ بَعْدِهِمْۚ اَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”

Dengan menggunakan dua prinsip wahyu di atas sebagai dasar dalam memahami wahyu Allah, mari kita renungi dan pahami maksud dari firman Allah tersebut. Setidaknya ada beberapa kata kunci yang harus di kritisi dari ayat-ayat di atas.

Pertama, kata “Bani Adam” yang sering diterjemahkan dengan “Keturunan Adam”. Tentu saja Adam yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Adam yang dikisahkan pada ayat-ayat sebelumnya dan pada ayat-ayat di surat-surat lainnya. Misalnya ingatan Allah kepada Bani Adam pada ayat 26, 27, dan 31 dalam surat yang sama (Al-A’raf). Sebelumnya, pada ayat 11 sampai 25 telah dikisahkan tentang Nabi Adam yang telah tergoda oleh tipuan manusia setan yang dikenal dengan nama Iblis. Iblis beserta kawanannya adalah komunitas yang dijadikan alat oleh Allah untuk menguji keyakinan dan ketaatan (keimanan) Adam dan para pengikutnya. Dengan demikian, kata “Bani Adam” lebih tepat dimaknai dengan keturunan generasi spiritual (iman) Nabi Adam, BUKAN keturuan biologis dari Nabi Adam (seperti yang kita pahami selama ini).

Bani Adam adalah musuh ideology dari Bani Iblis, sebagaimana Nabi Nuh merupakan musuh dari Raja Kanaan (Duramsyil bin Fumail), Nabi Ibrahim adalah musuh Raja Namrud, Nabi Musa adalah musuh dari Raja Fir’aun, Nabi Isa adalah musuh dari Raja Herodes, dan Nabu Muhammad adalah musuh dari Abu jahal. Jika “Bani Adam” dipahami dengan seluruh ummat manusia sebagai generasi biologis Nabi Adam (karena di anggap sebagai manusia pertama di dunia), maka pertanyaannya, kepada siapa peringatan Allah tersebut ditujukan? Bukankah pada ayat tersebut Allah berbicara kepada orang-orang beriman melalui Rasulullah Muhammad, bukan kepada seluruh masyarakat Mekah? Ayat-ayat tersebut diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad dan orang-orang beriman agar mereka dapat menjaga ketaatannya dari berbagai tipu daya setan (musuh orang-orang beriman) seperti yang pernah terjadi pada diri Nabi Adam as. Beserta ummatnya.

Silahkan perhatikan kembali ayat 26 dan 27 dari surat Al-A’raf tersebut:

يَا بَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْاٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Hai generasi Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai generasi Adam, Janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, Ia menanggalkan dari keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

Sangatlah jelas bahwa yang dimaksud dengan kata “Bani Adam” dalam Al-Qur’an adalah generasi spiritual (iman) Nabi Adam, bukan generasi biologis Nabi Adam. Apa yang terjadi pada kisah adam dan pengikutnya harus menjadi pelajaran (ilmu) bagi Rasulullah Muhammad dan orang-orang beriman. Hal ini dapat dimaklumi karena prinsip iman dari seluruh Nabi dan Rasul Allah adalah satu dan sama, yakni prinsip tauhid, La ilaha illa Allah, tidak ada ketaatan dan kepatuhan (pengabdian) selain kepada Allah, Tuhan semesta alam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran surah Al-Anbiya (21) ayat 25 berikut ini :

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka abdilah olehmu sekaian akan Aku”.

Kedua, kata “kesaksian” dan “kami menjadi saksi” yang sama-sama menitikberatkan pada kata “saksi”. Dari kalimat inilah muncul doktrin bahwa manusia sudah bersyahadat (bersaksi) sejak dalam kandungan. Mari kita cerdasi dan kritisi kalimat ini, “ Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Rabb Kami), kami menjadi saksi”.

Coba sahabat renungkan! Mungkinkah kejadian dan dialog tersebut terjadi dalam Rahim ibu, antara Sang Pencipta yang meminta pengakuan dari diri mereka (para janin)? Apakah mereka (para Janin) sudah pernah bertemu dengan Allah sehingga mampu memberi kesaksian akan Dia sebagai Rabb? Lagi-lagi doktrin agamis akan menyanggahnya dan bersikeras mengatakan, bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang fitrah pada setiap proses penciptaan manusia dan bagian dari ke-Mahakuasa-an Dia. Kita luput bahwa sesuatu yang fitrah itu adalah ciptaan Allah juga, terjadi secara alamiah dan tidak akan mungkin (mustahil) bertentangan dengan hukum Allah ilmiah (rasional) dan alamiah (natural).

Secara faktual, dalam kehidupan ummat manusia, seseorang yang dapat di ambil kesaksiannya atau menjadi saksi adalah orang-orang yang berakal, dewasa, dan mereka yang mengetahui (melihat atau mendengar) secara langsung tentang hal yang akan dipersaksikannya. Mungkinkah Allah akan bertanya kepada sesuatu yang masih berupa janin, bukan kepada manusia yang sudah sempurna secara fisik dan ruhaninya ? Orang-orang yang siap menjadi saksi atau di ambil kesaksiannya adalah mereka yang sudah mampu memaksimalkan sarana pendengaran, penglihatan,dan akal pikirannya. Bagaimana mungkin sebuah janin dapat menjadi saksi? Peristiwa dan dialog spiritual yang imajiner tersebut hanya dapat dilakukan antara Allah dengan generasi spiritual Adam yang sudah mampu mensyukuri pendengaran, penglihatan dan akal pikirannya untuk memahami ayat-ayat Allah yang terdapat pada alam ciptaan-Nya (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang terdapat pada Kitab Suci-Nya (ayat-ayat qauliyah), sehingga mereka dapat menjadi saksi. Mereka itulah generasi spiritual (iman) dari Nabi Adam as yang dijuluki Allah dengan “Bani Adam”.

Ketiga, selain beberapa kata kunci yang dapat mengantarkan kita dalam pemahaman dan penafsiran yang benar, kita pun dapat memperjelas makna ayat ini dan maksud peristiwa atau dialog tersebut. Maksud dari peristiwa “pengambilan kesaksian” dari Bani Adam tersebut dijelaskan dalam lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya (173), “(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang0 sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang sesat dahulu?”

Jelas sekali, bahwa maksud dari peristiwa atau dialog tersebut ditujukan kepada “Bani Adam” yang sedang menjalani kehidupan di dunia, BUKAN kepada para janin yang belum jelas kehidupannya, kelahirannya, kesehatannya, dan lingkungan di mana mereka akan lahir dan hidup. Bahkan para janin sendiri tidak mengenal siapa ibu mereka, karena masih dalam kandungan. Bagaimana mungkin para janin telah mengetahui akan cerita orang-orang tua mereka yang musyrik? Mustahil alias tidak ilmiah.

Sahabatku …

Mungkin Anda masih ragu dengan apa yang penulis jelaskan di atas. Mari kita gunakan ayat-ayat Allah yang lainnya untuk memperkuat renungan tersebut. Satu hal yang perlu ditegaskan ulang, bahwa tidak mungkin ayat-ayat Allah itu saling bertentangan dan tidak mungkin kontra dengan prinsip-prinsip ilmiah dan nalar manusia.

Pertama, sejak dalam kandungan hingga ummat manusia terlahir ke muka bumi, dia tidak mengetahui sedikit pun akan sesuatu. Dia terlahir bagai selembar kertas putih nan bersih. Seiring dengan tumbuh kembang dirinya, secara perlahan dia mulai memgetahui sesuatu dengan bantuan tiga sarana dasar yang Allah berikan pada setiap individu, yakni pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Proses ini secara tegas difirmankan Allah dalam surah An-Nahl (16) ayat 78 berikut ini :

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, agar kamu bersyukur.

Dari penegasan ayat di atas, jelaslah bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki pengetahuan apapun sebelum pendengaran, penglihatan, dan akal pikirannya dapat berfungsi dengan maksimal. Sehingga sanagtlah tidak rasional jika dikatakan, bahwa manusia sudah mampu mengenal Allah dan bersaksi akan keesaan Allah saat dia masih dalam kandungan. Tidak mungkin manusia sudah beriman sejak dia masih berupa janin. Bukankah menjadi orang beriman itu memiliki konsekuensi spiritual tersendiri dalam hidup dan kehidupannya? Bagaimana seorang yang sudah beriman dalam Rahim ibunya, kemudian dia dilahirkan, tumbuh dan besar menjadi seorang atheis? Apakah dia lupa bahwa dulunya dia sudah bersaksi akan keesaan Allah dalam Rahim ibunya? Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Para pemegang dokrin agamis berkeyakinan hal tersebut adalah peristiwa spiritual yang hanya disadari oleh Allah dan janin yang bersaksi dalam kandungan ibunya. Hal ini adalah sesuatu yang fitra bagi manusia, siapapun dia dan di manapun dia.

Sejatinya, penulis sepakat bahwa manusia pada fitrahnya telah memiliki kesadaran spiritual akan keesaan Allah, Sang Pencipta. Namun bukankah kesadaran spiritual seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik. Keluarga (orang tua) adalah lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesadaran spiritual seseorang, termasuk kesadaran dan ketauhidan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Rasulullah Muhammad pernah bersabda:

“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orangtuanya lah yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Belum lagi kalau kita kembali pada firman Allah dalam sudarh Yunus (10) ayat 100 yang sudah “dibacakan” sebelumnya, sangatlah jelas bahwa menjadi orang beriman itu adalah anugerah dan atas izin Allah. Menjadi orang beriman adalah hasil dari suatu proses proses pembelajaran spiritual, bukan sesuatu yang diwariskan secara turun temurun.

Kedua, untuk memperkuat renungan dan kritik di atas, mari kita ambil satu contoh kasus, yakni diri Rasulullah Muhammad. Sejak kapan Rasulullab Muhammad menjadi orang beriman? Apakah sejak ia dalam kandungan, sejak masih kanak-kanak, atau sejak beliu beranjak dewasa?

Mari sahabat renungkan dua firman Allah di bawah ini yang langsung menunjuk pada diri Rasulullah Muhammad sendiri, yakni pada surat Adh-Dhuha (93) ayat 7 :

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk,

Ayat ini turun di awal masa kenabian Muhammad dan Allah menceritakan bagaimana kondisi Muhammad sebelum mendapat perlindungan dari Allah dan mendapat petunjuk (wahyu) dari-Nya. Dengan tegas dikatakan, bahwa Dia mendapati kamu (Muahammad) dalam keadaan bigung atau tersesat (tidak mengetahui jalan kebenaran), lalu Allah memberinya wahyu sebagai petunjuk. Dengan demikian, sekitar 40 tahun lamanya beliu hidup pada jalan kesesatan, jalan yang dimurkai Allah, hingga Allah memberinya hidayah Jalan Kebenaran.

Renungkan pula surat Asy-Syura (42) ayat 52 berikut ini:

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا ۗوَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya Kamu (Muhammad) tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Pada ayat di atas dengan tegas Allah katakan, “… sebelumnya kamu (Muhammad) tidak mengetahui apakah Al-Kitab (wahyu) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu…”. Yang dimaksud dengan kata ganti “kamu” di ayat ini adalah Nabi Muhammad. Dengan demikian, seorang rasul Allah yang bernama Muhammad adalah seorang yang tidak mengetahui apakah iman itu sebelum mendapat wahyu (petunjuk) dari Allah. Sehingga sekitar empat puluh tahun lamanya, beliu belum menjadi orang beriman. Tanpa mempelajari dan memahami wahyu Allah, seorang tidak akan mengetahui apakah iman itu secara benar. Yang banyak terjadi adalah orang-orang yang merasa atau mengaku-aku dirinya beriman, padahal mereka sedikit pun tidak memahami wahyu Al-Qur’an. Coba perhatikan firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 60 berikut ini :

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada kepada thaghut, padahal mereka telah perintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Sahabatku …

Kembali kepada renungan dasar sebelumnya, “Sejak kapan Anda beriman?” Dengan beberapa ayat di atas seharusnya dapat menggugurkan doktrin agamis yang selama ini diyakini oleh ayoritas ummat islam, bahwa manusia telah beriman (mengenal Allah) sejak dalam kandungan ibunya. Rasulullah Muhammad saja memahami makna iman itu setelah mendapat wahyu, BUKAN sejak dalam kandungan, apalagi dengan kita ummatnya atau mereka yang hidup di zaman dahulu dan mereka yang akan lahir kemudian. Tentu saja prinsip ini berlaku bagi segenap manusia yang ingin beriman menurut petunjuk wahyu Al-Qur’an, BUKAN menurut pendapat atau doktrin agamis.

Secara faktual, seorang Abu Bakar dan beberapa sahabat dikatakan beriman setelah mereka mengikrarkan keimanannya (besyahadat) di hadapan Rasulullah Muhammad, baik keimanannya terhadap ketauhidan Allah, maupun kerasulan Muhamad SAW. Jadi, keberimanan seseorang diawali dari kesadaran akan jati dirinya sebagai hamba yang harus tunduk patuh hanya kepada Allah, Sang Pencipta dirinya. Dia menyadari bahwa, “Tidak ada ilah yang patut untuk di taati kehendak dan perintah-Nya selain Allah”. Syahadat tauhid ini diikuti dengan syahadat Rasul, seperti yang dilakukan Abu Bakar dan para sahabat lainnya.

Kesaksian lisan tersebut harus diikrarkan dihadapan Rasulullah (sebagai Saksi Allah) atau di hadapan orang-orang yang lebih dulu beriman (sebagai saksi-saksi Allah dan Rasul-Nya). Ketika seseorang telah mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun, maka sejak saat itulah seseorang dikatakan menjadi manusia beriman. Tanpa kesadaran dan pernyataan lisan akan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang diikrarkan di hadapan orang-orang beriman sebagai saksi, maka seseorang belum dapat dikatakan beriman. Inilah bentuk perjanjian antara manusia dan hamba dengan Allah sebagai Sang Tuan. Silahkan renungi firman Allah surat Al-Fath (48) ayat 10 berikut:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ فَمَنْ نَّكَثَ فَاِنَّمَا يَنْكُثُ عَلٰى نَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَوْفٰى بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, maka niscayaakibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya ganjaran yang besar.

Kesadaran dan ikrar kesaksian (perjanjian) tersebut sangat penting, karena itulah awal seseorang menjadi “manusia Baru”, manusia yang terlahir kembali dalam satu kesadaran dan keyakinan baru; meningggalkan kesadaran spiritual yang musyrik (najis) menuju kesadaran spiritual yang tauhid (suci). Dengan demikian, seorang mu’min harus mempu menafikan semua ilah (tuan atau ideologi musyrik) dalam kehidupannya, dan hanya patuh dan cinta pada Ilah Yang Esa. Inilah kesadaran dan sikap spiritual manusia beriman. Sekali lagi, kesadaran dan sikap iman tersebut tidak terjadi pada saat seseorang masih dalam kandungan atau masa kanak-kanak. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah mampu berfikir dan bersikap dewasa.

Menjadi manusia beriman haruslah atas dasar kesadaran ilmu (wahyu), bukan atas dasar doktrin dan tradisi nenek moyang yang tidak jelas dasar ilmunya. Mari meyakini ajaran Din al-Islam dengan dasar ilmu (rasional), jangan mengikuti ajaran atau doktrin yang tidak memiliki pijakan kebenaran yang tidak bisa diterima akal sehat. Kalau Anda tidak memaksimalkan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran Anda, maka nilai Anda di sisi Allah tidak lebih mulia dari binatang ternak bahkan lebih hina dari makhluk melata.

Perhatikan ancaman-Nya dalam surah Al-A’raf (7) ayat 179:

ô‰s)s9ur $tRù&u‘sŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o„ !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd ‘@|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$#

Dan sesungguhnya, Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal pikiran, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Akibat dari sikap manusia yang lebih hina dari binatang ternak tersebut, maka ummat manusia hidup dapam kehidupan jahannam yang persis sama dengan kehidupan binatang liar dan buas, kehidupan yang melulu berorientasi pada kepuasan fisik, kehidupan yang saling membakar, dan membinasakan (Mengadu Domba) satu dengan yang lain. Itulah medel kehidupan neraka jahannam yang ada di dunia ini.

Sahabatku…

Sekarang anda sudah dapat menjawab ”Sejak Kapan Anda beriman?” Jika ternyata anda belum pernah berjanji dengan menyatakan keberimanan Anda,maka selama ini Anda hanya merasa diri telah beriman. Jika Anda telah mengikrarkan keberimanan Anda dengan penuh kesadaran, maka tentu saja ada orang-orang yang menjadi saksinya. Ternyata menjadi orang beriman tidak sesederhana yang kita pahami selama ini. Keimanan itu harus betul-betul dipahami terlebih dahulu sebelum di ikrarkan secara lisan, dan selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kiranya renungan dasar ini dapat mencerahkan dan membersihkan kesadaran spiritual sahabat.

Sumber Tulisan: Diambil sepenuhnya dari Buku Tafakkur Spritual (Renungan dan Kritik Atas Berbagai Doktrin Spritual)

--

--