a city, and a horror movie

Narration #6 of “a city, and 3 spectacular lights”

Kalila Awicarita
6 min readOct 8, 2022

CW: Mentions of underage drinking

Friday, November 17, 2023 at 9:13 P.M. EDT

Rama, Stefan, dan Inara sudah duduk manis di sofa ruang tamu Kinan yang entah sudah diduduki berapa puluh orang selama ia menyewa apartemen ini dengan roommate-nya yang hari ini sedang berada di luar rumah. Sofa Kinan, yang sangat nyaman walaupun sudah berumur, membuat ketiga teman ini duduk seolah sedang berada di rumah sendiri sambil menunggu Kinan membawa bakmi ayam yang sudah ia siapkan. Stefan sudah bersandar di sisi ujung paling kanan sofa, mendapatkan tempat paling empuk dan paling sering menjadi posisi langganan untuk orang-orang yang sudah di luar kesadarannya membiarkan diri mereka terkapar di kasur tersebut dan beristirahat. Bagian sofa yang diduduki Rama menjadi posisi utama orang-orang menonton film dan bermain Play Station ataupun Switch di televisi Kinan, membuat bantalan kursi membentuk sebuah lekuk bekas duduk orang. Tempat duduk Inara-lah yang paling sempurna di antara yang lainnya, karena yang ada hanyalah remah-remah kecil cemilan bekas makanan di sisi-sisi sofa yang bahkan tidak bisa dilihat tanpa meraba-raba ke dalam sofa.

Kinan menaruh empat mangkuk bakmi di coffee table-nya, lalu berjalan ke depan televisi. Menunjukkan handphone-nya yang ada di tangan kanannya, ia menghadap ke ketiga temannya.

I have great news,” ucapnya dengan senyuman lebar. “Well, for Inara, mostly,” ia mengoreksi dirinya sendiri, menunjuk ke satu-satunya perempuan lain yang ada di ruangan ini.

Inara melihat ke arahnya lalu tersenyum, menantikan berita baik dari Kinan.

So… Rama told me and Stefan about your concern earlier, about how you’re scared that you may not understand some things or lose some context. So I got some quick help, and my super amazing friend from Tisch was able to find a free copy of the film… but with English subtitles! So Inara won’t have to struggle that much trying to understand the film!” Kinan menjelaskan.

Rama justru yang paling terlihat bahagia mendengar kabar tersebut. Stefan, Rama, dan Inara, bersorak dan berterima kasih kepada Kinan di waktu yang hampir bersamaan.

So, enjoy your bakmi, guys, and enjoy the show!” ucap Kinan, mulai memainkan film tersebut di layar televisi lebar di hadapan mereka.

Kinan duduk di kursi yang berbeda dari sofanya, sebuah kursi empuk yang biasanya menjadi tempat di mana orang yang ingin ikut hang out tetapi masih ada tugas atau urusan akan menyelesaikan urusannya dan fokus dengan laptop-nya di kursi tersebut, tetapi tidak untuk Kinan hari ini. Kinan hari ini hanya duduk di situ karena ia sedikit tidak suka menonton film horor dengan konsep handheld cam yang membuatnya pusing, dan, bagi Kinan, dari sisi tempat duduknya, handheld cam tersebut tidak terlalu terasa berbeda dibanding film-film horor biasanya.

Selama film berjalan, Rama masih harus menjelaskan beberapa percakapan yang terdengar aneh setelah diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan Inara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya ataupun berkata “Ohhh! Got it, got it!” setiap Rama membantunya.

Stefan, yang sudah berharap bahwa Inara akan mengumpat ke Rama ketika takut, dikecewakan hari itu karena Inara ternyata benar-benar tidak ada takut-takutnya sama sekali akan film horor. Terkejut? Iya. Tetapi kejutan-kejutan dari jumpscares itu justru menimbulkan tawa dari Inara, yang seolah malu sudah ketakutan akan hal yang sangat tidak penting.

Setelah film selesai, Kinan meminta mereka semua mengembalikan semua mangkuk bakmi yang tergeletak di lantai ataupun di coffee table ke dapur. “I’ve worked my ass off making the bakmi, dude. The least y’all can do is help me wash the dishes…” ucapnya.

Rama, Stefan, dan Inara pun sepakat untuk membersihkan piring mereka masing-masing, mengantri di belakang satu sama lain untuk melaksanakan tugas dari Kinan. Setelah Inara selesai mencuci piringnya, ia hanya berdiri di sebelah sofa, masih sedikit sungkan untuk duduk dengan seenaknya di sofa Kinan. Rama, yang mendapat giliran terakhir pencucian piring, berjalan ke arah Inara setelah menyelesaikan tugas cuci piringnya. Ia melihat Inara mengeluarkan sebuah pensil dari saku kirinya, dan buku tulis kecil dari saku kanan celananya lalu menuliskan sesuatu dengan senyuman lebar di wajahnya.

What’s the pocket notebook for?” tanya Rama dari belakang, mengejutkan Inara yang langsung menaruh kembali buku tulisnya ke dalam saku.

Fuck!” seru Inara. “Don’t startle me like that!

Rama tertawa melihat Inara terkejut akan kehadirannya. Berdiri di sampingnya, ia bertanya sekali lagi. “What were you writing down?

Oh, these are just things that I need to get done tomorrow… For the bakery,” Inara menjelaskan.

Danggg… You’re out here having fun, eating good food, and watching a good film, and you’re still thinking about the bakery… The staff and your mom are so lucky to have you,” puji Rama dengan nada sedikit bercanda.

Inara menertawakan perkataan Rama yang dilebih-lebihkan.

Aren’t we luckier to have customers like you? Who only spends two bucks for a pastel and free water but stays for six hours?” Inara membalas dengan candaan.

Rama tertawa, menerima sindiran dari Inara dengan senang hati. “What can I say… All restaurants are honored to have me,” ia membalas dengan senyuman dan nada candaan yang sama, membuat Inara tertawa.

Melihat Stefan yang sudah sibuk dengan handphone-nya, dan Kinan yang sibuk membereskan dapurnya, Rama kembali bertanya ke Inara, “You wanna go home now?

You’re driving me home?” tanya Inara.

Of course? I mean, I did pick you up, and it’s hella late-

Hella late?” Inara menahan tawanya, menekankan bagian ‘hella’ di ucapannya. “You’ve been having out with those Bay Areans in Parsons too much, dude!

Rama tertawa, tidak menyadari bahwa slangs dari teman-temannya di kampus mulai menular ke dirinya. “Yeah… Maybe I should’ve gone to California College of the Arts instead of Parsons, right?” canda Rama.

And not know the existence of the best Indonesian bakery in all of the United States? And not meet me? What a bummer…” balas Inara, dengan bercanda membuat wajah sedih.

Rama melepas sebuah tawa kencang untuk menyembunyikan jantungnya yang berdegup keras melihat wajah Inara dan mendengar Inara berkata “And not meet me?” dengan ekspresi seperti itu.

Inara mengecek handphone-nya, dan melihat bahwa saat ini memang sudah hampir pukul 12 malam.

You really don’t mind driving me home? Your apartment is closer to Kinan’s than it is to my house,” Inara memastikan.

Rama mengangguk. “It’s really fine, I swear. You wanna go now?” tawar Rama.

Sure,” balas Inara, tersenyum.

Setelah berpamitan ke Stefan dan Kinan, Rama dan Inara pun memulai perjalanan pulang mereka. Mengobrol tentang satu dan lain hal, ketika topik pembicaraan akhirnya habis, Rama kembali bertanya ke Inara mengenai buku catatannya.

What do you need to prepare tomorrow? For the bakery? According to the notebook,

Wajah Inara justru terlihat sedikit kosong dan kebingungan, seolah sedang mencari jawaban tepat di saat itu juga. Tanpa mengeluarkan kembali buku tulisnya, ia mulai menjawab.

Oh… You know… The usual. Flour and coconut and stuff…” ucapnya, berusaha membuat jawabannya sesingkat mungkin dan terdengar senatural mungkin.

Rama hanya menganggukkan kepalanya, tidak ingin bertanya lebih lanjut.

Sesampainya di depan rumah Inara, Inara mengucapkan terima kasih kepada Rama karena sudah diantarkan pulang, lalu mulai berjalan naik ke tangga menuju rumahnya. Tak lama kemudian, ia justru berbalik badan dan berjalan cepat kembali ke mobil Rama. Mengetuk kaca mobil Rama, ia memberikan sinyal ke Rama untuk menurunkan kaca jendelanya.

Did you leave something behind?” Rama bertanya.

Inara menggelengkan kepalanya. “I know I said this already, but I think I only said it about the drive home. So, I just wanna say thank you for everything tonight. Thank you for picking me up, thank you for inviting me, and just… Thank you. And tell Kinan that I thank her for the food, too. I had a lot of fun tonight.” Inara mengakhiri ucapannya dengan senyuman.

Rama membalas senyumannya lalu mengangguk. “I’m happy you had fun. I had a lot of fun with you too. Good night, Inara,” balas Rama. Yang Inara tidak tahu adalah Rama betul-betul mengucapkan hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Good night. Drive safe!” balas Inara, mengacungkan jempolnya sebelum mengganti gaya tersebut menjadi sebuah lambaian tangan.

Rama sekali lagi melihat Inara berjalan menuju rumahnya, kali ini tanpa menengok ke belakang. Ia tidak melanjutkan perjalanannya sampai Inara benar-benar sudah tidak terlihat di pandangannya. Selama perjalanan kembali ke apartemennya, Rama terus-menerus mempertanyakan mengenai isi buku catatan Inara. Ia terus berpikir dan berpikir, terutama mengenai tulisan yang sekilas ia baca di buku tepat sebelum Inara mengembalikan buku tersebut ke sakunya.

Rama berpikir, Kalo itu buku untuk hal-hal yang dilakuin besok, kenapa tanggal yang ditulis justru tanggal hari ini? Dan kenapa cuma tiga hal di daftarnya?

--

--