Hari Esok.

jia_ssi
3 min readApr 24, 2022

--

Lisa’s Florist

Hari ini hari pertama Kayana bekerja. Pakaian rapih berwarna peach, rambut yang ditata berponi, dan parfum beraroma vanilla semakin menunjukkan kesan manis pada dirinya. Siapapun yang melihatnya tentu akan merasa terpana, entah itu laki-laki maupun perempuan.

Tapi tidak dengan Bu Lisa. Perempuan gemuk berdaster bunga-bunga dengan lima roller di rambut dan kaca mata kotak di ujung hidung itu bahkan mencegat Kayana dengan jengkingan angkuhnya di depan pintu toko. Mata sipit dengan eyeshadow coklat tebal itu menatap Kayana bagai hunusan pedang. Tangannya mengambil satu cookie dari toples dalam genggaman dan mengunyahnya kasar. Lalu, bibir penuh berlipstik merah terang yang berhiaskan tahi lalat di dekatnya itu mencebik kuat, sebelum kemudian berkata di tengah-tengah kunyahannya.

Maneh jangan macem-macem. Awas sampe buat kesalahan,” katanya judes sebelum kemudian berjalan angkuh menuju kasir dengan satu toples cookies coklatnya.

Tuhan, semoga Kayana kuat bertahan.

Kayana mengerjakan beberapa pekerjaan yang ringan, seperti menyapu, menyemprot bunga, dan memilah daun-daun kering yang mengganggu cantiknya bunga dagangannya.

Tangannya dengan telaten mengatur kumpulan gerbera merah muda yang sedikit berantakan di depan toko. Hatinya menghangat, sebab sudah lama ia tidak menyentuh bunga kelahirannya sebanyak ini. Lalu tiba-tiba, seseorang dari seberang sana mengambil setangkai gerberanya, membolak-balikkannya layaknya suatu permata.

Innocence, purity, and cheerfulness.” gumamnya pelan tepat di depan Kayana.

“Eh … Selamat pagi, Tuan.” sapa Kayana dengan ramah. Tubuhnya membungkuk 90 derajat.

Pria itu memainkan setangkai gerbera pada genggamannya, lalu memetik bunganya dari tangkainya. Gerbera itu lalu diselipkan ke telinga kanannya, “Kenalin gue Harsa Adyatama, pegawai toko bunga seberang.”

Kayana mengernyit heran. Ia juga baru sadar di seberang sana ada toko bunga. Tidak sebesar Toko Bu Lisa sih, tapi untuk apa si pegawai toko seberang bermain ke sini?

“Nalesha Kayana,” Kayana menjawab uluran tangan pemuda itu.

“ADUH!” jengit Harsa tiba-tiba. Tangannya terasa sakit dan panas, sepertinya saraf tubuhnya main-main lagi. Sudah seminggu ia merasakan siksaan ini, tapi untungnya selama ini ia tidak pernah merugikan diri sendiri maupun orang di sekitarnya. Mungkin sebaiknya ia memang harus segera memeriksakan dirinya ke Dokter.

Naas beribu naas, gerak refleks Harsa ketika menarik tangannya justru menyenggol berember-ember tatanan bunga yang ada di Toko Bu Lisa. Terkutuklah saraf milik Harsa.

“Astaga!” Kayana berteriak panik, mengundang perhatian Nyonya Lisa.

“Heh! Naha ieu ribut-ribut?!” teriak Bu Lisa garang sambil tergopoh-gopoh menuju toko depan.

Bu Lisa terlihat sangat marah ketika melihat bunga gerberanya berserakan. Ditambah lagi melihat pemuda dengan seragam toko seberang semakin membakar emosinya. Hidung perempuan paruh baya itu kembang kempis, tampak seperti banteng yang siap menyeruduk apapun yang ada dalam jarak pandangnya.

“BEDEBAAAHHH INDIT MARANEH DARI SINI!!!!!” (Pergi kalian dari sini!) mulut wanita itu menganga lebar, berteriak kuat sambil menunjuk-nunjuk muka Kayana dan Harsa yang menunduk canggung.

“T-tapi, Bu” Kayana mencoba menjelaskan semuanya. Namun, lagi-lagi Bu Lisa memotong dengan mengangkat tangan kanannya angkuh, memberi isyarat agar Kayana menutup mulutnya.

Cicing sia teh!” teriaknya frustasi dengan logat Sunda yang sangat kental.

Sia,” Bu Lisa menunjuk Kayana dengan tatapan mautnya.

“Gue,” lalu menunjuk dirinya sendiri.

End.” finalnya sembari berbalik ke dalam, memanggil pegawai senior dengan suara melengking khasnya untuk mengurus segala kekacauan yang ada. Samar-samar terdengar wanita itu menggerutu ‘aing lieur’ sambil memijat pangkal hidungnya frustasi.

Kayana dan Harsa saling menatap sebentar. Harsa sebenarnya ingin mengucap maaf, namun Kayana justru pergi begitu saja dengan tatapan sinisnya, meninggalkan Harsa yang berdiri di depan kekacauan itu bagai orang hilang. Tampaknya pemuda manis itu terlampau kesal akan nasib yang menimpanya.

O-oh, Sir Adyatama, I think you’ve made a serious problem.

--

--